Perjalanan Selingkuh - Bab 161 Siapa yang Mencelakai Weni Demina ?

“Jika aku mencari bukti, dan membuktikan bahwa aku adalah Safira Demina, berapa persen saham yang bisa ditarik kembali?” Aku bertanya kepada ayah Steven.

“Mungkin bisa mengambil kembali saham yang dipegang oleh Sunni.”

“Masih bisa dipertimbangkan.”

Setidaknya lebih banyak yang aku harapkan.

“Kamu tau tidak, jika tidak ada kejadian ini, kamu sebagai penerus keluarga Demina berapa persen saham yang akan kamu dapatkan?” ayah Steven menatapku dengan lesu.

Aku menggelengkan kepala, aku tidak mengerti mengenai hal-hal seperti ini, ketika kecil, kakek tidak menceritakan persoalan seperti ini kepadaku, kemudian tumbuh dewasa, menjadi jauh dengan dunia seperti ini, menjadi semakin tidak mengerti mengenai persoalan seperti ini.

“Saham yang ada ditangan ibumu seharusnya adalah milikmu.”

“Dibandingkan ini, aku lebih berharap ia lekas sembuh kembali.”

Aku tidak tertarik dengan semua ini, tetapi tidak boleh karena aku tidak tertarik, aku memberikan perusahaan yang telah kakek bangun dengan susah payah kepada Sunni mereka.

“Beberapa hal, perlu dijalankan secara perlahan-lahan, kamu harus tunggu semuanya stabil dan menunggu waktu yan tepat kemudian kita memanfaatkan tangan-tangan mereka, jika tidak, jika mereka mengetahui bahwa ingatan kamu pulih, mereka akan mencelakaimu dengan segala cara, hanya dengan mencelakaimu maka semua bukti itu akan musnah.”

Ayah Steven mengajariku dengan sangat serius.

Aku tau, bedasarkan sifat Sunni yang begitu gila, semua kekhawatiran itu ada kemungkinan terjadi.

Tetapi jika teringat perhitungan ayah kandungku terhadapku, tetap saja ada rasa sakit yang sangat besar di dalam hati.

Aku tidak tau apakah itu hanyalah sebuah mimpi, di dalam mimpi aku melihat Sunni dan Lulu mendorong Weni dari tangga atas, Weni tergelinding sampai ke lantai bawah, dan pingsan tergeletak di lantai.

Dan darah segar dari kepalanya mewarnai lantai.

Mimpi seperti ini, membuatku ketakutan dan terbangun, lalu mengelus-elus dada dan menghela nafas.

“Linda, jangan takut, tarik nafas...”

Suara rendah Steven yang menenangkan memasuki telingaku, mengikuti kata-katanya, aku menarik nafas, akhirnya aku melegakan tekanan yang ada di hatiku.

Ia merangkulku, menanyakanku : “Mimpi buruk?”

Aku menganggukkan kepala.

Steven mengelus-elus kepalaku, kekhawatiran di wajahnya : “Kamu sampai berkeringat.”

“Aku bermimpi mamaku didorong dari lantai atas.”

Mungkin gambaran mimpi itu yang membuatku panik, aku meneriaki kata mama secara tidak sadar.

“Jangan pikirkan itu, jika kamu ingin tau apa, aku akan membiarkan orang menelusuri secara jelas untukmu.” Steven memelukku, sambil mengelus-elus rambutku.

“Kamu bilang, apakah merekalah yang mencelakai ibuku?” Aku memegang erat Steven dan bertanya kepadanya dengan wajah penuh kekhawatiran.

Aku merasa semuanya sangat kebetulan.

Sebagai contoh, kenapa ibuku bisa terjatuh dari lantai atas, dan terluka begitu berat.

Kedua, apakah tidak terlalu cepat membahas persoalan pembagian saham? Semua ini, jika dipikirkan, bisa jadi sudah direncanakan sebelumnya.

“Jika kamu mengkhawatirkan bibi Weni, besok aku akan membawamu mejengkuknya.” Steven menenangkanku dengan suara rendah.

Aku mengangguk.

Ketika tidur, Steven memelukku dari belakang, bahu dia sangatlah lebar, berbaring di dalam pelukannya membuatku terasa nyaman.

Keesokan harinya, ketika aku bersama Steven pergi ke rumah Demina , secara tidak sengaja bertemu dengan Fuji.

