Unlimited Love - Bab 162 Percakapan Intim Semalam, Hanya Sekejap Saja (2)

Yesi Mo sangat tidak menyukai kantor polisi, lebih-lebih dibawa ke situ sebagai seorang tersangka untuk diinteerogasi.

Tapi dia harus berkooperasi, harus mencari cara untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, sekalipun polisi tidak mempercayainya, dia tetap bersikukuh awan gelap tidak akan bisa selamanya menutupi cahaya mentari.

Kabut kegelapan yang meliputinya selama seharian berada di kantor polisi, pudar dengan kehadiran Stanley Yan.

Yesi Mo tidak pernah menyangka Stanley Yan kembali ke kota R, dia tidak pernah menyangka dia datang secepat itu.

Yesi Mo yang awalnya berencana untuk menghadapi semua itu sendirian, akhirnya mendapatkan sandaran, paling tidak sandaran bagi hati dan jiwanya.

Wajah Stanley Yan dibalut perban seluruhnya, tidak dapat terlihat eskpresinya di balik perban itu, tapi dari sinar matanya, terpancar belas kasih dan kasih sayang, dia menepuk pungguh Yesi Mo dengan lembut, sambil tangan yang lain memeluknya dengan erat.

Merasakan tepukan lembut dari tangan yang kokoh itu, merasakan pelukan Stanley Yan di pinggangnya, hati Yesi Mo luluh......

"Maafkan aku, aku sudah terlambat. "

Suara parau yang lembut penuh kehangatan itu masuk ke dalam telinga Yesi Mo, meruntuhkan topeng ketegasan Yesi Mo.

Dia adalah seorang wanita yang perlu kasih sayang, perlu cinta.

Dia tidak suka menghadapi kerasnya dunia bisnis, menghadapi manusia-manusia penuh tipu daya dan kepalsuan itu, tapi dia tidak punya pilihan lain.

Beberapa tahun terakhir, Stanley Yan tidak diketahui keberadaannya, kalau dia tidak bisa mempertahankan kekosongan dalam keluarga Yan ini, keluarga Yan akan berantakan, dan tidak ada lagi kemungkinan yang lain.

Maka meskipun tidak menyukainya, dia hanya bisa bertahan.

Ketika mendengarkan perkataan Stanley Yan, Yesi Mo merasakan arti dari perjuangannya selama satu tahun terakhir ini, dia menuai hasil dari kegigihannya.

Dia mendongak dari dalam pelukan Stanley Yan, menggigit bibirnya sambil menggeleng padanya, dari matanya mulai terbentuk butiran air mata.

Stanley Yan tidak kuasa melihat wanitanya menitikan air mata, terlebih air mata Yesi Mo, bibirnya bergetar ingin mengucapkan sesuatu guna menghibur Yesi Mo, tapi jari Yesi Mo sudah berada di depan bibirnya.

"Kamu tidak perlu mengatakan apa pun, aku paham. "

Sebutir air mata terjatuh dari wajah Yesi Mo seiring dengan sebuah senyum kebahagiaan, dari sorot matanya: kasih sayang. Melihat Stanley Yan menjulurkan tangannya untuk menyingkirkan jarinya, Yesi Mo dengan segera menggeleng, dia tersenyum.

"Stanley Yan, ayo kita pulang. "

Sambil berkata demikian, dia melepaskan diri dari pelukan Stanley Yan, lalu menarik tangannya mengajaknya ke tempat parkit dan naik ke dalam mobil.

Kenny Song sejak awal sudah menunggu di sebelah mobil, melihat kedua orang itu bergandengan tangan berjalan bersama, dia tersenyum sambil membukakan pintu bagi mereka.

Di sepanjang perjalanan pulang, Stanley Yan beberapa kali ingin membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi Yesi Mo tidak membiarkannya.

Stanley Yan baru saja menjalani operasi wajah, berbicara hanya akan membuka luka-lukanya, kalau operasi kali ini tidak bagus, maka semua usahanya akan sia-sia.

Yesi Mo sangat mencintainya, dia tidak mungkin rela membiarkan itu terjadi, dia tidak mungkin tega membiarkan Stanley Yan kesakitan.

Setelah beberapa saat, Stanley Yan akhirnya menyerah, dia hanya menggenggam erat tangan Yesi Mo, matanya memancarkan kasih yang mendalam padanya.

Keduanya bertukar pandangan, walaupun tanpa mengucapkan kata-kta, tapi sorot mata keduanya saling mengutarakan perasaan yang mendalam bagi masing-masing dari mereka.

Selain suara deruman mesin yang sayup-sayup dapat terdengar, keadaan di dalam mobil sunyi senyap, keduanya hanya saling berpandangan tanpa bertukar kata. Dapat dikatakan bahwa diam lebih berharga daripada bersuara saat ini.

Sesampainya di rumah keluarga Yan, hari sudah hampir petang, Yesi Mo khawatir Stanley Yan lapar, dia ingin memasak untuknya.

Stanley Yan memberi isyarat dirinya tidak merasa lapar, Yesi Mo seketika berkata, "Kamu dalam penerbangan sekian lama, mana mungkin tidak lapar? Dengarkan aku, aku akan memasak dengan cepat. "

Melihat bayangan Yesi Mo menghilang masuk ke dalam dapur, Stanley Yan baru dengan perlahan menoleh ke arah Kenny Song, dia memicingkan matanya.

Kenny Song dengan segera berjalan mendekat, kemudian dengan pelan menceritakan segala hal yang terjadi beberapa hari terakhir padanya.

Sebelum dia pulang, Stanley Yan sudah punya pemahaman tentangnya, dia juga sudah mempersiapkan hati, mendengar cerita darinya, dia juga hanya sesekali memicingkan matanya, dan dari awal hingga akhir, dia tidak menunjukan tanggapannya terhadap ceritanya.

Faktanya, dengan keadaannya yang sekarang dia juga kesusahan untuk membuka mulutnya dan berbicara.

"Tuan muda, anda lihat ini...... "Kenny Song berkata pada Stanley Yan, "Bagaimana kalau anda bawa nyonya muda pergi ke Amerika. Beliau sungguh tidak bisa terus tinggal di kota R. "

Stanley Yan mengangkat kepalanya dan menatap Kenny Song tanpa bersuara, lalu mengedipkan matanya, saat dia baru akan mengutarakan sesuatu, suara langkah kaki terdengar berjalan mendekat.

Tanpa perlu menoleh, Stanley Yan tahu itu adalah Yesi Mo yang berjalan keluar dari dapur.

Menjalani kehidupan pernikahan beberapa tahun ini, semua kebiasaan Yesi Mo sudah terukir dalam-dalam di dalam benaknya, dia mengerti Yesi Mo seperti mengerti dirinya sendiri.

Stanley Yan mengibaskan tangannya, Kenny Song dengan segera menjauh, dia tidak berani tetap tinggal di situ dan mengganggu mereka berdua.

Yesi Mo dari kejauhan membawa semangkuk sup di tangannya, kedua matanya terfokus pada mangkuk di tangannya, berjalan dengan hati-hati.

Stanley Yan bergegas bangkit berdiri dan berjalan menyambutnya, dari jauh dia dapat mencium aroma sedap, yang nampaknya berasal dari dalam mangkuk itu.

Melihat Stanley Yan menjulurkan tangannya untuk menerima mangkuk itu, Yesi Mo menggelengkan kepalanya, "Kamu duduk saja, biar aku saja yang membawanya. "

Stanley Yan tak bergeming, dia bersikeras menggelengkan kepalanya, kedua tangannya dia julurkan untuk menerima mangkuk itu, lalu setelah membawa semangkuk mie kuah itu di tangannya, dia mengangguk padanya, dan berjalan ke tempat duduk.

Melihat bayangan Stanley Yan, Yesi Mo tertawa tanpa suara, dia dengan segera menyusulnya.

Di atas meja teh, aroma harum mie yang membentuk kabut itu membuat mata Stanley Yan sedikit kabur.

Waktu seakan berjalan mundur, dulu, setiap dia pulang kerja terlalu larut malam, Yesi Mo selalu membuatkannya semangkuk mie, dan mengantarkannya ke ruang bacanya, meletakan semangkuk mie itu di hadapannya, lalu dengan senyum yang sangat menawan duduk di depannya mengamati dia makan.

Masa lalu itu saat diingat lagi membuat Stanley Yan merasa bahagia sekali.

Stanley Yan menerawang menembus asap panas mie dihadapannya itu, menatap Yesi Mo, melihat senyum yang akrab itu, melihat wanita yang bisa membuat dirinya, seorang lelaki sekeras baja menjadi jari yang lembut, wanita miliknya itu.

Setelah duduk sekian lama, Yesi Mo tidak juga melihat Stanley Yan mengangkat sumpitnya, maka dia bertanya dengan bingung, "Stanley, kenapa kamu tidak makan? Apa kamu kesusahan? Bagaimana kalau....aku suapi kamu. "

Sambil berkata demikian Yesi Mo sudah mengangkat sumpit, mneyumpit satu suap mie dan dengan hati-hati menyodorkannya ke Stanley Yan.

"Buka mulut. Aaah..... "

Stanley Yan tertawa tanpa suara, Yesi Mo kali ini terlihat seperti sedang menyuapi Didi, dipenuhi aura seorang ibu, membuatnya tanpa sadar membuka mulutnya lebar-lebar.

Mie itu masuk ke dalam mulutnya, dan bersamaan dengannya sebuah perasaan hangat muncul dari dalam hatinya.

Melihat Yesi Mo masih akan melanjutkannya, Stanley Yan menggeleng, dia kemudian meraih sumpit yang dipegang Yesi Mo, lalu meniru gerakan Yesi Mo menyumpit sesuap mie dan menyuapkannya pada Yesi Mo.

"Ayo makan bersama. "

Yesi Mo tertegun sejenak, lalu dengan patuh membuka mulutnya dan menelan mie yang Stanley Yan suapkan padanya.

Setelah menelannya, Yesi Mo tertawa, tertawa senang.

Keduanya sedang berada dalam kemesraan, suap demi suap saling menyuapi, hawa kebahagiaan mereka terpancar memenuhi seluruh ruang tamu, terpancar keluar.

Kenny Song yang berdiri di luar, mengawasi semua itu dari kejauhan, di wajahnya bergantung sebuah senyuman.

Melihat bulan sabit di langit malam, lalu menoleh menatap kedua orang itu yang sedang saling menyuapi dengan mesra, Kenny Song mengerutkan bibirnya, memejamkan mata, dan menghembuskan nafas panjang, saat dia membukanya kembali, tatapannya terlihat bercampur aduk.

Novel Terkait

The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Anak Sultan Super

Anak Sultan Super

Tristan Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Wahai Hati

Wahai Hati

JavAlius
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
Spoiled Wife, Bad President

Spoiled Wife, Bad President

Sandra
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Istri Direktur Kemarilah

Istri Direktur Kemarilah

Helen
Romantis
4 tahun yang lalu