Unlimited Love - Bab 156 Ia Pernah Menyelamatkanku (2)

Perlahan, Yesi Mo pun dapat menenangkan diri. Air mata yang ada di pelupuk matanya sudah berhenti mengalir, namun ia masih tetap memeluk Stanley Yan. Bagaimanapun juga, ia tetap tidak mau melepaskan pria itu.

Ia takut. Ia takut begitu melepaskan pelukannya, Stanley Yan yang ada di hadapannya ini akan kembali lenyap. Akan menjadi pria milik orang lain, menjadi suami dari orang lain.

Ia takut, semua hal indah di hadapannya ini akan menjadi buih-buih seperti pelangi. Hancur berkeping-keping dan akhirnya hanya menyisakan kehampaan.

Ia takut...

Jika dihitung-hitung, kali ini Yesi Mo sudah kehilangan Stanley Yan sebanyak dua kali. Saat ia kehilangan, barulah ia tahu menghargai. Ia sangat menghargai kehangatan yang singkat ini, karena ia tahu dengan jelas. Walaupun Stanley Yan adalah Stanley Yan, namun ia juga bukan Stanley Yan. Pria itu tidak memiliki ingatan tentang dirinya maupun Didi, tidak memiliki rasa sayang yang sangat intim diantara mereka itu.

Intinya, Stanley Yan yang sekarang sama seperti tamu. Seorang yang asing.

Setidakrela apapun ia untuk berpisah, Yesi Mo juga tidak bisa terus-terusan memeluk Stanley Yan dan tidak melepaskannya.

Sedalam-dalamnya ia ingin bernostalgia, Yesi Mo juga tidak bisa terus berada dalam pelukan Stanley Yan.

Kehangatan kali ini memang singkat, lembut, manis, dan sangat membahagiakan. Tapi yang Yesi Mo inginkan bukanlah keromantisan sesaat, melainkan hidup dengan Stanley Yan selamanya dan tidak saling berpisah ataupun menyerah.

Yesi Mo pun perlahan melepaskan kedua tangannya yang melingkar di pinggang Stanley Yan. Ia menundukkan kepala dan mengambil langkah mundur dua langkah, mengatupkan bibirnya dengan tidak enak hati dan menatap Stanley Yan sekilas, “Maaf, barusan aku terlalu bersemangat... Aku... Tidak menakutimu, bukan?”

Stanley Yan tetap tersenyum tipis padanya, ia menggeleng perlahan dan senyumnya itu sangat tulus. Kalau memang harus dikatakan ada sesuatu yang terkandung dalam senyuman pria itu, maka hal itu sepertinya adalah rasa pengertian.

Yesi Mo menghela napas lega. Setelah beberapa kali menarik napas dalam-dalam, barulah ia bisa mengatur kembali suasana hatinya. Saat ia mengangkat kepalanya, Stanley Yan sudah berjalan ke meja kecil yang ada di samping dan mulai menyeduh teh. Dengan matanya, ia mengisyaratkan Yesi Mo untuk duduk di sofa yang ada disitu.

Yesi Mo baru saja terduduk saat Stanley Yan sudah menyuguhkan secangkir teh ke hadapannya.

Melihat cangkir teh panas yang masih mengepulkan asap itu, kekecewaan pun terbersit dalam hati Yesi Mo: Sudah selama ini, namun Stanley Yan masih tidak ingat akan masa lalu? Kalau tidak, mana mungkin ia menyajikan teh untuknya?

“Maaf, aku tidak bisa memberikan sesuai keinginanmu. Disini tidak ada kopi, apalagi cappuccino kesukaanmu. Paksakan tetap minum sedikit untuk melembabkan tenggorokanmu. Setelah menangis begitu lama, tenggorokanmu pasti terasa tidak nyaman.”

Stanley Yan membungkukkan pinggang sambil menatap Yesi Mo, tatapan mata kedua orang itu saling menyambut di tengah udara kosong.

Perkataan yang begitu tulus dan mengandung perhatian yang kental di dalamnya itu membuat kekecewaan dalam hati Yesi Mo pun memudar. Hatinya tergerak dan disaat yang bersamaan, ia juga merasa bersalah.

Stanley Yan tidak mengingat apapun, apa haknya untuk merasa kecewa? Ini bukanlah kesalahan Stanley Yan.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

Yesi Mo menerima gelas teh itu, sedangkan Stanley Yan tersenyum. Ia mengangkat segelas teh lain dari meja dan duduk di sofa tunggal yang ada di hadapan Yesi Mo. Setelah menyesap tehnya, ia mengangkat kepalanya dan melihat Yesi Mo dengan heran lalu bertanya, “Kenapa tidak diminum? Tidak suka?”

“Bukan. Panas.” Yesi Mo sebenarnya memang tidak suka, namun ia juga tidak ingin mengecewakan Stanley Yan sehingga ia mencari sebuah alasan yang masuk akal. Dengan gerakan yang mulus, ia meletakkan gelas teh itu diatas meja.

Stanley Yan dapat melihat maksudnya, ia dapat melihat jelas bahwa Yesi Mo sedang mencari alasan. Walaupun begitu, Stanley Yan tidak memaksanya.

Dengan gerakannya yang mulus, ia juga meletakkan gelas tehnya ke atas meja lalu bertanya sambil tersenyum, “Kamu datang untuk membawaku pergi?”

Yesi Mo mengangguk sehingga Stanley Yan bertanya lagi, “Kemana? Kediaman keluarga Yan.”

“Iya, tapi tidak juga. Lebih tepatnya, membawamu pergi ke Amerika.”

Takut Stanley Yan tidak mengerti maksudnya, Yesi Mo pun kembali menambahkan, “Disana ada seorang dokter otak yang sangat ahli, mungkin saja ia bisa membantumu mengingat sesuatu.”

“Kalau begitu ayo kita pergi.”

Yang meleset dari perkiraan Yesi Mo adalah tidak adanya penolakan apapun dari Stanley Yan. Pria itu langsung bangkit berdiri dan menyetujuinya.

Yesi Mo tertegun untuk beberapa detik, lalu kesadarannya baru kembali. Ia pun turut bangkit berdiri dan menatap Stanley Yan dengan ragu, lalu bertanya, “Kamu tidak membereskan barang-barangmu dulu?”

““Tidak perlu.”

““Kalau begitu... Ayo kita pergi.”

Yesi Mo menuntun Stanley Yan berjalan sampai ke daun pintu. Setelah itu, ia memanggil pengawal wanitanya untuk menyetir. Setelah naik ke mobil, mereka pun perlahan beranjak pergi meninggalkan bangunan vila yang ada di pinggiran ini.

Melihat Stanley Yan yang terus menoleh dan melihat ke belakang, Yesi Mo pun bertanya penasaran, “Tidak rela?”

“Kalau kamu di posisiku, apa kamu bisa rela?” Stanley Yan balas bertanya dengan raut yang aneh.

Yesi Mo merasa kikuk dan dengan wajah bersalah berujar, “Maaf, aku...”

“Tidak masalah, aku hanya merasa semua hal yang terjadi disini seperti sebuah mimpi. Sebuah mimpi buruk. Untungnya saat terbangun semuanya sudah berlalu.”

“Ya, benar. Semua sudah berlalu.”

Yesi Mo menoleh dan melihat sosok vila yang perlahan menghilang dari pandangannya di tengah kegelapan malam, ia mengehla napas dengan hati yang dipenuhi emosi berkecamuk.

Sekembalinya ke kediaman keluarga Yan, waktunya sudah larut malam. Yesi Mo belum makan malam sehingga ia merasa lapar. Ia bertanya pada Stanley Yan apakah pria itu mau makan cemilan malam, dan ternyata pria itu dengan senang menyetujuinya.

Setelah kedua orang itu selesai menyantap kudapan malam, jarum jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi.

Yesi Mo berdiri di daun pintu kamarnya pun menguap dan tersenyum tipis pada Stanley Yan, “Istirahatlah lebih awal. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke bandara. Selamat malam.”

Stanley Yan menatap Yesi Mo yang sudah mendorong daun pintunya dan saat ingin berjalan masuk, tiba-tiba pria itu memanggilnya sehingga Yesi Mo menghentikan langkahnya.

Yesi Mo membalikkan tubuhnya dan bertanya penasaran pada pria itu: Ada apa?

Stanley Yan ragu sejenak, lalu bertanya, “Ia... Bagaimana kondisinya sekarang?”

“Ia sudah memperlakukanmu sedemikian rupa, tapi kamu masih tidak merelakannya?” Alis Yesi Mo sedikit mengernyit. Hal yang paling ia khawatirkan adalah Stanley Yan yang tidak dapat melupakan Vivian Luo. Sekarang, sepertinya apa yang ia takutkan terjadi.

“Ia pernah menyelamatkanku.” Stanley Yan berujar datar. Setelah mengucapkan ucapan malam yang singkat pada Yesi Mo, ia pun membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kamar tamu yang berada tidak jauh dari situ.

“Aku mengerti.”

Melihat bayangan punggung Stanley Yan, Yesi Mo pun berujar pelan.

