Adore You - Bab 125 Buka Kartu (1)

Hummer hitam melaju ke jalan raya. Di dalam ada suara seorang wanita bernyanyi pelan……

“Frans Wen, siapkan makan siang ya. Aku dua puluh menit lagi tiba.”

Frans Wen menyingkirkan berkas-berkas ke sebelah. Wajahnya yang tadinya dingin tersenyum hangat.

“Baik.” Nada bicara Frans Wen terdengar ceria.

Ia tidak perlu bertanya Eleanor Chu mau makan apa, sebab ia paham betul kesukaannya.

Mobil Eleanor Chu masuk ke kompleks vila yang tenang. Pintu utama vila terbuka perlahan karena didorong dari dalam.

“Duduk, jangan bergerak.” Melihat Eleanor Chu mau turun dari mobil, Frans Wen buru-buru menghampiri, “Jalanan licin saat turun salju begini. Aku khawatir.”

“Iya.”

Eleanor Chu tersenyum sambil menunjuk bagasi, “Ada hadiah buatmu.”

“Terima……”

Belum selesai mengucapkan terima kasih, Frans Wen langsung dicubit kencang oleh Eleanor Chu. Kulitnya yang putih bersih langsung berbekas merah.

“Sekali lagi bilang dua kata itu, kamu lari telanjang bulat di jalanan besar sana!”

Frans Wen tersenyum sambil geleng-geleng, “Baik, tidak akan bilang lagi.”

“Sini kamu yang bantu ambil. Aku lagi sulit gerak-gerak.”

Eleanor Chu membersihkan salju yang ada di kepala, lalu masuk vila.

Frans Wen membuka bagasi dengan penasaran. Di dalamnya ada sebuah boneka beruang terbaring.

Si pria tersenyum gembira untuk sesaat, laalu kemudian garuk-garuk kepala. Eleanor Chu sepertinya masih menganggap dia anak kecil.

“Suka tidak?” Melihat Frans Wen masuk sambil membawa boneka beruang, Eleanor Chu mencubit boneka itu, “Awalnya mau belikan kamu boneka seks, tetapi aku berubah pikiran. Masak kakak muda tampan seperti kamu mainan boneka seks…… Kasihan boneka seksnya kelelahan nanti.”

“……” Boneka seks……

Boleh pura-pura tidak dengar tidak, tanya Frans Wen dalam hati.

Frans Wen diam saja seperti orang linglung. Eleanor Chu merasa dia lucu dan menepuk-nepuk bahunya. Wanita itu berucap, “Eh, aku bercanda saja tahu! Karena takut kamu kesepian tidur sendirian, aku sengaja belikan boneka beruang. Bagaimana? Aku kakak yang perhatian kan?”

Si pria mengangguk, “Makan siang sudah siap. Ayo kita ke ruang makan.”

“Baik.”

Eleanor Chu bangkit berdiri dan mulai jalan. Setelah menaruh boneka beruang di sofa, Frans Wen menyusul dia. Setiap kali si wanita berada dalam jangkauan mata, sip ria tidak pernah rela menyia-nyiakan kesempatan untuk terus melihatnya satu menit pun.

“Orang yang kemarin mau menabrakku sudah ketahuan. Dia suruhan Felicia Su.”

“Felicia Su semalam masuk rumah sakit ya?”

“Eh, kok kamu tahu soal ini? Aku sebenarnya kemari juga untuk mendiskusikan itu,” balas Eleanor Chu terkejut.

“Iya, aku sudah mendalaminya.” Berhubung ingin terus berus berada di sisi Eleanor Chu untuk melindungi dan menjaganya, Frans Wen memang harus sigap dengan semua kabar terbaru yang diperhatikan si wanita. Kalau kabar ini saja tidak tahu, lebih baik ke laut saja deh!

“Sekarang masalah yang kita hadapi lumayan banyak. Satu adalah Felicia Su, dua adalah orang yang berhasil “membeli” Henry Ding untuk membuatkan laporan DNA palsu padaku sekaligus membunuhnya, tiga adalah orang yang menaruh foto dan berkas-berkas waktu itu ke ruang buku Tuan Besar Shen.” Eleanor Chu berpikir sejenak, lalu melanjutkan: “Oh ya, satu lagi, orang yang menaruh ular ke kamar mandiku.”

Eleanor Chu berbicara dengan santai, namun Frans Wen mendengarnya malah iba.

Dari luar hidup Eleanor Chu terlihat sangat sempurna, tidak ada yang menyangka sebenarnya tidak se-sempurna itu. Wanita itu sepanjang hari hidup dalam bayangan konspirasi dan ancamman. Ini membuat Frans Wen merasa bersalah. Ia sebenarnya tidak mampu melindunginya.

“Baik, aku akan ingat.”

“Yuk makan.”

Baru memegang sumpit, Eleanor Chu dapat telepon dari Howard Yi.

“Istriku, mau makan siang bareng tidak?”

“Eh? Kamu bukannya ada urusan di luar?”

“Betul, tetapi tetap bisa makan siang bareng. Kita sudah lama tidak melewati siang berdua.”

Ruang makan sunyi, jadi Frans Wen bisa mendengar dengan jelas isi pembicaraan telepon itu.

Eleanor Chu menyapukan pandangan ke makanan-makanan yang sudah disiapkan sepenuh hati. Sementara itu, Frans Wen diam-diam saja biar tidak memengaruhi keputusan si wanita.

“Nanti pas makan malam saja deh. Siang ini aku ada urusan.”

Frans Wen tersenyum puas karena acara makan bareng mereka akhirnya tidak terganggu.

“Kamu tidak di rumah?” tanya Howard Yi dengan alis terangkat.

Lagi turun salju lebat ini, bukannya di rumah kok malah pergi-pergi!

“Iya, sekarang lagi dengan teman karena ada urusan. Aku segera pulang kok.”

“Baiklah.” Howard Yi agak kecewa, namun tetap menyampaikan pesan ini-itu, “Jalanan licin karena salju, kamu harus hati-hati. Ke mana pun kamu pergi, jalanlah pelan-pelan. Sebisa mungkin juga jangan menyetir sendiri……”

“Baik, baik. Iya aku paham, Howard Yi yang bawel.”

Mendengar Howard Yi bawel, Eleanor Chu jadi merasa lucu sekaligus diperhatikan.

Howard Yi yang kalem itu ternyata ketika bertemu wanita yang disayangi juga bisa bawel. Dia sebenarnya tidak sedingin yang orang-orang katakan kok.

Memang, kalau hati sudah tertambat pada seseorang yang dicintai, sikap dan hidup seorang pria bisa berubah seratus delapan puluh derajat.

Eleanor Chu mematikan ponsel dan mulai bersantap. Frans Wen diam saja, namun dalam hati merasa sangat senang Eleanor Chu memilih makanannya daripada makan dengan Howard Yi.

“Frans Wen, wajahmu merah sekali. Tidak enak badan ya?”

Eleanor Chu menaruh sumpit di mangkuk dan mengibaskan tangan ke Frans Wen, “Kemari, sini aku cek ada yang bermasalah tidak.”

Pantas saja tiba-tiba diam, ternyata memang ada yang tidak beres. Begitu pikir Eleanor Chu.

“Mungkin hanya karena ruangan kurang hangat. Aku tidak apa-apa kok.”

“Kemari ah.” Eleanor Chu menarik telinga Frans Wen, “Waduh, kamu demam nih! Kok bisa sepanas ini?”

“Tidak tahu juga. Pasti karena ruangan kurang……”

“Kalau demam harus ke dokter, jangan sampai demam sampai jadi idiot. Kalau sampai jadi idiot, aku tidak mau kenal kamu lagi loh!”

Frans Wen langsung panik dengar gertakan Eleanor Chu. Meski paham betul wanita itu sedang bercanda, namun bercanda akan meninggalkan dirinya adalah bercandaan yang tidak mau dia dengar.

“Yuk jalan, aku bawa kamu ke rumah sakit.”

Eleanor Chu bangkit berdiri dan memakai mantel. Ia lalu mengambil kunci mobil di meja teh sekaligus mengambilkan mantel untuk Frans Wen.

Eleanor Chu dulu mengira Frans Wen pasti bisa menjaga dirinya sendiri, siapa sangka ternyata dia bodoh begini? Demam sampai parah begini masak tidak sadar sih? Kalau saja dia hari ini tidak datang, nanti malam demamnya pasti jadi makin parah.

“Tidak bisa, tidak bisa, kamu butuh dua pembantu yang tinggal di rumah. Aku baru bisa tenang kalau begitu.” Kalau dipikir-pikir, Frans Wen tidak bisa menjaga dirinya sendiri masih terhitung normal. Dia baru sembilan belas tahun, juga merupakan anak laki-laki. Bisa jadi yang lebih keliru di sini adalah Eleanor Chu yang terlalu melepasnya.

Jangankan Frans Wen, Howard Yi yang pernah masuk tentara kalau tiba-tiba ditinggalkan pembantu rumah dan asisten pasti juga bakal kebingungan mengurus hidup.

“Kamu, kamu marah……” Frans Wen berucap ini tanpa menunjukkan mimik khawatir sedikit pun. Dia malah mengakhiri kata-katanya dengan senyuman lebar.

“Marah apaan coba? Aku tuh khawatir, bukan marah!”

Eleanor Chu menarik Frans Wen keluar vila, lalu mendudukannya di kursi penumpang depan.

Frans Wen duduk dengan patuh dan menunggu Eleanor Chu memasangkan sabuk.

Si wanita agak menunduk untuk memasangkan sabuk. Sesekali, tangan si wanita meneyntuh tubuh Frans Wen. Meski Eleanor Chu tidak punya maksud aneh-aneh, Frans Wen tetap merasa deg-degan.

Pria itu tiba-tiba berpikir, enak ya jadi anak kecil yang terus dibantu dan diperhatikan Eleanor Chu.

Rumah Sakit Harapan Indah.

Allan Jiang tengah ada di sini karena menjenguk Felicia Su.

Di parkiran bawah tanah, waktu Eleanor Chu dan Frans Wen turun dari mobil, mereka kebetulan berpapasan dengan Allan Jiang dan asistennya, Summer.

“Gadis muda, kebetulan sekali.” Tatapan Allan Jiang yang dingin langsung berubah hangat ketika menemui tatapan Eleanor Chu. Ia sekilas menyapukan pandanngan juga ke Frans Wen, namun tidak menyapanya seolah tidak menganggapnya ada.

Eleanor Chu biasanya selalu periksa kandungan di rumah sakit militer. Kedatangannya kemari pasti karena menemani pria di sebelahnya berobat. Apalagi, berdasarkan data terbaru Allan Jiang soal Eleanor Chu, tidak ada orang yang perlu dijenguk olehnya di sini.

Howard Yi belum kelar diberesi, sekarang malah muncul satu pria lagi.

Ditatap sekilas oleh Allan Jiang, ekspresi Frans Wen tidak berubah sama sekali.

Allan Jiang menunduk dengan alis terangkat. Sepertinya pria ini lagi-lagi bukan sosok yang sederhana.

Tetapi dari mana asal mulanya ya dia? Apa hubungannya dengan Eleanor Chu sampai ditemani sendiri ke rumah sakit? Benak Allan Jiang dipenuhi seribu pertanyaan.

Apa pria ini selama ini terus disembunyikan Eleanor Chu?

Meski insiden surat waktu itu memicu banyak ketidaksenangan, Allan Jiang tetap mengirimkan benda itu pada Eleanor Chu demi kebaikannya. Ia sendiri dua hari lalu baru menolong si wanita di depan pintu Y Jewelry, jadi si wanita pasti tidak mungkin mencurigainya.

“Iya, kebetulan sekali,” balas Eleanor Chu dengan senyum.

Ia jelas tahu Allan Jiang kemari untuk menjenguk Felicia Su.

“Oh iya, kamu waktu itu baik-baik saja kan? Itu mobil kalau benar-benar menabrakmu gila sih, sudah sempat cek tubuh ke rumah sakit kan?”

Mendapat perhatian dari Eleanor Chu, wajah Allan Jiang jadi berseri-seri. Ia menenangkan, “Tidak terluka kok aku. Kamu tenang saja.”

“Baguslah kalau begitu. Kalau sampai kamu kenapa-kenapa, bisa stres aku.”

Allan Jiang refleks menunduk dengan kaku.

Basa-basi Eleanor Chu entah mengapa malah membuat dirinya canggung.

Orang yang sudah pergi jauh memang benar-benar bisa kembali?

Mana mungkin sih!

“Sudah ya, aku masih ada urusan lain jadi harus pergi. Lain kali kita bertemu lagi untuk ngobrol-ngobrol.”

Obrolan yang bisa dibicarakan Allan Jiang dan Eleanor Chu makin lama makin sedikit.

Melihat raut wajah Allan Jiang agak berubah, Eleanor Chu mengiyakan saja, “Baik, lain kali kita berbincang lagi.”

Setelah berjalan cukup jauh, Allan Jiang menoleh ke asistennya dengan wajah muram.

“Apa-apaan ini semua!”

Merasakan kemarahan bosnya yang tiba-tiba, bulu kuduk Summer merinding. Ia buru-buru menjawab, “Maaf tuan muda, aku akan segera melakukan penyelidikan!”

“Aku butuh semua informasi soal pria itu. Satu kata pun tidak boleh terlewat!”

“Baik tuan muda, aku paham.”

Eleanor Chu dan Frans Wen baru keluar dari rumah sakit dua jam kemudian. Si pria kena flu berat, namun tetap berpura-pura kuat terus. Meski biasanya selalu mendengarkan Eleanor Chu, dalam hal ini Frans Wen keras kepala setengah mati. Ia tidak mau disuntik, sungguh tidak mau.

Eleanor Chu tidak bisa memaksa. Ia hanya bisa menuruti sikap keras kepala Frans Wen dan mengantarnya balik ke vila.

“Bagaimana? Sudah merasa baikan?”

Eleanor Chu menaruh segelas air hangat dan obat di kepala ranjang Frans Wen.

Novel Terkait

Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
4 tahun yang lalu
Nikah Tanpa Cinta

Nikah Tanpa Cinta

Laura Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Your Ignorance

Your Ignorance

Yaya
Cerpen
5 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
See You Next Time

See You Next Time

Cherry Blossom
CEO
5 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
4 tahun yang lalu