Aku melihat Fuji dengan tatapan matanya yang kosong.

Dulu tidak ingat siapa dia, tetapi sekarang teringat, baru tau bahwa dia adalah paman kecilku, yang umurnya tidak jauh berbeda denganku, ia juga tumbuh besar bersama kakek, bisa dikatakan bahwa hubungan aku bersamanya lumayan baik.

Tetapi tidak terpikir, itu semua sudah menjadi masa lalu.

“Hei cantik, kamu datang juga?” Fuji menyapaku dengan santai, dan aku tidak tau bagaimana menjawabnya.

Tidak ada yang mengetahui identitasku sekarang, jelas tidak boleh memanggilnya paman, kedua, sangat tidak sopan jika memanggil nama.

“Kamu kemana saja? Kenapa acara perjamuan dua hari lalu tidak melihat dirimu?” Aku bertanya.

“Perjalanan bisnis keluar negri.”

Membahas sampai sini, tatapan Fuji seperti mencari-cari sesuatu, ia langsung bertanya kepada pelayan di samping : “Dimana kakakku?”

Ia dibawa oleh pelayan, wajah Fuji berubah menjadi semakin tidak senang.

Sambil berjalan ia merasa sangat tidak senang : “Kenapa kakakku bisa tinggal di tempat seperti ini.”

“Sedikit tidak nyaman.”

Wajah pelayan itu terlihat pucat, menjawab dengan kehati-hatian.

“Sedikit tidak nyaman?” seketika Fuji merubah mimik wajahnya.

Aku rasa, dia pasti belum mengetahui persoalan terlukanya mamaku, mungkin ia datang hari ini, akan menyadarinya!

Kami melihat Weni terakhir kali adalah di Villa kecil yang aku huni dulu.

Tetapi kini, ia telanjang kaki, rambut yang acak-acakan, dengan mainan boneka di tangannya.

Selalu berbincang-bincang : “Safira Safira, cepat pulang..... mama menjemputmu, mama berjanji, tidak akan meninggalkanmu untuk bekerja lagi, mama akan selalu menemanimu oke?”

Terakhir, ia menutup mulutnya dan menangis dengan sekuat tenaga.

Menatapi Weni, hatiku sangatlah sakit, walaupun ia sudah gila, yang ada dipikirannya tetaplah Safira.

“Kakakku kenapa?” Fuji yang tidak bisa menerima kenyataan.

Ia terbengong melihat kakinya yang telanjang, rambut yang beracak-acakan, dan safira safira yang ada di setiap ungkapannya.

“Kepalanya terbentur saat jatuh dari lantai atas, sekarang ia tidak mengenali orang lagi.” Hatiku merasa sangat sakit melihat Weni.

“Bagaimana bisa? Tidak mungkin?”

Fuji tidak percaya semua ini, ia menerobos semua pelayan yang menghalangi jalannya menuju Weni, dan aku juga mengikutinya dengan erat dari belakang.

Tidak berlari jauh, kami menemukan Weni Demina.

Tetapi baru saja Fuji masuk, Weni Demina langsung mendorongnya, ia berkata kepada kami : “Kalian.... Kalian adalah orang jahat, kalian se-geng, kalian membunuh mati Safiraku.”

“Safiramu baik-baik saja! Beneran, jangan takut!” Hatiku berbisik seperti itu, air mataku berjatuh-jatuhan.

“Tidak, Safiraku dicelakai oleh orang jahat itu.”

Seluruh jiwa Weni seperti kambuh gilanya, sebentar-sebantar mendorong aku dan Fuji, sebentar-sebentar berlari keluar kearah luar.

“Siapa yang membuat kakakku menjadi seperti ini?”

Fuji bertanya sambil menahan amarah.

“Sekarang bukan saatnya membahas ini, aku merasa, ia tidak begitu pantas tinggal di tempat seperti dengan keadaan seperti ini.” Aku memberi saran.

Aku melihat, disaat Weni kambuh, tidak ada satu orang pelayan pun yang mempedulikannya.

“Ayok! Aku mau melihat bagaimana caranya Siro Likan menjelaskan ini kepadaku?” kemudian ia berlari mengejar kearah Weni.

Novel Terkait

 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Kamu Baik Banget

Kamu Baik Banget

Jeselin Velani
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
4 tahun yang lalu
Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
3 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
4 tahun yang lalu