Stanley Yan menoleh dan mengucapkan terima kasih pada Yesi Mo, membuka pintu kamar tamu itu, lalu berjalan masuk.

Percakapan teka-teki mereka berdua mungkin membingungkan orang-orang di sekitar mereka, namun Stanley Yan dan Yesi Mo sebagai pelaku dalam hal ini mengerti akan maksud percakapan itu melebihi siapapun.

Stanley Yan mengingat jasa Vivian Luo yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia berharap Yesi Mo tidak perlu membabat habis wanita itu dan Yesi Mo menyetujuinya.

Yesi Mo tidak memiliki alasan untuk menolak, karena Stanley Yan dapat secara gamblang mengatakan padanya bahwa Vivian Luo pernah menyelamatkan nyawanya. Itu berarti, ia telah melepaskan Vivian Luo sehingga Yesi Mo tidak memiliki alasan untuk khawatir lagi.

Marson Luo sangat sibuk, namun ia masih meluangkan waktu untuk mengantarkan kedua orang itu ke bandara.

Sebelum masuk ke gerbang imigrasi, Marson Luo memantapkan bibirnya dan menatap Stanley Yan lalu berkata, “Tuan muda, aku akan menunggumu pulang.”

“Stanley pasti pulang.”

Stanley Yan balas mengangguk pada Marson Luo, lalu langsung masuk ke gerbang imigrasi. Setelah melalui prosedur yang cukup rumit, Stanley Yan dan Yesi Mo pun naik ke pesawat yang menerbangkan mereka ke Bandara Internasional Washington D.C.

Penerbangan panjang di pesawat dapat membuat orang merasa lelah dan tenaganya terkuras habis, namun dalam perjalanan kali ini, Yesi Mo malah tidak merasa terlalu lelah. Ia malah merasa bahagia.

Ia hanya bisa merasa lega akan semuanya. Yesi Mo akhirnya dapat membubarkan kebohongannya pada Didi selama setengah tahun lebih ini, tidak ada keharusan baginya untuk melanjutkannya. Terlebih lagi, ia tidak usah khawatir Didi akan terus mencecarnya dengan pertanyaan tentang keberadaan Stanley Yan dan kapan pria itu akan datang menemuinya.

Orang yang menjemput di bandara tidak banyak, hanya Robin Xiao dan Sara Xue. Sebelum Yesi Mo naik ke pesawat, ia telah memberitahu Robin Xiao dan secara khusus mengingatkannya agar tidak membawa serta Didi maupun orang lain. Kedatangan Sara Xue pun menjadi di luar perkiraannya.

Saat Yesi Mo menelepon Robin Xiao, pria itu sedang membicarakan sebuah kerjasama yang sangat penting dengan Sara Xue. Begitu ia mendengar bahwa Yesi Mo membawa Stanley Yan pulang ke Amerika, ia secara khusus bertanya dengan jelas nomor penerbangan dan waktu kedatangannya lalu memburu waktu untuk datang kesini.

Robin Xiao sama sekali tidak tahu tentang Stanley Yan yang hilang ingatan. Dengan wajah yang dipenuhi senyum bahagia dan kemenangan saat melihat mereka, ia memanggil Stanley Yan dengan sebutan kakak ipar dan hendak berjabat tangan dengannya. Tapi yang ia dapatkan hanya Stanley Yan yang mengernyitkan alis menatapnya. Pria itu sama sekali tidak merespon dari awal sampai akhir, membuat ekspresi di wajah Robin Xiao menjadi canggung.

Belum sempat Yesi Mo menjelaskan, Sara Xue yang merupakan teman seperjalanan Robin Xiao sudah tertawa dan datang menghampiri unuk menjelaskan apa yang terjadi pada Stanley Yan.

Ia tentu saja tidak dapat menjelaskan terlalu banyak di tempat umum seperti ini, namun sebuah kalimat ‘Ia hilang ingatan’ sudah cukup untuk membuat Robin Xiao memahami respon Stanley Yan yang tidak biasa.

Saat Sara Xue sedang memberi penjelasan pada Robin Xiao, Yesi Mo juga mengenalkan kedua orang itu pada Stanley Yan.

Walaupun sama sekali tidak ada sosok bayangan mereka dalam lapisan ingatannya, namun Stanley Yan tetap menyambut mereka dengan hangat. Ia menerima hubungan diantara mereka di masa lalu, tersenyum, dan menjabat tangan mereka.

Melihat pemandangan yang terlihat wajar di hadapannya ini membuat Yesi Mo merasa sangat senang.

Ia dapat dengan jelas menyadari bahwa meskipun pada akhirnya Stanley Yan tidak mendapatkan kembali ingatannya yang hilang, namun pria itu tidak akan meninggalkan sisinya lagi. Raut yang Stanley Yan tunjukkan sekarang ini sudah menjelaskan bahwa ia menerima fakta kalau ia adalah Stanley Yan, bahwa ia adalah pria milik Yesi Mo.

Walaupun dalam kurun waktu setengah bulan ia tidak kembali, namun tidak terjadi perubahan apapun pada rumah kediaman keluarga Mo. Setelah Robin Xiao dan Sara Xue mengantarkan kedua orang itu, mereka hanya duduk sebentar dan pamit undur diri dengan alasan sibuk mengurusi pekerjaan mereka.

Stanley Yan dan Yesi Mo menyantap makanan dengan sederhana dan setelah mandi, mereka lalu masuk ke dalam kamar untuk beristirahat dan beradaptasi dengan perbedaan waktu.

Langit sudah mulai menggelap dan Yesi Mo terbangun karena lapar. Ia pun bangun dan setelah mandi, turun ke lantai bawah untuk makan. Saat ia membalikkan tubuhnya dan hendak menutup pintu kamarnya, disaat yang bersamaan, ia mendengar pergerakan dari kamar di sebelahnya. Seketika setelah ia berbalik badan, Yesi Mo melihat Stanley Yan yang sudah mengenakan kemeja rapi juga keluar dari dalam kamar. Kedua orang itu saling bertatapan dan tersenyum.

“Bangun karena lapar, bukan? Ayo kita makan.”

Saat Yesi Mo beranjak pergi, tanpa sadar ia menjulurkan tangan untuk menggandeng tangan Stanley Yan. Tapi tidak disangka yang ia dapatkan hanya udara kosong, sehingga Yesi Mo pun tersadar bahwa ia telah bertindak dengan tidak semestinya. Ia baru saja hendak membuka mulut untuk meminta maaf, namun Stanley Yan malah sudah berbalik menggenggam tangannya dan berujar sambil tersenyum, “Ayo.”

Sambil menggandeng Yesi Mo untuk turun ke lantai bawah, ia juga masih tidak lupa untuk mengingatkan wanita itu supaya melangkah dengan hati-hati.

Melihat pergelangan tangannya yang digenggam erat oleh Stanley Yan, mata Yesi Mo pun penuh dengan kebahagiaan yang sangat manis.

Waktu masih awal saat mereka selesai makan, sehingga mereka pun berniat untuk kembali tidur. Tapi karena sudah tidur seharian, mereka sama sekali tidak mengantuk.

Yesi Mo lalu mengusulkan agar mereka pergi berjalan-jalan ke daerah kota di hari yang cerah ini untuk membawa Stanley Yan lebih mengenali daerahnya. Ia tidak ingin membuang waktu karena sebenarnya ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu berduaan saja dengan Stanley Yan.

Stanley Yan sebenarnya tahu maksud tersembunyi Yesi Mo, namun ia tidak mengutarakannya. Saat mereka berdua sampai di kota Washington, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam lebih. Tepat saat ritme kehidupan kota Washington sedang marak-maraknya.

Sebagai ibukota Amerika, walaupun namanya tidak setenar New York atau Las Vegas sebagai kota judi, namun Washington juga sama sekali tidak lebih rendah dari kedua kota yang tenar seantero dunia itu.

Mereka duduk di mobil dan mengitari jalanan sebanyak satu putara. Setelah itu, Yesi Mo menyuruh supir untuk menghentikan mobil di pinggir jalan dan berkata bahwa jalan-jalan seperti ini tidak ada gunanya. Ia ingin membawa Stanley Yan untuk berjalan kaki berkeliling.

Stanley Yan yang dulu pasti tidak akan tertarik dengan usulan semacam ini, kecuali tentu saja saat bersama dengan Yesi Mo.

Tapi Stanley Yan yang sekarang tidak ingat apapun, semua yang ada di depan matanya adalah hal baru. Tentu saja ia tidak menolak usulan Yesi Mo.

Tapi Yesi Mo dan Stanley Yan sama sekali tidak menyangka terjadi suatu hal yang menghadang niat mereka sesaat sebelum mereka melakukannya. Terjadi suatu hal yang cukup merepotkan bagi mereka.

Novel Terkait

Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Cinta Tapi Diam-Diam

Cinta Tapi Diam-Diam

Rossie
Cerpen
5 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

PRIA SIMPANAN NYONYA CEO

Chantie Lee
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
5 tahun yang lalu