Unlimited Love - Bab 175 Tunggu Aku

Yesi Mo duduk di pinggir jendela, punggungnya menghadap ke arah pintu. Tubuhnya agak sedikit bersandar dengan wajah menghadap ke lemari di samping kepala ranjang. Dari sudut tempat ia berada, Stanley Yan hanya bisa melihat sedikit siluet porselen.

Warnanya putih dan bentuknya mirip toples acar. Tapi, Stanley Yan lebih tahu dari siapapun bahwa yang ia lihat bukanlah toples berisi acar melainkan guci berisi abu jenazah.

Abu yang ada di dalam guci itu adalah abu mayat milik orang yang menggantikannya. Tentu saja di mata Yesi Mo, abu yang ada di dalam guci itu berasal dari orang terdekat dan terpenting selama hidupnya. Orang yang ia cintai, pilar hidupnya.

Melihat pemandangan ini, hati Stanley Yan terasa seperti disumbat oleh sebuah batu yang sangat besar, menggelanyuti dan sangat memberatkan.

Begitu mendengar ada suara pintu ditutup dari belakang tubuhnya, Yesi Mo bahkan tidak menoleh dan langsung berujar, “Taruh saja barangnya, kamu boleh pergi.”

“Sisi, ini aku.”

Suara lembut Stanley Yan terdengar seperti suara kilat pada telinga Yesi Mo. Tubuhnya sontak sedikit gemetaran. Yesi Mo sedikit mencodongkan tubuhnya seolah ingin membalikkan tubuhnya, namun pada akhirnya tidak ia balikkan.

Ia takut. Takut begitu ia membalikkan tubuhnya, orang yang ia lihat bukanlah sosok yang ia rindukan siang dan malam. Yesi Mo takut merasa kecewa sekali lagi.

Orang itu sudah mati, mereka berbeda dua dunia. Tapi sebenarnya, yang lebih Yesi Mo takutkan adalah apabila tidak ada siapapun saat ia membalikkan tubuhnya. Hanya ada ruang kosong, hanya ada dirinya sendiri.

“Stanley? Apakah kamu Stanley?”

Suara Yesi Mo bergetar, sedangkan tubuhnya lebih bergetar tak henti. Ini menunjukkan betapa dirinya sekarang sedang berada dalam suasana hati yang campur aduk. Bergairah, gugup, dan takut.

“Ya. Ini aku, Stanley. Aku kembali. Sisi, kamu kenapa? Apa kamu tidak senang?”

“Aku senang, tapi... Tapi, aku takut. Aku takut kamu akan menghilang lagi tiba-tiba... Aku takut...”

“Tidak mungkin, aku tidak akan meninggalkanmu lagi kali ini.”

Sambil bicara, Stanley Yan dengan sangat bersemangat berjalan ke hadapan Yesi Mo. Ia menundukkan kepala, menatap wajah Yesi Mo yang dibanjiri air mata. Rasa sangat bersalah dan menyalahkan diri sendiri memenuhi matanya.

Detik saat ia melihat Stanley Yan muncul di hadapannya, Yesi Mo sontak bangkit berdiri dan ingin memeluk pria itu erat-erat. Tapi tepat sesaat sebelum tangannya menyentuh tubuh Stanley Yan, gerakannya mendadak berhenti.

Ia tidak berani. Ia takut ia hanya akan memeluk udara kosong. Stanley Yan sudah meninggal, tubuhnya sudah dibakar menjadi abu. Sekarang ini yang muncul hanyalah rohnya, atau sederhananya, hantu Stanley Yan.

Yesi Mo belum pernah menyentuh hantu, yang ia tahu hanyalah hantu tidak memiliki raga.

Dan katanya hantu juga sangat takut pada orang hidup karena aura di tubuh orang hidup sangat berat dan dapat melukai hantu.

Ia begitu mencintai Stanley Yan, bagaimana mungkin ia tega menyakitinya?

Stanley Yan sama sekali tidak mengetahui bahwa ada begitu banyak pikiran yang bergulir dalam benak Yesi Mo selama kurun waktu yang sangat singkat ini. Melihat sosoknya yang hanya terpaku di tempatnya berpijak, Stanley Yan pun tanpa ragu langsung membenamkan Yesi Mo masuk ke dalam pelukannya.

“Sisi, ini aku. Aku kembali.”

“Tidak boleh, kita tidak boleh begini. Aku bisa melukaimu, cepat lepaskan aku. Stanley, lepaskan aku.” Yesi Mo memberontak dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari pelukan Stanley Yan.. Tapi pelukan pria itu terlalu erat, sehingga Yesi Mo sama sekali tidak dapat melepaskan diri.

“Stanley, aku mohon, cepat lepaskan aku. Aku tidak mau melukaimu, aku tidak ingin kamu terluka sedikitpun.” pelas Yesi Mo sambil meronta.

“Omong kosong apa yang sedang kamu katakan?” Stanley Yan menunduk, mengernyitkan alisnya sambil menatap Yesi Mo yang ada di dalam pelukannya dengan sedikit tidak mengerti.

“Aku tidak omong kosong. Energi yin dan yang kita berbeda, kamu tidak akan bisa bertahan lama kalau seperti ini. Kumohon padamu, cepat lepaskan aku.” Yesi Mo menjelaskan pada Stanley Yan dengan tatapan gelisah.

“Maksudmu... Aku ini... Arwah?” Stanley Yan menyadari apa yang Yesi Mo maksud lalu tertawa. Melihat Yesi Mo yang masih terus meronta, Stanley Yan pun akhirnya mengerahkan tenaga untuk menekan kepala Yesi Mo agar lebih lekat pada dadanya, “Kamu jangan gerak dulu dan coba dengar baik-baik ini suara apa.”

Entah karena perkataan Stanley Yan yang ada gunanya, atau karena hati Yesi Mo tidak dapat menyerah terhadap pria itu, namun kekuatan merontanya perlahan melemah diikuti dengan telinganya yang seolah mendengar suara degupan ‘Deg, Deg’ yang aneh.

Apakah mungkin ini adalah suara... Detakan jantung? Yesi Mo membelalakkan matanya, mengira ia sedang berhalusinasi. Dengan keinginannya sendiri ia melekatkan telinganya lebih dekat. Kali ini, suara detak jantung itu semakin lama terdengar semakin jelas. Semakin lama semakin kuat, semakin lama semakin berat, semakin lama semakin cepat.

Ini benar-benar suara detakan jantung. Selain itu, saat ini Yesi Mo juga dapat merasakan hangat tubuh Stanley Yan. Ia dapat merasakan suhu tubuh pria itu, ia dapat mencium aroma tubuh yang familiar dari pria itu yang merasuk hingga ke sukmanya.

Semua ini, segala hal ini memberitahu Yesi Mo sebuah fakta. Bahwa Stanley Yan yang ada di hadapannya ini bukanlah arwah. Ia adalah orang yang masih hidup, pria yang sangat penting dalam hidup Yesi Mo.

Yesi Mo merasa dirinya seolah sedang bermimpi. Tapi ia tidak peduli apakah ia sekarang sedang bermimpi atau tidak, ia hanya tidak ingin kehilangan Stanley Yan lagi. Ia bahkan tidak menyadari bahwa sekarang tangannya-lah yang berbalik memeluk pinggang Stanley Yan erat-erat, mengerahkan segenap tenaganya untuk memeluk erat pria itu dan tidak berani lagi melepaskannya.

“Sekarang, apa menurutmu aku ini arwah? Dasar bodoh.” Stanley Yan tertawa.

Yesi Mo menengadah dan menatap Stanley Yan lekat-lekat, lalu menggeleng, “Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah aku tidak sanggup kehilanganmu lagi dan tidak ingin kehilanganmu lagi.”

“Bodoh.” Bibir Stanley Yan yang hangat mengecup lekat dahi Yesi Mo. Tapi setelah cukup lama waktu berselang, Yesi Mo tetap tidak bersedia melepaskan Stanley Yan.

“Sudah, sudah, ayo lepaskan aku. Ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu.”

“Tidak mau.”

“Kenapa?”

“Aku takut semua ini hanyalah mimpi. Asalkan aku terus memelukmu seperti ini, aku tidak akan terbangun dari mimpi ini dan kamu juga tidak bisa meninggalkanku.” ujar Yesi Mo bersikeras sambil menatap Stanley Yan.

“Ini bukan mimpi. Aku orang sungguhan, orang yang hidup. Bukankah barusan kamu juga bisa merasakannya?”

“Entahlah...” Yesi Mo menggelengkan kepalanya dan mengerutkan bibirnya ke bawah, “Kamu sudah meninggal, apalagi abumu...”

Kedua mata Yesi Mo kemudian melirik guci abu yang ada diatas lemari di samping kepala ranjang. Setelah sekian lama waktu berlalu, kenapa guci abu itu masih berada disitu? Ini membuat Yesi Mo merasa bingung.

Kenapa masih ada disana? Kalau ternyata Stanley Yan yang ada di mimpinya menjadi nyata, bukankah seharusnya guci abu itu menghilang?

Tapi kalau dipikir ulang, Yesi Mo merasa dirinya terlalu tidak masuk akal.

Apa yang ada di mimpi adalah hal abstrak, tidak ada ketentuan apa yang seharusnya muncul dan apa yang seharusnya menghilang.

“Aku tidak meninggal. Sebenarnya, kecelakaan itu aku sendiri yang menyutradarainya.”

“Aku tidak percaya. Kamu tidak perlu membohongiku. Aku tahu, aku tahu semua. Aku tidak dapat merelakanmu, tidak ingin meninggalkanmu, tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri ataupun orang lain. Kamu sudah meninggal, benar-benar sudah meninggal. Aku melihat jasadmu dengan mata kepalaku sendiri, aku...”

Yesi Mo seperti menggila. Tidak peduli seperti apapun penjelasan Stanley Yan, ia tetap tidak bisa menerima alasan pria itu.

Sampai pada akhirnya, Stanley Yan hanya bisa menggeleng tidak berdaya. Saat Yesi Mo sedang bersemangat memastikan jati diri Stanley Yan, pria itu mengangkat tangannya dan menyentil ringan dahi Yesi Mo.

“Aduh! Apa yang kamu lakukan!” Yesi Mo mengangkat kepalanya dan menatap Stanley Yan dengan kesal.

“Sakit, tidak?” tanya Stanley Yan sambil tertawa.

“Kamu sudah meninggal saja masih menindasku!” Yesi Mo memelototi Stanley Yan. Ia baru saja hendak mengatakan sesuatu saat kedua matanya sontak membesar. Dengan rasa tidak percaya ia menatap wajah Stanley Yan yang dipenuhi senyuman, rasa sentilan di dahinya tadi masih bergaung.

Ia dapat merasakan sakitnya. Kalau begitu—ini... Ini sama sekali bukan mimpi. Semua ini adalah nyata.

Stanley Yan masih hidup, ia tidak meninggal. Ia hidup dan berdiri disini, sedang dipeluk erat-erat oleh Yesi Mo.

“Sekarang sudah percaya?” Stanley Yan menatap Yesi Mo dengan penuh senyum.

Yang menjawab Stanley Yan bukanlah kata-kata, melainkan dengingan di telinganya karena tamparan lalu disusul oleh tangisan dan makian Yesi Mo, “Kamu brengsek.”

Tepat pada saat Stanley Yan mengangkat tangannya untuk mengusap wajahnya, Yesi Mo sudah melekat di dadanya dan tak henti memakinya dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

“Aku bukan...” Stanley Yan merasa sangat bersalah. Ia baru saja hendak meminta maaf ketika jari lentik Yesi Mo sudah menghalangi bibirnya, “Yang harusnya meminta maaf itu aku. Tidak seharusnya aku menamparmu.”

“Bodoh... Aku tidak menyalahkanmu.”

Kedua orang itu pun saling berpelukan dengan erat, sama sekali tidak rela melepaskan satu sama lain. Sampai akhirnya terdengar suara ketukan pintu dari luar, barulah mereka berdua melepaskan pelukan mereka dengan berat hati.

“Nona, ada yang meneleponmu di ruang tamu lantai bawah.” Terdengar suara manajer kediaman utama dari luar pintu.

“Telepon?” Yesi Mo memalingkan kepalanya dan menatap ke arah daun pintu, ia mengernyit ringan namun tetap mengiyakan, “Sebentar lagi aku kesana.”

Suara langkah kaki pun menjauh dan yesi Mo menatap Stanley Yan, lalu memerintah dengan tegas, “Tunggu aku disini dan jangan pergi kemanapun.”

“Baiklah.” Stanley Yan mengiyakan lalu duduk di pinggir ranjang dan mendesaknya, “Pergilah.”

Yesi Mo berjalan menuju daun pintu sambil terus menoleh. Sesaat sebelum ia membuka daun pintu, ia membalikkan tubuhnya dan menatap Stanley Yan lalu mengambil napas dalam-dalam dan berujar, “Kamu harus menungguku.”

“Tentu saja!”

Melihat Stanley Yan yang mengangguk dengan mantap, wajah Yesi Mo pun meluapkan senyum kebahagiaan. Ia membuka daun pintu dan secepat kilat melesat keluar. Segera setelah itu, derap kaki tergesa-gesa Yesi Mo pun terdengar di telinga Stanley Yan.

Walaupun ia tidak melihatnya, namun Stanley Yan dapat membayangkan bahwa saat ini Yesi Mo sedang berlari ke bawah. Ia dapat membayangkan seberapa inginnya Yesi Mo untuk secepatnya kembali kesini, seberapa besar keinginan wanita itu untuk tidak berpisah darinya.

Novel Terkait

Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Rahasia Seorang Menantu

Rahasia Seorang Menantu

Mike
Menjadi Kaya
3 tahun yang lalu
Cinta Yang Paling Mahal

Cinta Yang Paling Mahal

Andara Early
Romantis
3 tahun yang lalu
Unlimited Love

Unlimited Love

Ester Goh
CEO
4 tahun yang lalu
After Met You

After Met You

Amarda
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu