Perjalanan Selingkuh - Bab 191 Satu Buta, Satu Koma

Aku sama sekali tidak menyangka, aku suatu hari bisa buta.

Tapi aku tidak sempat peduli dengan keadaanku sekarang ini, aku hanya ingin tahu, bagaimana dengan Steven.

“Mana Steven? Sisi, bagaimana dengan Steven?” Aku dengan cemas bertanya ke Sisi.

Sisi tak berhenti menangis, berjalan ke depanku, lalu berkata padaku: “Linda, kamu jangan khawatir…”

Wanita itu baru selesai mengatakan kalimat ini, dalam hatiku sudah berdebar-debar.

Aku meraba-raba, menyentuh tangan Sisi yang diletakkan di atas tempurung lututku, dengan kacau bertanya ke wanita itu: “Sisi, jangan rahasiakan dari aku, aku mohon beritahu aku, bagaimana dengan pria itu?”

Aku sekarang ingin sekali diriku bisa kelihatan, lalu tidak peduli apapun berlari pergi keluar, pergi mencari Steven.

Betapa ingin aku melihat dia sekarang tidak ada apa-apa.

“Sisi, jangan merahasiakan dariku ok? Aku mohon, kalau tidak aku akan lebih bisa berpikir tidak karuan lagi.”

Dalam hatiku kacau balau seperti berdiri di hutan yang tak berbatas saja, kacau tak berdaya.

“Jangan gelisah, kamu jangan gelisah dulu.” Sisi menenangkanku.

“Bagaimana aku bisa tidak gelisah! Aku mohon, bawa aku pergi melihat dia ok?” Aku menggenggam tangan Sisi, sikap yang memohon dengan tulus berkata.

“Aku mohon padamu, Sisi!”

Nada suaraku merendah memohon ke Sisi.

Sisi akhirnya tersentuh olehku, dia mengangguk: “Baik, aku bawa kamu pergi ke sana.”

Wanita itu seperti tongkatku saja, menggadeng tanganku, selangkah demi selangkah keluar dari kamar pasien.

Badanku tidak ada masalah, aku ingat sebelum tak sadarkan diri, badanku dilindungi dengan baik oleh Steven, hanya satu-satunya kepala yang terbentur oleh barang.

Tapi aku tahu, kecelakaan kali ini sangat parah, Steven melindungiku, pasti terluka, hanya saja tidak tahu kondisi lukanya parah tidak, aku hanya ingin pergi sendiri ke kamar pasien untuk memastika, aku takut mereka tidak mengatakan hal yang sebenarnya denganku.

Sisi membawaku mendorong pintu, berkata padaku: “Kamu tenang saja, sudah melewati masa kritis, hanya sekarang belum sadar.”

Aku meraba-raba, berjalan ke dalam.

“Sisi.” AKu kedengaran suara Moli.

Meski aku sudah mengganti kembali nama, tapi prang yang dekat masih terbiasa memanggilku Linda, sama seperti aku terbiasa memanggil Sonya dengan panggilan Moli.

“Kak, bagaimana dengan Steven?” Aku meraba-raba, bertanya ke wanita itu.

“Linda, ada apa dengan matamu?” Wanita itu memperhatikan ada masalah dengan mataku, nada suara sangat terkejut.

“Tidak apa-apa, hanya tidak kelihatan saja.”

AKu berkata dengan santai, semua perasaan dan pemikiranku semua ada pada Steven.

“Kak, bagaimana dengan Steven?”

“Masih koma, tulang di tubuhnya terpatah beberapa, sudah dioperasi, tapi yang paling hebat adalah, kepala terbentur, sekarang masih koma tak sadar.”

Mendengar perkataan Moli, aku merasa seperti langit runtuh saja.

Saat aku mengetahui aku tidak kelihatan, aku juga tidak merasa apa-apa, tapi saat kedengaran Steven terluka begitu parah, aku merasa aku sampai tidak bisa bernafas lagi.

“Bagaimana bisa?”

Aku meraba-raba, berlutu di samping ranjang Steven, lalu memegang tangan pria itu: “Steven, kamu buruan sadar! Aku janji denganmu, kita segera menikah ok?”

Biasanya orang yang mewujudkan apapun yang aku mohon, sekarang tak peduli bagaimanapun aku mohon dengan tulus, juga tidak bereaksi sedikitpun.

Hatiku, tidak pernah kacau seperti ini, aku menoleh bertanya ke Moli: “Gimana dokter bilang?”

Aku seakan tersambar petir saja.

Lama sekali aku baru tersadar kembali, seketika itu, aku merasa seisi dunia jadi sunyi, seisi dunia jadi hitam, tidak ada sinar terang sedikitpun, juga tidak ada suara sedikitpun, sunyi yang menakutkan.

“Linda, ada apa denganmu?”

Sisi berkali-kali memanggil, akhirnya menarikku pulang.

“Linda, kamu jangan menakuti aku.”

“Aku tidak apa-apa, pria itu pasti bisa sadar, aku di sini menemani dia saja, tidak pergi kemanapun.”

Aku menggenggam tangan Steven, air mata terjatuh ke bawah mengikuti pipi: “Steven, aku mohon ke kamu, kamu pasti harus sadarkan diri ok? Aku sekarang sudah jadi orang buta, di kemudian hari hanya bisa membiarkanmu menjadi mataku, kalau kamu tidak mau sadarkan diri, aku orang buta ini pasti akan dipersulit sampai mati oleh orang.”

Aku ingat dulu pernah melihat berita, pasien semaca ini, hanya dengan merangsang dia, baru bisa membuat orang itu bangun.

Aku sekarang hanya bisa berulang kali tak berhenti mengatakan di samping telinga pria itu, berharap dia bisa kedengaran, lalu berusaha untuk bangun.

Di sekitar ada siapa, aku tidak kelihatan, siapa yang sedang berbicara, aku juga tidak kedengaran, aku sekarang hanya terjerumus ke dalam duniaku sendiri, hanya berulang-ulang berkata dengan Steven.

Aku tidak tahu diri sendiri sudah berkata berapa kali, berkata sampai mulut dan lidah kering.

Ada orang yang memberikan ke aku segelas air, aku minum beberapa teguk.

Lalu kedengaran suara Fuji: “Kamu sekarang juga perlu pergi periksa sebentar, matamu juga tidak boleh ditunda.”

“Tidak apa-apa, toh hanya tidak kelihatan saja, aku mau tunggu dia bangun dulu.” Aku dengan wajah yang acuh tak acuh berkata.

Fuji tiba-tiba jadi marah: “Kamu ini begitu tidak menyayangi kesehatanmu sendiri?”

Aku malah tidak bergerak, hanya meletakkan hati dan jiwa pada Steven.

“Kamu berbuat seperti ini, Steven juga bisa khawatir.” Fuji tidak ada cara lain, tak ada pilihan hanya bisa memindahkan Steven keluar.

“Kalau dia khawatir, kalau begitu cepatan sadar!”

Fuji dibuat kesal sampai tidak bisa mengatakan perkataan keluar, lalu aku kedengaran dia berkata: “Kecelakaan kali ini tidak sederhana, seharusnya direncanakan.”

Kedengaran perkataan Fuji, aku dengan sekuat tenaga menoleh, bertanya ke pria itu: “Apa ini Siro mereka yang lakukan?”

Aku sekarang hanya bisa terpikir pria itu.

“Belum ada bukti yang memastikan, aku sudah tanya ke sopir Steven, dia bilang, mobilnya bertabrakan dengan mobil seorang bajingan, dihadang oleh orang di jalan, baru tidak sempat ke airport.”

Mendengar perkataan Fuji, aku seluruhnya kesal sampai sekujur tubuh gemetar.

Aku teringat masalah ibuku tenggelam, sederetan masalah ini, takutnya dari awal sudah direncanakan.

“Ibuku dia bagaimana?” Aku tanya Fuji.

“Baru bagun, badannya masih sangat lemah, aku jemput ke rumahku untuk dirawat.” Fuji dengan suara berat berkata.

Lalu, pria itu berkata: “Kalau bukan aku kebetulan pergi tepat waktu, dia bisa…”

Pria itu belum habis berbicara, aku benar sudah mengerti, mereka harusnya sungguh mau mecelakai ibuku, dan nyawaku, takutnya mereka juga mau merenggutnya.

Sungguh sangat kejam, dan aku terhadap ayah kandungku sendiri, juga sepenuhnya berhati dingin.

“Paman kecil, maaf, aku tidak seharusnya membawa ibuku kembali ke rumah keluarga Demina.” Aku merasa sangat bersalah sekali, aku sekarang merasa diri sendiri seperti seorang pembawa sial saja, mencelakai semua orang yang baik terhadapku.

“Tidak menyalahkan kamu, mereka yang terlalu kejam.”

Meski Fuji berkata seperti ini, tapi aku tahu, dirinya sendiri yang terlalu polos, tidak menyangka mereka sungguhan bisa membunuh orang, pemikiranku yang tidak terencana dengan baik.

Aku mengira, setidaknya berstatus suami-istri bertahun-tahun, dan ibuku sudah gila, Siro seharusnya tidak akan melukainya lagi, tapi aku masih menaksir terlalu tinggi sifatnya.

Novel Terkait

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Mbak, Kamu Sungguh Cantik

Tere Liye
18+
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku CEO Misterius

Ternyata Suamiku CEO Misterius

Vinta
Bodoh
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
My Greget Husband

My Greget Husband

Dio Zheng
Karir
4 tahun yang lalu
Pengantin Baruku

Pengantin Baruku

Febi
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Richest man

The Richest man

Afraden
Perkotaan
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu