Unlimited Love - Bab 136 Benar, Memang Sedang Mempermainkannya (1)

Begitu Stanley Yan tercebur ke dalam sungai, tim SWAT secepat kilat mengerahkan kapal dan melakukan tindakan penyelamatan.

Permukaan sungai yang gelap gulita saat ini terang-benderang diterangi oleh sorot lampu penerangan. Berbagai jenis kapal mondar-mandir ke berbagai arah, suara orang terdengar ricuh dimana-mana. Pelaut, nelayan, dan beberapa kapal nelayan pun turut terjun ke sungai dan mendayung kapalnya ke tempat yang sangat jauh dari hulu untuk menebarkan jala.

Harusnya ada suatu penemuan dengan pencarian dan penjelajahan yang begitu intensif seperti ini, namun tidak ditemukan sedikitpun jejak Stanley Yan meskipun tiga sampai empat jam proses pencarian sudah terlewati. Stanley Yan seolah lenyap tanpa sebab dari dunia ini. Jika hidup ia tidak dijumpai, jika mati pun mayatnya tidak diketemukan.

Saat Yesi Mo sadar, ia sedang berbaring di ranjang rumah sakit. Jennie Bai sedang menjaganya di depan ranjangnya.

“Aku ada dimana?” Saat ini, kesadaran Yesi Mo masih tertinggal di waktu saat ia masih berada dengan para penculik itu. Pikirannya masih kabur, sehingga tanpa ia sadari ia bertanya seperti itu.

“Kakak ipar, kamu sudah sadar? Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga.” Jennie Bai pun menangis saking bahagianya, tangannya yang sedang menarik tangan Yesi Mo sampai gemetar.

“Jennie, kenapa kamu bisa ada disini? Apakah ini rumah sakit?” Yesi Mo melihat ke sekeliling, kesadarannya perlahan kembali, “Bukankah aku dan Didi diculik? Kenapa bisa ada disini?”

“Kakak ipar, kalian sudah diselamatkan. Tim SWAT yang mengantar kalian ke rumah sakit. Tidak apa-apa, semua sudah selesai.”

“Bagaimana dengan Didi? Bagaimana kondisinya? Apa ia terluka?” tanya Yesi Mo dengan gelisah sambil menarik balik tangan Jennie Bai dengan khawatir.

“Didi terluka sedikit, tapi...” Seperti tiba-tiba terpikirkan sesuatu, Jennie Bai pun menghentikan ucapannya.

“Tapi apa?” Saking khawatirnya, tangan Yesi Mo pun sampai berkeringat. Jennie Bai akhirnya berkata sambil setengah tertawa dan setengah menangis, “Kakak ipar, kamu tidak perlu khawatir. Didi hanya sedikit ketakutan. Aku sudah menyuruh orang untuk mengundang psikiater dan memberikan penanganan pada kondisi Didi, seharusnya sebentar lagi tidak apa-apa.”

“Hah...” Mendengar Didi hanya terkejut, Yesi Mo pun menghela napas panjang.

Situasi itu sangatlah wajar. Dalam kondisi yang seperti sebelumnya, ia sebagai orang dewasa saja ketakutan. Seorang anak yang tidak mengerti apa-apa melihat para penculik itu meninju dan menendang dirinya sampai pingsan, ditambah lagi Didi hanyalah seorang anak kecil. Kemampuan batinnya menerima hal seperti ini sangat minim, wajar saja ia ketakutan.

“Kakak ipar, apakah ada bagian yang kamu rasa sakit?” Jennie Bai menarik tangan Yesi Mo dan menggerakkannya ke segala arah untuk melihatnya dengan lebih seksama, lalu bertanya dengan hati-hati.

Yesi Mo merasakan tubuhnya sejenak, lalu menggeleng pelan, “Aku tidak apa-apa, kondisiku cukup baik.”

Baru saja ia selesai berujar, tiba-tiba sekelibat percakapan para penculik yang didengarnya pun melintas di depan matanya. Raut wajah Yesi Mo berubah dalam sekejap, “Jennie, bagaimana dengan Stanley? Bagaimana kondisinya? Apa ia terluka?”

“Kakak ipar, aku... Aku tidak tahu...” jawab Jennie Bai terbata-bata sambil menggeleng. Dahi Yesi Mo pun mengernyit dengan tegang dan bertanya dengan ragu, “Kenapa kamu bisa tidak tahu? Apa mungkin... Terjadi sesuatu pada kakakmu?”

“Kakak ipar, kamu tidak boleh berpikiran buruk. Kakakku sangat hebat, pasti ia akan baik-baik saja. Kudengar sepertinya ada seorang penculik yang tercebur ke dalam air, mungkin saja kakakku sedang mengejar pria itu. Sebentar lagi mungkin ia akan kembali.”

Jennie Bai berusaha mengatakan kata-kata yang menenangkan dan menghibur Yesi Mo. Ia lalu menundukkan kepala, sebersit sinar kelam dan murung tersirat di matanya.

“Ponselku mana? Berikan padaku.” Yesi Mo menjulurkan tangannya pada Jennie Bai, namun Jennie Bai menggeleng, “Ponselmu tidak ada padaku, tapi di kakakku. Kakak ipar, kamu butuh ponsel untuk apa?”

“Untuk menelepon kakakmu. Jennie, pinjamkan ponselmu padaku sebentar.”

Jennie Bai terlihat seperti dalam posisi yang sulit, dengan tidak berdaya ia berujar, “Baterai ponselku habis. Aku tidak memperhatikan sisa baterainya saat aku tadi bermain di ponselku.”

“Kalau begitu cepat dicas dulu.”

“Aku tidak membawa charger.”

“Sudahlah, panggil pengawal yang ada di luar untuk masuk.” Awalnya Yesi Mo berpikir untuk menyuruh Jennie Bai pergi mencari pinjaman, namun kemudian ia terpikir akan pengawal di luar yang pasti membawa ponsel mereka. Kenapa harus begitu repot-repot?

Setelah pengawal itu masuk dan memberikan ponselnya pada Yesi Mo, Jennie Bai pun segera bangkit berdiri setelah melihat wanita itu menekan sebuah nomor ponsel, “Kakak ipar, aku pergi ke toilet sebentar, ya.”

Yesi Mo mengiyakan singkat, ia tidak begitu menaruh perhatian pada Jennie Bai. Jennie Bai melangkah cepat ke dalam toilet dan mengeluarkan dua buah ponsel yang ada di tangannya. Setelah membuka kunci pengamannya, jarinya yang cepat segera meluncur ke bagian pengaturan. Barulah setelah itu ia menghela sebuah napas lega yang panjang.

Saat Jennie Bai keluar dari toilet, ia meliha Yesi Mo yang sedang mengerutkan alisnya dan dengan wajah penuh kekhawatiran duduk diatas ranjang pasien.

“Kakak ipar, apa kamu baik-baik saja? Apakah telepon ke ponsel kakakku bisa tersambung?” Jennie Bai pura-pura penasaran.

“Tidak nyambung, operatornya bilang tidak dapat dihubungi.” Yesi Mo menggelengkan kepalanya dengan tidak berdaya.

“Bagaimana dengan ponselmu?”

“Sama, tidak nyambung juga.” Yesi Mo menatap Jennie Bai dengan tidak yakin dan berkata, “Jennie, apakah menurutmu mungkin terjadi sesuatu pada Stanley? Aku ingat beberapa penculik itu berkata akan membunuhku, Didi, dan juga Stanley. Sudah sekian lama ia tidak bisa dihubungi, aku jadi khawatir.”

“Kakak ipar, kamu jangan terlalu khawatir. Tidak akan terjadi apa-apa pada kakakku. Mungkin sinyal di tempat ia berada sekarang tidak bagus. Setelah nanti ia menemukan tempat dengan sinyal yang lebih baik, kita pasti bisa menghubunginya. Mungkin saja sebentar lagi kakakku akan meneleponmu untuk memberitahu bahwa ia baik-baik saja.”

“Kuharap juga begitu.” Yesi Mo mengangguk dan berdoa dalam hati: Stanley, kamu tidak boleh sampai tertimpa masalah.

“Oh ya kakak ipar, kamu pasti lapar karena sudah lama tidak makan, bukan? Bagaimana kalau sekarang aku pergi sebentar untuk membelikanmu makanan?”

“Tidak perlu, saat ini aku tidak lapar. Kamu bawa aku dulu melihat Didi, aku masih belum bisa merasa tenang sepenuhnya.” Yesi Mo bergerak turun dari ranjangnya dan berjalan keluar ditemani Jennie Bai.

Di kamar sebelah, Didi sedang berbaring diatas ranjang pasien. Dahinya dipenuhi dengan keringat dingin, kelopak matanya sedang bergerak-gerak tanpa henti. Sepertinya ia sedang bermimpi.

Hati Yesi Mo sangatlah sakit melihat Didi dalam kondisi yang seperti ini. Ia bertanya pada pelayan wanita yang merawat Didi dan mengetahui bahwa Didi sudah menerima penyembuhan psikis sebanyak satu kali. Didi baru saja tertidur sehingga Yesi Mo pun mengatupkan mulutnya dan tidak berkata apa-apa lagi.

Jennie Bai berdiri di sampingnya sebentar, kemudian ia berkata ada suatu urusan dan ingin pergi keluar sebentar. Yesi Mo mengangguk tanpa menoleh padanya dan menyuruhnya kembali untuk istirahat sebentar karena waktu sudah larut sekarang.

“Aku tahu, kakak ipar. Kamu disini temani Didi saja, aku pergi dulu.”

Setelah beranjak pergi, Jennie Bai masuk ke dalam sebuah ruang rawat yang kosong dan mengunci pintunya lalu menelepon Marson Luo.

” “Marson, kakak ipar sudah sadar. Bagaimana kondisi disana? Apa kamu sudah menemukan kakakku?”

“Saat ini belum, kami masih berusaha keras. Sekarang terlalu gelap gulita dan arus sungai begitu deras, ditambah lagi sekarang mulai turun hujan jadi jarak pandanganya tidak terlalu bagus. Sepertinya aku tidak mungkin akan menemukan tuan muda dalam waktu singkat. Oh ya, nyonya muda baik-baik saja, bukan?”

“Kakak ipar baik-baik saja, hanya saja ia mengkhawatirkan kakakku. Ia terus-menerus mencecarku dan menanyakan keberadaan kakakku. Aku sudah berusaha dengan segenap tenaga untuk menghindar darinya. Marson, kamu harus bergerak lebih cepat disana. Mungkin aku tidak bisa menyembunyikannya terlalu lama.”

“Aku mengerti, tolong kamu bantu tahan dulu. Seberapa lama kamu bisa menyembunyikannya, tolong selama itu pulalah kamu sembunyikan. Urusan lainnya serahkan padaku.”

Setelah menutup telepon, Marson Luo yang sedang berada di pinggiran sungai menatap ke arah lampu-lampu yang menyoroti permukaan air. Ia menjerit khawatir di dalam hati: Tuan muda, sebenarnya kamu ada dimana?

Marson Luo sudah berjuang sebisa mungkin dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari Stanley Yan, namun ia tetap tidak mendapatkan hasil apapun sampai sekarang.

Saat fajar hampir menjelang, tim penyelamat menghasilkan sebuah kemajuan. Sebuah jala nelayan berhasil menjaring sebuah baju yang penuh dengan sobekan. Saat pertama kali melihatnya, Marson Luo langsung mengenali bahwa itu adalah baju Stanley Yan.

Ia mencecar terus darimana ditemukannya baju itu. Saat ia baru saja akan naik kapal untuk pergi ke posisi yang diberitahukan, Andrew Ling tiba-tiba datang.

“Untuk apa kamu datang?”

Andrew Ling menyapu sekilas gerombolan orang yang terlihat sangat sibuk di dalam sungai. Ia pun sedikit mengernyit, “Datang untuk melihat-lihat. Apakah ia belum ditemukan?”

“Saat ini, jejak tuan muda belum ditemukan.” Selesai bicara, Marson Luo menganggukkan kepala padanya dan saat ia baru saja mau beranjak pergi, Andrew Ling tiba-tiba memanggilnya: “Tunggu.”

“Ada apa lagi?”

“Tidak ada apa-apa, aku hanya mau menyuruhmu membantuku memberitahu Yesi bahwa setelah ia kembali, aku mau pergi mengunjunginya sekaligus berdiskusi tentang sesuatu.” Andrew Ling tersenyum tipis, kemudian memberikan isyarat pada pengawal di belakangnya untuk mendorongnya pergi.

Marson Luo menatap lekat-lekat punggung Andrew Ling dan mengernyitkan alisnya. Kemudian, perlahan-lahan ia menarik kembali pandangannya dan menatap kapal nelayan di hadapannya.

Siang hari, Yesi Mo yang tengkurap di depan kasur Didi pun terbangun. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Didi yang sedang menatapnya dengan penuh ketakutan.

“Didi, kamu sudah bangun? Pasti lapar, ya? Ibu suruh orang untuk membelikanmu makanan, ya.” Selesai bicara, Yesi Mo mengelus-elus kepala Didi. Saat ia bangkit berdiri dan baru saja akan beranjak pergi, Didi menarik tangannya dan berujar dengan sangat menyedihkan. “Ibu, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku seorang diri. Aku takut.”

Hati Yesi Mo pun tercekat. Ia menggenggam tangan Didi dengan erat dan menenangkannya, “Didi, jangan takut. Tidak apa-apa, ada ibu disini. Ibu tidak pergi, ibu hanya pergi ke depan pintu untuk bicara dengan pengawal di depan sebentar. Ibu akan secepatnya kembali.”

“Tidak, tidak boleh.” Didi menggelengkan kepalanya sekuat mungkin, ia tidak mau melepaskan tangannya apapun yang terjadi.

“Begini saja, bagaimana kalau ibu menggendong Didi?”

Melihat Didi yang akhirnya mengangguk, barulah Yesi Mo menggendong Didi dan perlahan-lahan berjalan keluar pintu.

Novel Terkait

Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
My Enchanting Guy

My Enchanting Guy

Bryan Wu
Menantu
3 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Dark Love

Dark Love

Angel Veronica
Percintaan
5 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu
Asisten Bos Cantik

Asisten Bos Cantik

Boris Drey
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu