Unlimited Love - Bab 157 Melindunginya (2)

Stanley Yan tidak bisa menolak dan tidak mampu menolak. Amerika bukanlah kota R dimana urusan legal bisa dibicarakan secara pribadi. Apalagi saat berurusan dengan polisi seperti ini. Kalau ia benar-benar menolak, selain dipukul mati, mungkin saja ia bahkan akan ditenggelamkan di perairan entah dimana.

Lagipula, penggeledahan seperti ini adalah makanan sehari-hari bagi polisi. Mana mungkin mereka belum pernah melihat ada yang kabur?

Asalkan pihak lawannya melakukan sesuai dengan peraturan, maka sama sekali tidak akan ada bahaya.

Melihat Stanley Yan dan Yesi Mo yang sangat bekerja sama, raut kedua polisi bertubuh gemuk itu pun perlahan melembut dan memberi isyarat bagi Stanley Yan dan Yesi Mo untuk mengeluarkan semua benda yang ada di dalam tas dan kantong di hadapan mereka—untuk diperiksa.

Awalnya, Stanley Yan mengira mereka hanya bermaksud untuk melihat sejenak dan masalah berhenti disitu. Tapi, ia tidak menyangka permainan polisi itu benar-benar berlanjut. Mereka ternyata benar-benar mau melakukan penggeledahan tubuh.

Stanley Yan sebenarnya tidak terlalu peduli, apalagi ia sesama pria. Walaupun diraba-raba oleh kedua polisi itu, ia tidak akan peduli. Tapi, tidak sama halnya dengan Yesi Mo. Yesi Mo adalah wanita, terlebih adalah istrinya. Memang saat ini ia masih tidak dapat mengingat semua ini, namun bagaimana kalau istrinya benar-benar sampai diraba-raba oleh kedua orang brengsek yang murahan ini?

Tanpa disadari, Stanley Yan langsung melangkah ke depan dan menjadi tameng Yesi Mo. Ia menatap kedua polisi bertubuh gemuk itu dengan raut yang tidak senang.

Yesi Mo malah sebenarnya tidak terlalu khawatir. Tapi saat melihat respon Stanley Yan yang seperti ini, hatinya pun menghangat. Ia menarik lengan baju Stanley Yan dengan pelan dan menggeleng, “Tidak apa.”

Stanley Yan menatap Yesi Mo dengan ragu untuk waktu yang cukup lama, lalu baru menyingkir ke samping. Salah seorang polisi pun segera menghampiri dan menggeledah tubuhnya.

Mungkin karena tindakan Stanley Yan barusan, polisi itu pun menggeledah tubuhnya dengan sangat kasar dan liar sampai-sampai Stanley Yan mengernyitkan alisnya. Kalau bukan karena khawatir dengan Yesi Mo, sepertinya kesabarannya sudah habis.

Penggeledahan tubuh Yesi Mo dilakukan hampir bersamaan dengan Stanley Yan. Awalnya polisi itu masih terus mengikuti aturan, namun tangannya yang terus menggeledah lama-lama berada di bokong Yesi Mo. Tatapan matanya juga mulai berubah licik, kedua tangannya mengelus pelan dengan gerakan melingkar.

Yesi Mo sontak langsung berlari maju dua langkah, membalikkan tubuhnya dan menatap polisi itu sambil mengerang dengan raut kaku, “Apa yang kamu lakukan!”

Di waktu yang bersamaan, Stanley Yan juga berhasil melepaskan diri dan menaruh hampir seluruh konsentrasinya pada polisi yang membuat kericuhan itu. Ia berlari menghampiri lalu berdiri di depan Yesi Mo dan menghadang polisi itu. Dengan raut dingin ia menatap polisi gemuk yang menggoda Yesi Mo itu dan dengan suara dingin meminta polisi itu untuk meminta maaf.

“Apa yang kalian lakukan? Kusarankan kalian jangan menghalangi kami melakukan tugas keamanan publik. Kalau tidak, kami berhak menahan kalian.”

Selesai bicara, polisi yang baru saja menggeledah Yesi Mo pun berjalan menghampiri dan menjulurkan tangannya untuk menarik wanita itu. Dengan sekali gerakan, Stanley Yan langsung menepis tangan polisi itu dan sontak melindungi Yesi Mo di belakang tubuhnya. Ia tidak membiarkan lawannya mendekat.

“Monyet Asia, kamu berani menyerang polisi? Minggir.”

Polisi gemuk yang ada di sisi lain pun menakut-nakuti Stanley Yan. Polisi itu menjulurkan tangan untuk menyeret Stanley Yan, namun yang diseret malah tetap bergeming. Polisi itu pun mengepalkan tinjunya untuk menaklukkan Stanley Yan.

Stanley Yan sudah bersiap sedari awal. Tepat pada saat lawannya itu menggerakkan tangan, ia sontak mengangkat kaki kanannya dan dengan tepat sasaran mengenai perut lawannya sehingga jatuh tersungkur ke tanah.

Seorang polisi lain yang melihat kericuhan itu pun sontak amarahnya menjadi. Ia langsung bergegas untuk menghajar Stanley Yan.

Mungkin karena tumbuh dalam kemanjaan sehingga ia sama sekali bukan tandingan Stanley Yan. Hanya dalam hitungan menit, Stanley Yan berhasil meringkusnya dan menengkurapkan tubuhnya diatas tanah.

Stanley Yan tidak ingin mencari masalah, ia menarik Yesi Mo untuk segera berlalu dari situ. Siapa yang mengira bahwa belum juga mereka sempat berjalan dua langkah, bagian belakang kepala Stanley Yan dipukul oleh suatu benda entah apa yang terasa dingin seperti es. Dalam sekejap, Stanley Yan langsung dapat menebak benda apa yang diletakkan di belakang kepalanya sehingga langkah kakinya langsung terhenti dan tidak ada pergerakan barang sedikitpun.

Sampai saat ini, Stanley Yan barulah menyadari dan teringat bahwa disini bukan kota R, melainkan negara Amerika yang berada nun jauh di seberang samudera.

Akan tetapi, ia sama sekali tidak menyesal. Jika ia diberi kesempatan sekali lagi, ia tetap tidak akan ragu untuk turun tangan meringkus kedua polisi brengsek itu dan memberikan mereka pelajaran.

“Hei, kamu. Bukankah barusan sepertinya kamu sangat agresif? Sini, lanjutkan lagi.”

Bersamaan dengan kata-kata yang masuk ke dalam telinganya itu, Stanley Yan merasa bagian belakang kepalanya dipukul sangat keras oleh sesuatu. Kakinya pun kehilangan tenaga dan dengan tertatih melangkah maju dua langkah, kepalanya sedikit pusing dan benda di depan matanya terlihat kabur.

Kedua polisi yang tadi diringkus Stanley Yan saling bekerja sama. Seorang meringkus tangan dan kakinya, sedangkan seorang yang lain jari tangannya bersiap menarik pelatuk. Asalkan Stanley Yan masih berani berkutik, tangannya akan langsung menarik pelatuk pistol itu.

Melihat Stanley Yan yang tersungkur di tanah dengan cairan berwarna gelap di tanah di samping pria itu, Yesi Mo pun merasa terkejut, kalap, marah, dan sakit hati...

Tanpa mempedulikan apapun, ia menghentikan polisi yang sedang menghajar Stanley Yan dan berteriak dengan lantang.

“Apa yang kalian lakukan! Hentikan! Cepat hentikan!”

Saat lawannya itu berhenti turun tangan, Stanley Yan sama sekali bergeming terbaring diatas tanah. Yesi Mo setengah membungkuk berada di samping Stanley Yan, tangannya menekan luka di belakang kepala pria itu. Cairan darah yang hangat tidak berhenti mengalir dari ruas-ruas jarinya.

Yesi Mo tidak tahu kapan kedua polisi berkulit hitam itu pergi, yang ia tahu hanyalah saat kedua tangannya gemetaran mengambil ponsel untuk menelepon bantuan. Pengawal dan supir yang bertugas melindunginya dan Stanley Yan pun tiba.

Mereka segera menaikkan Stanley Yan ke dalam mobil untuk diantarkan ke rumah sakit. Tepat saat mobil beranjak, sudut mata Yesi Mo menangkap tempat kejadian dimana kedua polisi tadi terkapar di tanah. Benda berbahaya di tangan mereka dibuang di samping tak jauh dari mereka, beberapa pengawal yang berdiri di sekitar mereka sepertinya sedang melakukan panggilan.

Yesi Mo tidak memiliki niat untuk mengurusi semua ini, benaknya sekarang dipenuhi oleh Stanley Yan dan luka di belakang kepala pria itu.

Yang ia pikirkan adalah apa kali ini Stanley Yan dapat melewati ini? Kalau tidak, apakah masih ada artinya bagi Yesi Mo untuk tetap hidup di dunia ini?

Stanley Yan menyerahkan kepalanya demi dirinya, demi melindungi dirinya makanya kondisi pria itu sampai seperti ini. Kalau begitu, bukankah Yesi Mo harus mati demi cinta Stanley Yan padanya?

Tapi kalau ia berbuat demikian, bagaimana dengan Didi?

Suasana hati Yesi Mo terasa campur-aduk. Entah apapun yang ia lakukan, ia tetap tidak bisa menghentikan darah yang mengalir dari luka di belakang kepala Stanley Yan.

10 menit sudah berlalu, namun darahnya tidak kunjung berhenti mengalir. Handuk yang diberikan pengawal untuk Yesi Mo menekan luka itu pun sepertinya sudah basah menyerap darah.

Wajah Stanley Yan yang awalnya merona merah semakin lama berubah semakin pucat karena darah yang mengalir keluar semakin banyak. Jika begini terus, Stanley Yan akan meninggal.

Yesi Mo berteriak dengan nyaring, menyuruh supir untuk menyetir dengan cepat, lebih cepat, dan lebih cepat lagi.

Sepanjang perjalanan, supir itu sudah beberapa kali menerobos lampu merah. Ia berusaha dalam waktu sesingkat mungkin menyetirkan mobil itu masuk ke pintu unit gawat darurat sebuah rumah sakit.

Yesi Mo berjalan mondar-mandir dengan gelisah di depan pintu pertolongan unit gawat darurat. Tatapan matanya sama sekali tidak pernah lepas barang sedetik pun dari pintu ruangan itu.

Robin Xiao pun bergegas datang begitu mendengar kabar ini, namun ia baru sampai satu jam kemudian.

Melihat Yesi Mo yang sangat gelisah dan tidak bisa menenangkan diri, Robin Xiao pun menepuk pelan pundak Yesi Mo sambil menghiburnya, “Tenang, ia sangat beruntung dan nyawanya selalu terlindungi. Pasti tidak akan ada masalah.”

Tidak ada respon apapun dari Yesi Mo saat ini dan hal ini membuat Robin Xiao semakin khawatir. Ia tidak tahu bagaimana harus menghiburnya.

Ia menyuruh asistennya untuk menjaga Yesi Mo, lalu berjalan ke samping untuk menelepon. Tidak lama berselang, seorang perawat berambut pirang dan bermata hijau giok pun keluar dari pertolongan gawat darurat. Sambil mengelap butiran keringat di dahinya, ia sambil bertanya siapa yang bernama Tuan Robin Xiao.

Saat Robin Xiao berjalan menghampiri, Yesi Mo sudah selangkah lebih cepat. Ia menarik tangan perawat itu dan dengan panik bertanya mengenai kondisi Stanley Yan yang ada di dalam.

“Lumayan.”

Perawat itu hanya melontarkan sepatah kata itu, lalu melepaskan diri dari Yesi Mo untuk mencari Tuan Robin Xiao atas suruhan kepala dokter.

Robin Xiao berkata ialah orang yang perawat itu cari, lalu tanpa ragu bertanya dengan rinci mengenai kondisi Stanley Yan yang tertembak dan kini berada di dalam ruang penyelamatan. Kali ini, perawat itu menjawabnya dengan rinci dan sangat cepat, ada beberapa hal yang tidak terlalu Yesi Mo mengerti.

Tapi ia masih menangkap kondisi Stanley Yan yang dikatakan perawat itu secara garis besar. Perawat itu berkata bahwa Stanley Yan sekarang sudah melewati masa kritis. Hal ini membuat hati Yesi Mo yang sedari tadi khawatir pun menjadi lebih tenang. Wajahnya dipenuhi raut yang bersemangat.

Dengan segera, Stanley Yan didorong keluar dari ruang penyelamatan darurat dan diantarkan ke kamar rawat inap. Yesi Mo terus menjaganya, tidak sedetikpun ia pergi dari sisi Stanley Yan. Robin Xiao diam-diam mengikuti, dengan tatapan yang rumit menatap tangan Yesi Mo yang menggenggam erat tangan Stanley Yan dan tidak melepaskannya sama sekali itu. Sepanjang perjalanan, ia tidak berani mengucapkan sepatah kata apapun.

Karena kehilangan banyak darah, warna wajah Stanley Yan masih tetap sedikit pucat meskipun ia sudah diberikan cukup banyak transfusi darah di waktu yang mepet.

Untungnya derap napas Stanley Yan sudah lebih stabil, jika dilihat-lihat, sepertinya tidak akan ada masalah besar.

Setelah Yesi Mo menjaga Stanley Yan selama lebih dari satu jam, barulah ia perlahan bisa menjadi lebih tenang. Ia akhirnya melihat Robin Xiao yang sedari tadi terus berdiri di sudut kamar pasien.

“Bagaimana kamu bisa datang kesini?”

“Kudengar terjadi sesuatu pada kakak ipar, jadi aku datang untuk menjenguk. Untung sekarang ia sudah baik-baik saja, kamu juga bisa sedikit lebih lega.”

“Terima kasih.” Yesi Mo melihat waktu sejenak yang menunjukkan ternyata sudah lewat tengah malam. Ia mengerutkan bibir bawahnya dan berkata, “Sudah sangat larut, kamu pulang dan istirahatlah.”

Robin Xiao ragu sejenak lalu bertanya, “Apa kamu bisa mengurusnya seorang diri? Apa aku minta Katty untuk datang membantu? Kalau ada dua orang yang saling bergantian menjaga kakak ipar, maka bisa lebih santai.”

“Tidak usah merepotkan kalian, aku sendiri bisa.” Yesi Mo takut kata-katanya menyinggung Robin Xiao sehingga ia kembali menambahkan, “Kamu minta Katty untuk membantuku menjaga Didi baik-baik saja, kejadian malam ini sama sekali tidak boleh diketahui Didi.”

“Tenang saja, aku akan menjaga mulutku rapat-rapat seperti tutup botol. Oh ya, apa kamu sudah memutuskan bagaimana membereskan kedua polisi itu?” Mata Robin Xiao terlihat dingin, lalu bertanya menyelidik, “Bagaimana kalau aku...”

“Urus berdasarkan hukum saja. Kalau hukum di Amerika tidak memberikan balasan yang membuatku dan Stanley puas, baru aku akan merepotkanmu.” Yesi Mo lalu kembali menambahkan, “Tentu saja yang terpenting adalah pendapat Stanley.”

“Ya. Aku tunggu kabar darimu.”

Robin Xiao lalu beranjak pergi. Yesi Mo yang khawatir hanya mengantarkan pria itu ke depan pintu kamar rawat pasien lalu kembali masuk lagi.

Melihat sepasang mata Stanley Yan yang terpejam karena tertidur lelap, hati Yesi Mo pun dipenuhi kekhawatiran.

Stanley Yan sudah pernah kehilangan ingatan sekali, ditambah dengan kepalanya yang terluka saat ini, apakah ia bisa sadar? Ada efek apa setelah ia sadar nanti?

Tentu saja ini adalah kondisi yang lebih baik. Kondisi yang lebih gawat adalah bagaimana kalau sampai Stanley Yan tidak bangun lagi?

Novel Terkait

Gadis Penghancur Hidupku  Ternyata Jodohku

Gadis Penghancur Hidupku Ternyata Jodohku

Rio Saputra
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milyaran Bintang Mengatakan Cinta Padamu

Milea Anastasia
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu