Perjalanan Selingkuh - Bab 162 Satu Ginjal, Apalah Artinya

Mungkin kepala pengurus rumah tangga dari awal sudah memberitahu Siro, jadi setelah kita masuk ke villa, langsung kelihatan Siro yang kebetulan dengan nada suara yang baik menenangkan Weni.

Tapi tangan Weni dengan erat menggenggam lengan baju Siro, dengan cemas berteriak: “Siro, Safira kita sudah hilang….”

“Kak, ada apa denganmu? Safira bukannya sudah ditemukan?”

Fuji memeluk Weni ke dalam pelukan, dengan suara kecil menenangkan wanita itu.

“Dimana dia? Mengapa tidak pulang melihatku? Apa dia masih menyalahkanku?” Weni berkata, air mata yang mengalir di pipi terjatuh ke atas pundak Fuji.

“Sudah pulang, dia dimana.”

Fuji membawa Weni berjalan selangkah demi selangkah ke arahku.

Aku kelihatan Weni yang jaraknya semakin dekat denganku, gugup sekali.

“Apa dia adalah Safiraku?” Weni menoleh bertanya ke Fuji di sampingnya.

Fuji mengangguk: “Benar!”

Aku tak tahu harus bagaimana dan mendongak melihat ke Fuji.

Fuji memberi kode mata, dengan suara kecil berkata: “Tolong dibantu.”

Sewaktu aku mengangguk menjawab, lalu kelihatan Siro berjalan menghampiri kemari.

Aku menahan pundak Weni dan tersenyum berkata: “Safira belum pulang, ini semua adalah teman Fuji, adalagi, itu adalah putra bungsu keluarga Himura, Steven.”

Aku yang mendengarkan perkataan Siro, dengan ekspresi yang rumit melihat ke arahku.

Aku tidak dapat membayangkan, kalau pria itu dari awal tahu keberadaan dan latar belakangku, mengapa dia begitu tidak perduli, bahkan bisa tidak menganggap keberadaanku?

Apa mungkin perasaan sewaktu kecil itu adalah palsu?

Apa mungkin di dalam hatinya benar aku tidak bisa dibanding dengan Sunni?

Berpikir sampai sini, hatiku sedih seperti terkoyak.

Weni yang mendengar perkataan Siro, juga tidak menyerah, dia langsung memandangiku, dengan sorot mata yang penuh pengharapan bertanya padaku: “Safira, apa kamu sudah pulang? Apa kamu menyalahkan ibu?”

Sekali perkataanku keluar, air mataku lalu bergelinding jatuh ke bawah.

Aku mengangguk: “Aku sudah pulang.”

Sekali perkataanku ini keluar, kelihatan ekspresi muka Siro langsung berubah.

“Linda, sungguh maaf, membuatmu repot, kamu terlalu mirip dengan putriku, baru membuat dia salah mengenal orang.” Siro dengan paksa menarik tangan Weni.

Namun Weni dengan keras kepala melihatku.

“Tidak, dia adalah Safira kita, Siro, kenapa kamu begitu ceroboh? Dia benar adalah Safira kita!” Weni menggoyangkan lengan Siro berkata.

Ekspresi muka Siro perlahan menjadi tidak enak dilihat, tapi masih dengan menahan dan menenangkan Weni: “Dia bukan Safira kia, kamu salah mengenali.”

Di saat sedang mengatakan, Sunni dan Lulu pulang dari luar sana.

Setelah kelihatan Fuji dan kami, langkah kaki Lulu menjadi pelan, agak tertinggal di belakang Sunni.

“Kamu lihat, Safira sudah pulang.” Siro menunjuk ke arah Sunni memperkenalkan ke Weni.

Sunni melihat mata Weni berkedip, tapi dengan segera, lalu dia tersenyum Weni dan membentangan tangan, dengan manis memanggil: “Ibu, aku sudah pulang.”

Tapi saat dia sudah hampir di dekat Weni, Weni langsung menampik, dia dengan penuh kesangsian melihat Sunni: “Nona ini, kenapa kamu sembarangan saja memanggil ibu?”

Tubuh Sunni seketika menjadi terpatung di sana, ekspresi wajah berubah-ubah.

Namun aku melihat adengan ini, tidak tahu harus bagaimana menggambarkan perasaanku.

Saat otak tak bermasalah, Weni tidak bisa mengenali putrinya sendiri, sebaliknya setelah menjadi bodoh, baru bisa membedakan dengan jelas.

Sungguh suatu hal yang menyedihkan dan menyesalkan.

Lalu di saat ekspresi muka Sunni yang berubah, Weni berjalan ke arahku, dengan nada suara yang perhatian bertanya padaku: “Safira, apa kamu lapar? Aku minta bibi membuatkan iga babi asam manis yang paling kamu sukai untukmu.”

Usai mengatakan, dia berjalan pergi ke dapur.

Dan aku yang melihat adengan ini, air mata di mataku sudah tidak bisa ditahan lagi.

Aku kira aku bisa terus membenci, tapi setelah dia menarikku dan memanggil namaku, ketika melihat dia walau sudah gila masih saja terus merindukanku, kebencian di hatiku perlahan menghilang.

Rasa sakit di hati, tak dapat dihentikan.

Aku tahu, semua ini, tidak bisa menyalahkan Weni, kalau mau menyalahkan hanya bisa menyalahkan, orang yang berhati jahat.

“Apa maksudnya? Linda, sebenarnya apa yang kamu perbuat ke ibuku?” Setelah Sunni melihat Weni pergi, dengan mata yang penuh amarah melihatku.

Dan aku mengusap air mata, dengan dingin melihat Sunni, juga melihat Lulu, terakhir pandangan mataku terjatuh ke Siro, yang juga adalah ayah kandungku sendiri.

Mereka bertiga sekeluarga, apa sekarang sudah dengan terang-terangan tinggal di sini?

Tapi mereka jangan lupa, ini adalah rumah keluarga Demina, bukan milik keluarga Likan, juga bukan milik keluarga Lulu.

Di dalam hatiku seakan mengusir pergi orang-orang yang berpikiran tidak murni ini, mengusir pergi dari tempat yang mengisi masa kecilku, tidak membiarkan mereka menodai tempat ini.

Tapi aku tahu, sekarang masih tidak bisa, aku masih perlu menahan.

“Mana aku tahu apa yang terjadi dengan ibumu, kalau kamu perduli terhadapnya, jangan membuat kondisi sakitnya semakin parah lagi.”

Aku dengan dingin melihat Sunni.

“Ini adalah urusan keluargaku, tidak perlu kamu ikut campur.”

Sunni dengan marah berkata.

Terakhir, bola matanya melirik, berkata padaku: “Linda, kamu jangan kira kamu sudah pergi dari rumah keluarga Demina, bisa lari untuk menyumbangkan darah, masih ada 10 hari, aku perlu transfusi darah, paling bagus kamu siapkan dengan baik.”

Aku benar dibuat marah oleh Sunni yang tidak tahu malu.

“Maaf, aku tidak setuju untuk mentransfusikan darah untukmu.” Aku dengan dingin melihat Sunni.

Sunni terkejut melihatku, menaikkan nada suara menanyaiku: “Jangan lupa, kamu sudah menandatangani surat perjanjian, kalau kamu berani mengikari, hati-hati aku buat ibumu di penjadi seumur hidup.”

“Itu adalah perjanjian antara aku dan Weni.”

Hal ini memang membuatku tertegun, meski tahu dia itu adalah ibu yang membesarkanku, tapi membesarakan dan mendidikku bertahun-tahun, aku belum bisa sepenuhnya berkeji hati tidak perduli padanya.

“Tapi surat perjanjian sekarang ada di tanganku.” Sunni dengan bangga melihatku.

“Dan juga, asal aku bersedia, ginjalmu juga harus kasih ke aku.” Sunni dengan muka yang penuh dengan niat jahat melihatku.

Aku mendengar perkataan Sunni, tak tahan untuk mendongak melihat Siro di sampingnya.

“Paman Siro, apa ini juga pemikiranmu?”

Sorotan mataku berkilau melihat pria itu.

Terakhir dia memindahkan sorotan mata, suaranya tidak kedengaran emosi apapun: “Satu ginjal, tidak ada pengaruh terhadap nona Linda, tapi bagi putriku, adalah penyelamat nyawa.”

Novel Terkait

Lelah Terhadap Cinta Ini

Lelah Terhadap Cinta Ini

Bella Cindy
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
3 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Because You, My CEO

Because You, My CEO

Mecy
Menikah
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu