Unlimited Love - Bab 131 Membalas Peach Dengan Plum (1)

Di mata Yesi Mo, seluruh dunia bergulung-gulung dan berputar-putar. Mobilnya tidak berhenti menabrak dan berguling, membuat Yesi Mo dapat dengan jelas merasakan darah segar yang tersembur dari pengawal yang duduk di kursi pengemudi.

Darah segar berwarna merah itu seakan tertumpah diatas wajah Yesi Mo dan memenuhi seluruh wajahnya. Cipratan itu masuk ke dalam matanya, mulutnya, hidungnya, dan telinganya. Ia sangat sulit menerima sensasi cipratan itu, terlebih lagi perasaan seperti ini membuatnya takut. Detik ini, jarak antara kematian dan dirinya begitu tipis.

Di tengah mobil yang sedang berguling, kaca-kaca yang pecah menjadi serpihan pun beterbangan. Yesi Mo bahkan sampai tidak dapat merasakan sakit, wajah dan lengannya sudah robek karena serpihan kaca yang tajam itu.

Mobil itu baru berhenti setelah berguling sangat jauh diatas jalanan.

Dalam waktu singkat, bahkan satu menit saja tidak sampai, mobil Yesi Mo seluruhnya sudah berubah menjadi tidak berbentuk. Mobilnya terbalik di tanah dan mengeluarkan asap hitam yang sangat pekat.

Semua hal ini terjadi dalam waktu yang sama sekali tidak lama, dan hal ini tidak mempengaruhi Yesi Mo untuk berpikir macam-macam.

Ketika semua pergerakan sudah berhenti, datanglah pengawal dengan tergopoh-gopoh sambil memanggil nama Yesi Mo dengan khawatir. Barulah saat itu Yesi Mo tersentak dan kesadarannya kembali.

“Nyonya muda, apa yang nyonya rasakan?”

Melihat kekhawatiran dalam mata pengawal, Yesi Mo memperhatikan sejenak kondisi tubuhnya dengan seksama. Ia mencoba menggerakkan sedikit kaki dan tangannya.

Selain rasa sakit yang menusuk dari beberapa bagian tubuhnya yang tersayat, tangan kanan Yesi Mo terasa sangat sakit dan sekujur tubuhnya sama sekali tidak dapat bangun.

Tapi secara garis besar, Yesi Mo dapat dikatakan beruntung. Ia masih hidup dan lukanya tidak terlalu parah.

“Seharusnya aku tidak apa-apa, tapi sepertinya tangan kananku patah.”

“Nyonya muda, tolong diam dan jangan bergerak. Sekarang aku akan mengeluarkanmu lebih dulu, bersabarlah dan tunggu sebentar.”

Untungnya walaupun mobil itu berguling sangat jauh, namun pintu mobilnya masih dalam kondisi baik sehingga tidak dibutuhkan banyak upaya untuk mengeluarkan Yesi Mo.

Setelah memeriksa secara sekilas, pengawal itu memberitahu Yesi Mo bahwa tangan kanannya tidak patah melainkan hanya bergeser saja. Tangannya hanya perlu digeser kembali dan tidak akan mempengaruhi apapun.

Pengawal itu menggeser tulang tangan kanan Yesi Mo yang terlepas dari sambungannya. Setelah itu, Yesi Mo dapat merasakan ia sudah bisa kembali bergerak seperti seharusnya. Sesudah itu, barulah ia menghembuskan napas dengan lega dan memalingkan kepalanya untuk melihat mobil yang berada tak jauh darinya. Ia dengan khawatir bertanya, “Bagaimana dengannya?”

Yang Yesi Mo maksud tentu saja pengawal yang menjadi supirnya. Pengawal yang ada di hadapannya terdiam sejenak, lalu dengan wajah pucat berkata, “Ia tidak dapat bertahan hidup. Sebuah pecahan kaca menembus kepalanya. Saat kami mengeluarkannya, ia sudah tidak bernapas.”

“Maaf, aku...”

Yesi Mo tidak tahu kenapa ia harus meminta maaf, tapi ia tetap mengatakannya. Tidak peduli bagaimanapun juga, pengawal itu telah meninggal namun ia masih hidup.

“Nyonya muda, jangan berkata seperti ini. Ini bukan salahmu. Ada banyak luka di tubuh nyonya muda, jadi aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit terlebih dulu. Siapa tahu ada pecahan kaca yang masuk ke dalam tubuhmu.”

“Tidak perlu, kita pergi ke bandara saja. Nanti tolong carikan seseorang untuk menggantikanku saja.”

Yesi Mo tidak tahu kenapa bisa terjadi kecelakaan mobil, namun indera keenamnya dengan jelas memberitahunya bahwa ia harus secepatnya meninggalkan Amerika. Disini tidaklah aman baginya.

“Mana bisa begitu? Sebaiknya nyonya muda tetap pergi ke rumah sakit dulu.”

Tepat pada saat itu, sebuah mobil lain juga bergegas menghampiri. Melinda Yan yang ada di dalam mobil itu memegang lengan Yesi Mo dan berkata, “Jangan keras kepala, kita pergi ke rumah sakit.”

“Bibi, aku tidak apa-apa. Tidak perlu ke rumah sakit.”

Melinda Yan dan pengawal itu membujuk Yesi Mo untuk waktu yang cukup lama, namun tetap tidak bisa mengubah keputusannya. Akhirnya, mereka hanya bisa tetap mengantarkan Yesi Mo ke bandara dan meninggalkan seorang pengawal untuk tetap disini untuk mengurus hal-hal yang masih perlu dibereskan.

Selama perjalanan ke bandara, seorang pengawal wanita dengan hati-hati mengeluarkan potongan pecahan kaca dari dalam tubuh Yesi Mo. Ia lalu melihat tubuh Yesi Mo sekali lagi dengan cermat dan baru menghembuskan napas lega setelah ia yakin tidak ada pecahan yang terluput dari matanya.

“Nyonya muda, nyonya benar-benar beruntung. Semua luka ini hanya luka luar, luka yang paling dalam juga hanya dua sampai tiga milimeter saja.”

Yesi Mo tersenyum, “Mungkin raja neraka tidak ingin secepat itu mengundangku minum teh.”

“Nyonya muda, ternyata nyonya benar-benar bisa bercanda. Tolong tahan sebentar karena sekarang aku akan membersihkan lukanya sekaligus membalutnya.”

Gerakan tangan pengawal wanita itu sangat lembut, namun Yesi Mo beberapa kali masih saja merasa kesakitan sampai berkeringat dingin.

Tidak ada halangan lain selama perjalanan mereka ke bandara kali ini. Mereka serombongan dengan selamat sampai di bandara dan naik pesawat menuju kota R.

Bertepatan dengan pesawat yang lepas landas, Bella Lan dan Stanley Yan secara bersamaan menerima kabar kecelakaan mobil yang dialami Yesi Mo.

Ekspresi Bella Lan sangat datar terhadap hal ini. Dari awal sampai akhir ia hanya berujar “Ya, aku tahu” dan tidak mengucapkan apa-apa lagi.

Jico Li yang pandai menilai seseorang dari ekspresinya masih dapat samar-samar menangkap sinar simpati yang berkilat di sudut mata Bella Lan.

Awalnya Jico Li ingin menghibur Bella Lan dengan sepatah dua patah kata, namun akhirnya ia tidak mengatakan apapun.

Pelajaran terakhir yang diterimanya masih terpapar segar dalam benaknya. Ia takut kalau salah berucap, justru malah akan memberi dirinya sendiri kesulitan yang tidak seharusnya terjadi.

Dibandingkan dengan Bella Lan yang tenang, respon Stanley Yan justru sangat reaktif. Sekujur tubuhnya rasanya meledak karena amarah.

Raut wajahnya yang kelam pun membuat Marson Luo yang tenang menjadi ngeri, ia bahkan tidak berani terang-terangan bernapas.

“Bella, kamu pantas untuk mati.”

Stanley Yan mengepalkan tangannya dengan geram dan meninjukannya ke atas meja kerja. Getaran yang menyebar di permukaannya membuat gelas tehnya bergetar.

Air dari gelas teh yang tersembur keluar membuat sebuah berkas penting yang ada di hadapan Stanley Yan menjadi masih. Namun ia tidak peduli dan tidak berniat untuk mempedulikannya.

Setelah lama berselang, napas Stanley Yan yang menderu kasar perlahan menjadi lebih tenang. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar.

“Tuan muda, tuan mau kemana?” Marson Luo dengan khawatir bertanya dari belakang.

“Pergi ke teras atap untuk menghirup udara segar.” Marson Luo baru saja mau mengikutinya saat Stanley Yan dengan secepat kilat membalikkan tubuhnya dan dengan wajah tanpa ekspresi berujar, “Panggil seseorang untuk menyapu ruangan ini. Apapun yang terjadi, jangan datang menggangguku.”

Diatas teras atap, Stanley Yan menengadahkan kepala untuk melihat awan gelap yang memenuhi angkasa. Yang muncul di hadapannya adalah semua masa lalu yang berhubungan dengan Bella Lan. Semua hal yang terjadi diantara mereka berdua, dendam diantara mereka. Matanya berkilat saat ia mengingat kembali ke belakang dan akhirnya digantikan oleh sinar dingin.

Tanpa disadari, Stanley Yan mengepalkan erat tangannya. Ia memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Saat ia membukanya kembali, ada tekad kuat yang memenuhi matanya.

Stanley Yan mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah nomor yang sudah begitu lama tidak pernah ia hubungi lalu langsung meneleponnya.

“Apakah kamu ada waktu kosong? Aku ingin mengobrol sebentar. Satu jam lagi, aku menunggumu di kedai kopi di seberang kantor.”

Setelah menutup telepon, Stanley Yan kembali berdiri untuk waktu yang cukup lama di teras atap. Saat waktunya hampir tiba, barulah ia membalikkan tubuhnya dan turun dari situ.

Baru saja ia meninggalkan atap, Marson Luo sudah berlari menghampirinya dan dengan gelisah berkata, “Tuan muda, ada masalah, ada masalah besar. Beberapa hari ini, Perusahaan Mo mengutus orang untuk membuat janji dan bertemu dengan sebagian besar jajaran direksi perusahaan kita. Katanya mereka sedang berdiskusi untuk membeli saham. Kalau...”

“Aku tahu.” Stanley Yan mengiyakan singkat, lalu langsung turun ke bawah dan masuk ke dalam lift.

“Tuan muda, tuan muda...”

Marson Luo memanggil-manggil namanya beberapa kali dari luar lift, namun Stanley Yan tidak menghiraukannya.

Di dalam kedai kopi, Stanley Yan masuk ke dalam sebuah ruang privat. Punggungnya bersandar di sofa, matanya terpejam sambil dengan sabar menunggu.

Tapi setelah menunggu cukup lama, orang yang Stanley Yan tunggu tidak kunjung muncul. Ia membuka matanya perlahan kemudian melihat daun pintu ruang privat itu. Stanley Yan mengernyitkan alisnya sambil bergumam, “Ia tidak datang?”

Baru saja selesai bergumam, terdengar suara ketukan pintu. Disusul dengan wajah Andrew Ling yang muncul dengan senyum tipis dan datar.

“Maaf, ada hal yang menghalangi di jalan. Kamu tidak menunggu lama, bukan?” Sambil berujar, Andrew Ling sambil memberikan isyarat pada asisten yang ada di belakangnya untuk mengikutinya masuk.

Stanley Yan melihat Andrew Ling sekilas. Ia sedikit mengernyitkan dahi, wajahnya tidak terlihat begitu senang.

“Kamu keluar dulu.” Andrew Ling mengisyaratkan asistennya untuk pergi. Setelah mendengar suara pintu ditutup, barulah ia tersenyum, “Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik.”

“Sudah tahu masih bertanya.” Stanley Yan melirik Andrew Ling sekilas dengan sinis dan berujar dengan dingin.

“Apa ada masalah?” Alis Andrew Ling sedikit bertaut dan dengan tidak yakin bertanya, “Yesi?”

“Aku menyuruhmu datang bukan untuk membicarakan hal ini.”

“Kalau begitu apa? Apakah mungkin kamu mau berbaik hati memberikanku apa yang aku inginkan?”

“Aku belum pernah melihat kotak yang kamu inginkan itu dan aku juga berani menjamin tidak ada benda seperti itu di keluarga Yan, jadi aku sama sekali tidak bisa memberikannya padamu. Tapi...” Stanley Yan sengaja berhenti sejenak, sudut bibirnya dipenuhi senyum yang percaya diri. “Aku bisa memberikanmu hal lain.”

“Misalnya?” tanya Andrew Ling sambil tersenyum ringan.

“Perusahaan Mu.”

Novel Terkait

Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu
Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
4 tahun yang lalu