Perjalanan Selingkuh - Bab 163 Memakan Surat Perjanjian

Perkataan pria itu, membuat rasa dingin di hatiku perlahan menjadi es, satu ginjal apalah artinya? Sungguh merupakan lelucon yang paling lucu di dunia.

Aku hanya merasa Sunni adalah putri kesayangan pria itu, jadi demi putri kesayangannya, dia sekali lagi melukai putri lainnya, bahkan masih memaksa orang sampai ke jalan buntu, sungguh ejekan yang lucu.

“Tidak mungkin.” Sorotan mataku yang menyedihkan dan dingin dengan erat melihat Siro.

Hati dingin seperti es, aku tidak menyangka, ayah yang sewaktu kecil aku puja bisa adalah orang hina yang tidak tahu malu seperti ini.

Aku juga tidak menyangka, di mata ayah kandungku, aku putri ini singkat kata debu saja bukan.

“Kalian jangan berharap.” Aku mengeluarkan senyuman ejekan ke Siro dan Sunni mereka berdua.

Dan Steven dari samping merangkul pinggangku dengan angkuh mengumumkan ke Siro dan Sunni: “Dia nantinya akan menjadi istriku, calon nyonya Steven, kalian punya hak apa mengeluarkan permintaan seperti ini?”

Sunni yang mendengarkan perkataan Steven, tidak berani percaya dan melihat Steven, tubuhnya seakan tidak bisa berdiri dengan stabil dan tidak bisa menahan untuk mundur beberapa langkah: “Kak Steven, yang kamu bilang bukan sungguhan kan?”

Matanya dengan penuh pengharapan melihat Steven, di matanya menggantung tetesan air mata yang hampir menetes, kelihatan sangat cantik dan sangat membuat orang yang melihatnya kasihan.

“Kak Steven, ayo katakana! Apa kamu membohongiku?” Sunni yang tidak mendapatkan jawab, dengan cepat melangkah ke depan, mengoyangkan lengan Steven bertanya.

Dengan paras muka yang tenang Steven menarik keluar tangannya dari tangan wanita itu, dengan nada suara yang datar berkata: “Ini sungguhan, dia akan menjadi satu-satunya istriku seumur hidupku ini.”

Sunni yang mendengarkan perkataan Steven, sepertinya menerima rangsangan yang sangat kuat, dengan sorotan mata bengis melihat ke arahku.

Kemudian orangnya langsung menyerang kemari, mulutnya berteriak: “Pasti kamu… semua akan baik asal kamu lenyap.”

Wanita itu bengis seperti itu, membuat semua orang terkejut dan terkejut, aku juga hampir saja tidak sempat merespon.

Di saat genting, Steven langsung menghalang di depanku, kemudian langsung mendorong Sunni: “Gila ya kamu?”

“Kak Steven, apa dia yang merampasmu? Pasti dia…..”

Sunni bisa dibilang sudah terjerumus menggila.

“Kalian kamu tidak ingin bertentangan dengan keluarga Himura, segera tarik dia pergi.” Steven dengan mata yang bengis melihat Siro dan Lulu.

Kedua orang baru merespon, Siro menarik pergi Sunni.

Dan Lulu dengan sakit hati memeluk Sunni, dengan suara ringan membujuk wanita itu.

“Aku mau ginjal dia, aku dan dia, hanya satu yang bisa hidup, aku mau ginjalnya, aku mau ginjalnya, aku mau dia hidup lebih menderita daripada mati.” Sunni dengan bengis berkata.

Steven mendengar perkataannya, ekspresi mata semakin dingin lagi.

Dan saat ini, Weni yang sebelumnya pergi ke dapur tidak tahu kapan keluar.

Setelah wanita itu kelihatan Lulu dan Sunni, langsung menabrak orang, mulut berteriak: “Orang jahat, orang jahat, kalian tidak boleh mempersulit Safiraku.”

“Kak, Kak, jangan marah, jangan marah.” Fuji tersadar kembali, dengan segera menghadang Safira.

“Mereka mempersulit Safiraku, mereka adalah orang jahat, usir mereka keluar.” Weni masih dengan muka marah memandang tajam pada Sunni dan Lulu.

Lulu melindungi Sunni, berkata ke Weni: “Yang di sini baru Safiramu.”

“Bukan, pasti bukan, kalian semua penipu, orang jahat, kalian semua ingin mempersulit Safiraku.” Weni dengan penuh kewaspadaan melihat mereka.

“Ibu, aku yang Safiramu.” Sunni berkata ke Weni.

“Bukan, kamu bukan.” Weni dengan penuh kebencian melihat wanita itu, kemudian menggeleng.

“Ibu, aku putrimu, kamu bukannya masih bilang, mau mencangkok ginjalnya untukku?” Sunni melihat ke Weni selangkah demi selangkah mendekati wanita itu bertanya.

Weni memengangi kepala, dengan menderita menggeleng: “Bukan…. bukan seperti ini….” Setelah beberapa saat, dia seakan tiba-tiba teringat sesuatu, lalu segera membalikkan badan dan berlari ke atas.

“Kak —— “ Fuji melihat Weni naik ke atas, juga dengan sangat khawatir ikut pergi ke atas.

Tapi tak disangka, tidak berapa saat, Weni muncul lagi.

Tangannya memegang selembah surat perjanjian: “Asal menyobeknya, tidak ada orang lagi yang mempersulit Safira.”

Wanita itu berkata sambil menyobek surat perjanjian, setelah Sunni melihat surat perjanjian itu, paras wajah langsung berubah, segera ke depan merampas: “Ibu, berikan ke aku, ini tidak boleh disobek.”

“Tidak boleh, kalian semua adalah orang jahat.” Punggung tangan Weni yang mengenggam surat perjanjian ada di belakang, dengan muka yang penuh waspada melihat Sunni, di dalam mata yang polos seperti anak kecil itu, semua adalah ketakutan.

“Ibu, walau kamu merobeknya juga tidak berguna, nurut ya! berikan ke aku.” Sunni memerintah Weni.

“Tidak, aku tidak akan memberikan pada kalian.”

Weni menggeleng, lalu terakhir langsung sembarangan meremas kertas itu, lalu langsung menyumpalkan ke dalam mulut.

Mata semua orang langsung memandang tajam dan tertegun.

“Jangan makan…..”

Sekali hati Sunni gelisah, berlari pergi ke arah Weni.

Aku segera menghadang di depan Weni: “Apa yang ingin kamu lakukan?”

Sunni dengan bengis memandang tajam dia sejenak, sudah mengambil keputusan berkata: “Jangan kira kamu yang berbuat ini sudah bisa meloloskan diri, aku bisa mencari cara membuatmu menandatangi pertama kali, bisa membuatmu menandatangi untuk kedua kali.”

“Kamu kira dengan cara yang sama, aku masih bisa membiarkan rencanamu terwujud?” Aku tanpa takut berpapasan dengan sorotan mata Sunni.

Aku tidak menyangka, gagasan yang hina seperti itu ternyata terpikir oleh Sunni.

Wanita ini tidak hanya hina, namun juga kejam, dulu bisa melukai anak dalam perutku, dan kali ini, demi menipu, sampai melibatkan ayah dan ibu yang membesarkanku.

Aku dulu masih tidak tahu mengapa Sunni terus bertentangan denganku, setelah ingatan kembali, aku baru teringat sebab akibat sebelumnya.

Juga baru mengerti, mengapa sorotan mata Sunni melihatku bisa mengandung kecemburuan.

“Kalau begitu tunggu saja nanti, Linda, seumur hidup ini, selain kali itu, aku tidak akan membuat diriku sendiri kalah darimu.”

Gumpalan kertas dalam mulut Weni meski sudah dimuntahkan keluar, tapi di atas karena ada air ludah yang lengket, tulisan hampir semua hilang.

Tapi ketika mengeluarkannya, Fuji langsung memusnahkan bukti.

Kali ini di rumah keluarga Demina bubar dengan tidak gembira, tapi yang membuat gembira adalah, Weni yang juga adalah ibuku, dibawa pergi oleh Paman Fuji.

Jangan lihat dia yang sepertinya sembrono, tapi sebenarnya berwatak tegas, walau lebih muda jauh dari ayahku, tapi setiap kali, tapi aura ayahku bisa ditahan habis olehnya.

Terhadap masalah ibuku yang terluka, ayahku tidak berani berkata, terus diam, mungkin itu karena merasa bersalah, membiarkan Fuji membawa ibuku, juga tidak berani berkata apapun.

Dengan demikian, batu besar di dalam hatiku juga bisa dilepaskan.

Kalau dulu ibuku belum gila, walau ayahku ditambah dengan Sunni juga tidak akan mengalahkannya.

Perjalanan pulang aku terus merasa penat, siapapun yang menemukan ayah kandung sendiri dan dalam ingatan ternyata adalah dua orang yang berbeda juga tidak akan bisa menerima dengan tenang.

Novel Terkait

Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
4 tahun yang lalu

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
5 tahun yang lalu

Pejuang Hati

Marry Su
Perkotaan
4 tahun yang lalu

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu