Marriage Journey - Bab 9 Aku Tidak Punya Rumah

Tak lama kemudian, Sifa berdiri secara perlahan. Saat ini langit sudah mulai gelap, tetapi dia hanya sendirian dan tidak tahu harus pergi ke mana...

Tatapan Sifa kosong, dia tidak tahu harus pergi ke mana, dia tidak berani kembali.

Jika dirinya yang sedang hamil pergi ke vila tempat dia dipenjara selama bertahun-tahun, dia takut saat keluar nanti, dia hanya sendirian...

Dia berjalan keluar dari rumah sakit pada saat jam pulang kerja dan ada begitu banyak pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang di jalan.

Semua orang berjalan ke tempat tujuan masing-masing, hanya Sifa sendiri yang berjalan tanpa tujuan, dia berdiri di atas jembatan dan merenung, tidak tahu harus ke mana.

Decky pergi ke bar sendirian dan para wanita yang ada di samping, melayaninya dengan hati-hati.

Tapi pikiran Decky tidak ada di sana, dia meminum anggur segelas demi segelas dan dia ingin melupakan air mata wanita yang tak berdaya itu.

Meskipun saat dia kembali, dia langsung pergi ke kamar mandi dan menggosok dan membersihkan air mata Sifa yang ada di punggung tangannya dengan sekuat tenaga.

Tetapi saat ini, Decky masih merasakan sensasi terbakar di punggung tangannya, seolah-olah air mata itu masih terus tersisa.

Tidak peduli bagaimanapun usaha Decky untuk fokus ke hal lain, dia masih tetap saja memikirkan wanita sialan itu tanpa sadar.

Wanita di sebelah Decky mulai meraba-raba tubuhnya dan ingin mengambil kesempatan ini untuk menjalin hubungan dengan Decky.

Decky tidak menyukai wanita seperti ini. Dia berdiri dan marah dengan suuara keras: "Sialan, semua keluar dari sini!"

Perubahan emosi Decky secara tiba-tiba membuat beberapa wanita di sekitarnya sedikit bingung, tetapi mereka tahu identitas Decky. Jika mereka benar-benar membuatnya marah, maka masing-masing harus menanggung konsekuensinya.

Para wanita bergegas keluar dan meninggalkan Decky sendirian di ruangan pribadi yang mewah, kedua tangannya memegang kepalanya dan duduk di sofa dengan perasaan tertekan...

Di sisi lain, Sifa sedang berdiri sendirian di jembatan dan melihat lalu lintas kota sambil menyentuh perutnya dan pipinya basah oleh air matanya.

Sebelumnya, Decky pernah memberi kartu kredit tanpa batas kepada Sifa, tetapi Sifa sangat hemat dalam menggunakannya. Dia tahu tujuan kedekatan Decky dengan dirinya adalah untuk membalas dendam.

Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, dia rela menjadi seperti seekor burung yang dikurung oleh Decky, kemudian mulai beradaptasi dan berusaha menyenangkan hati Decky.

Tetapi sekarang, setelah mengetahui dirinya hamil, pria yang dia cintai malah mengabaikan nyawanya dan nyawa bayi dalam kandungan untuk menyelamatkan wanita yang dia cintai.

Sifa dulunya adalah seorang wanita yang sangat ceria dan temannya juga sangat banyak. Namun, karena Decky mengurungnya di villa selama bertahun-tahun, hal ini membuat dirinya tidak memiliki kesempatan untuk keluar.

Bahkan Sifa sudah lama kehilangan kontak dengan teman-temannya. Saat ini adalah akhir musim gugur. Tiupan angin membuat orang merasa kedinginan. Sifa menundukkan kepalanya dengan lemah, kemudian menarik mantelnya, dan berjalan lurus ke ujung jembatan.

Setelah selesai dengan urusan pasien, Hendi kembali, saat itu Sifa sudah tidak ada di tempat.

Hendi bergegas mencari dokter yang telah melakukan pemeriksaan dan menanyakannya. Setelah mengetahui keseluruhan cerita, Hendi tidak bisa menahan emosinya dan meninju meja, wajahnya penuh kemarahan.

Hendi menelepon Sifa terus-menerus, tetapi setiap panggilan hanya terdengar suara dingin seorang perempuan: "Nomor panggilan yang Anda tuju sedang tidak aktif."

Hendi kemudian mengendarai mobilnya keluar dari rumah sakit dan dengan pikirannya yang sedang kacau, dia pulang ke rumah.

Di dalam perjalan pulang, Hendi mengendarai mobilnya secara perlahan-lahan dan secara tidak sengaja, dia melihat ke arah jembatan. Meskipun langit sudah gelap, Hendi tetap masih bisa mengenali Sifa dengan penglihatan sekilas.

Hendi terkejut dan segera menghentikan mobil, kemudian berteriak keras ke arah Sifa. Sifa berjalan sepanjang jalan dengan kepala tertunduk.

Kendaraan lalu lalang membuat suara Hendi tidak terdengar olehnya.

Melihat Sifa tidak mendengarnya, Hendi bergegas lari dan mengejarnya, kemudian meraih pergelangan tangan kecil Sifa.

Sifa terkejut dengan sentuhan yang datang secara tiba-tiba, kemudian tangannya segera mengelus perutnya, matanya terlihat sangat panik.

Hendi menghela napas dengan kuat-kuat dan merasa sedih saat melihat kepanikan Sifa.

Sifa melihat Hendi yang berdiri di depan matanya, langsung berkata: " Hendi... Ternyata kamu." Sifa tersenyum dengan sangat canggung.

Hendi ingin menanyakan padanya apa yang terjadi pagi ini, namun, Hendi tidak tahu bagaimana caranya untuk bertanya.

Tumbuh bersama sejak kecil, Hendi sangat mengenal sifat Sifa. Karena melihat Sifa pada saat itu ingin menghindarinya, tentu saja dia pasti tidak ingin Hendi mengetahui masalahnya.

Akhirnya Hendi tidak bertanya lagi tentang hal itu, dia menatap Sifa dengan tenang dan tetap tersenyum seperti sebelumnya.

"Ini sudah sangat larut. Kamu masih berjalan di luar. Saat ini sangat masuk angin, sejak kecil kondisi tubuhmu tidak begitu kuat. Meskipun kamu tidak memikirkan dirimu sendiri, sekarang kamu punya anak, kamu harus memikirkannya."

Senyuman di wajah Sifa berangsur-angsur hilang, kemudian terlihat cemberut dan tak berdaya. Dia mengelus perutnya ke atas dan ke bawah.

Sifa menundukkan kepalanya dan berkata dengan pelan, "Iya, sekarang aku sudah punya anak dan tidak sama seperti dulu lagi. Aku harus memikirkan anak ini..."

Hendi dengan cepat menanggalkan pakaiannya dan meletakkannya di pundak Sifa, kemudian membungkuk dan berkata pelan kepada Sifa : "Kamu mau pergi ke mana sekarang, aku akan mengantarmu pulang."

Sifa menatap Hendi, kemudian dia tidak bisa menahan emosinya lalu menangis dengan sedih sambil menundukkan kepalanya: "Aku tidak punya rumah, aku tidak tahu harus pergi ke mana."

Sifa menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis di depan Hendi, Hendi mengerutkan keningnya lalu memeluk Sifa.

Hendi tahu bahwa kehidupan yang di lalui oleh Sifa tidak begitu baik, tetapi kondisi Sifa seperti ini membuat Hendi tidak tahu harus berbuat apa.

Hendi menepuk punggung Sifa dan bergumam dengan suara rendah: "Tidak apa-apa, tidak apa-apa, aku adalah rumahmu."

Sifa mengangkat kepalanya dan menatap Hendi, tiba-tiba teringat dengan masa kecilnya, dulu Hendi juga menghiburnya dengan cara seperti ini.

Hendi menyeka pipi Sifa yang berlinangan air mata dengan tangannya dan berkata dengan lembut, "Pergilah ke tempatku dulu. Aku tinggal sendiri. Ada kamar kosong di rumah, kamu sendirian di sini, aku juga tidak tenang."

Sifa tahu bahwa dirinya tidak ada pilihan lagi. Meskipun dia memiliki kartu kredit, jika dia menggunakan kartu itu, Decky akan segera tahu di mana keberadaannya.

Sifa tidak ingin Decky tahu keberadaannya. Dia takut Decky akan merampas dengan kejam haknya untuk menjadi seorang ibu dan dia juga takut kehilangan anak ini, yang membawa harapan bagi dirinya di kehidupan ini.

Sifa mengangguk dan hanya ini yang bisa dia lakukan untuk sekarang. Hendi mengetahui kondisinya dan tempat terbaik dan satu-satunya yang bisa dia pergi adalah rumah Hendi...

Hendi melaju cepat ke kediamannya. Hendi selalu menyukai kebersihan. Rumah tiga kamar dengan satu ruang tamu semua terlihat sangat bersih dan rapi. Dekorasi sederhana yang tertata rapi terlihat sangat bagus.

Hendi meminta Sifa untuk duduk terlebih dulu, kemudian dia menyiapkan makanan untuk Sifa. Dia tahu kondisi Sifa saat ini sangat mudah merasa lapar.

Sifa melihat Hendi sendirian sibuk di dapur dan ingin membantunya, saat dia berdiri dan berjalan, dia melihat foto lama yang terpanjang di samping TV.

Anak laki-laki di dalam foto itu menatap dengan tatapan lembut dan anggun dan di sampingnya ada anak perempuan yang setengah kepalanya lebih pendek dari anak laki-laki itu, dan tertawa nakal ke arah kamera.

Sifa tidak pernah tahu bahwa Hendi menyimpan foto seperti itu. Anak perempuan yang terlihat sangat ceria itu, sudah lama menghilang.

Sifa menundukkan kepalanya, air matanya mengalir dan menetes ke lantai, Hendi menyajikan makanan dan memanggil nama Sifa, Sifa kemudian dengan cepat menyeka air matanya dan berbalik.

Sifa berjalan ke arah Hendi dengan tersenyum, dia tidak pernah tahu bahwa Hendi benar-benar bisa memasak dan suasana hati Sifa sudah menjadi lebih baik saat ini.

Sambil tersenyum, Sifa memuji Hendi : "Sepertinya kamu tidak sia-sia pergi ke luar negerti beberapa tahun terakhir ini. Cepat ceritakan, dalam beberapa tahun terakhir sudah berapa banyak gadis yang berhasil kamu taklukkan dengan bakatmu ini."

Perasaan Sifa sudah jauh lebih tenang saat ini. Melihat Hendi berbicara dan tersenyum, kemudian mengangkat bahunya dengan tak berdaya: "Bawaan sejak lahir, yang sudah ditaklukan tidak bisa dihitung, yang tergoda ada beberapa."

Sifa tertawa keras: "Ini memang sifatmu, dari kecil memang sudah seperti ini, dan tidak banyak berubah meskipun sudah tumbuh dewasa."

Setelah Sifa selesai berbicara, Hendi tidak melanjutkan percakapannya, keduanya duduk di ruang tamu dan terdiam.

Tidak ada ekspresi di wajah Hendi, setelah beberapa saat, dia memandang Sifa dan berkata, "Aku tahu hidup yang kamu jalani tidak begitu baik, kamu sakit dan kamu punya anak, kamu tahu situasimu..."

Novel Terkait

Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Takdir Raja Perang

Takdir Raja Perang

Brama aditio
Raja Tentara
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu