Marriage Journey - Bab 58 Bisakah Kamu Membawakanku Pakaian

Decky buru-buru melepaskan celananya dan hendak masuk, tetapi dia menyadari wanita di bawahnya tidak lagi bergerak.

Ekspresi Decky membeku di wajah. Dia menunduk, menemukan wajah Sifa yang pucat disertai tatapan kosong dan tak berdaya, seperti mayat tak bernyawa.

Gerakannya terhenti. Apa yang dilakukan dirinya? Apakah dirinya patut melakukan hal semacam ini demi wanita seperti ini?

Ada apa dengan wanita ini? Wanita ini awalnya tidak seperti ini. Apakah dirinya tidak memikirkan Yuli yang terbaring di rumah sakit saat hendak melakukan hal seperti ini?

Decky ragu-ragu sejenak. Detik berikutnya, dia memakai baju dan celana, lalu menendang Sifa.

Sifa terjatuh ke lantai, terlihat sangat menyedihkan. Dia berjongkok di lantai sambil memeluk dirinya sendiri, menatap Decky dengan ketakutan.

Tatapan seperti itu menyakiti hati Decky. Apakah wanita ini begitu takut pada dirinya?

Decky mendengus dingin, mengepalkan tinjunya erat-erat, menatap Sifa "Wanita berbau vulgar, keluar!"

Dengan berlinang air mata, Sifa segera mengenakan pakaian dan terhuyung-huyung keluar kantor.

Sifa berlari menuju kantornya, menutup pintu, terjatuh ke lantai.

Air mata tak berdaya membasahi wajahnya. Dia duduk di lantai dengan tatapan kosong serta senyuman pahit yang terpasang di wajah.

Pikirannya tidak bisa ditarik kembali dalam waktu yang lama. Sampai ponselnya berdering, barulah dia perlahan sadar.

Dia mengeluarkan ponsel dan melihat itu adalah panggilan dari Marsha. Dia sekilas mengecek jam. Waktu sudah tiba pada jam yang disepakati mereka bersama untuk pergi ke restoran.

Sifa mengangkat telepon. Sebelum dia sempat berbicara, Marsha berkata "Astaga gadis kecil, kamu melupakan janji pertemuan kita yang pertama kali, tidakkah ini tidak baik?"

Mendengar suara Marsha, air mata Sifa seketika tidak henti bergulir melalui pipi. Dia berkata pada Marsha dengan suara terputus-putus: " Marsha, aku di kantor, bisakah kamu membawakanku pakaian."

Marsha tidak bodoh. Dia pun tidak bertanya lagi, melainkan langsung menutup telepon setelah meninggalkan beberapa patah kata pada Sifa: "Jangan menangis, kamu masih ada aku. Aku akan segera datang."

Sifa berjongkok di lantai, memeluk diri sendiri, menarik bajunya yang robek, menundukkan kepala dan menyeka air mata.

Marsha tiba di kantor Sifa dengan cepat. Ini adalah pertama kalinya dia datang ke sini.

Marsha langsung bergegas menuju kantor Sifa. Begitu masuk, dia menemukan Sifa berjongkok di lantai dengan pakaian compang-camping.

Air mata berlinangan di wajah Sifa, tatapannya penuh dengan ketidakberdayaan. Marsha segera berjongkok, mengeluarkan pakaian yang dibawa dan mengenakannya di bahu Sifa.

Sifa merasa lega setelah bertemu Marsha, matanya seketika memerah.

Marsha menarik tangan Sifa, mengganti pakaian Sifa dengan tangan gemetaran, ekspresi wajahnya penuh ketakutan dan kepanikan.

Sifa ragu sejenak, tapi mulut yang sudah terbuka tidak melontarkan pertanyaan apa pun.

Setelah Marsha mengganti pakaian Sifa, dia menjadi lebih santai. Dia merendahkan suaranya dan berkata pada Sifa "Ini, apa yang terjadi?"

Tatapan Marsha sangat hati-hati, seakan takut dirinya akan melukai Sifa. Sifa tersenyum pahit sambil menundukkan kepalanya. Marsha adalah orang yang pintar, dia tidak mungkin tidak tahu apa yang telah terjadi.

Melihat Sifa tidak berbicara, dia membenarkan pemikiran yang ada di benaknya snediri. Tampaknya hubungan Sifa dan Decky amat buruk.

Marsha menatap Sifa. Dia tiba-tiba bisa merasakan ketidakberdayaan dan kepanikan Sifa sebelumnya, seolah-olah Sifa adalah dirinya yang kedua.

Marsha agak kehilangan fokus, tapi dia mengembalikannya dengan cepat, menghibur Sifa "Tidak apa-apa, kamu masih memiliki aku, aku di sini."

Marsha mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Sifa, tangan menepuk pundak Sifa dengan lembut.

Butuh waktu lama bagi Sifa untuk kembali rileks. Marsha menemukan noda merah keunguan yang berbekas di leher Sifa. Dia merasa sakit hati.

Dia melepas syal dan mengenakannya pada Sifa. Lalu melihat bahwa jam makan sudah lewat.

Tanpa ragu, Marsha membawa Sifa ke restoran untuk makan.

Kesadaran Sifa belum pulih sepenuhnya. Dia mengikuti langkah Marsha dengan kepala terkulai.

Sifa memesan sup. Dia terlihat pucat, tiada warna darah, kelihatan sangat lesu.

Dia duduk di kursi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, jari-jari tidak henti berputar.

Marsha terus mencoba untuk meredakan kegelisahan Sifa. Dia berbicara sewaktu-waktu, tapi Sifa hanya tersenyum sesekali tanpa menjawabnya.

Marsha meletakkan sumpit, ekspresi berubah serius, menatap Sifa dan bertanya "Apakah kamu bahagia di sisinya? Apakah kamu mencintainya?"

Sifa terpana oleh pertanyaan Marsha yang mendadak. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat Marsha, agak linglung.

Lalu dia melengkungkan bibir, tersenyum " Marsha, ada begitu banyak hal yang tidak bisa diputuskan diriku sendiri, inilah nasibku."

Setelah Sifa selesai berbicara, dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tak berdaya. Senyumnya mengandung kepahitan yang jelas.

Marsha menatap Sifa dan berkata lagi: "Dunia ini sudah memiliki banyak hal buruk, mengapa kamu tidak membuat dirimu lebih baik? Jika kamu tidak bahagia, mengapa kamu harus hidup?"

Perkataan Marsha menghantam hati Sifa. Sifa menunduk, tidak bisa berkata apa-apa dalam waktu lama.

Hidung Sifa sedikit masam, dia menggerakkan jari-jarinya sambil menatap Marsha : "Marsha, dalam tiga tahun ini, aku tidak pernah benar-benar hidup."

Marsha sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Sifa akan mengatakan hal seperti itu. Hal macam apa yang membuat wanita yang begitu cerdas dan cantik mengatakan dia seolah tidak pernah hidup.

Walau Sifa tidak mengatakan apapun, Marsha tahu bahwa itu pasti ada hubungannya dengan Decky. Namun, dia hanya diam saja.

Dia tersenyum pada Sifa dan berkata "Tidak apa-apa, kita berdua bisa saling mendukung. Cepat makan, kamu masih harus bekerja di sore hari."

Setelah menutup topik dengan tergesa-gesa, Sifa menundukkan kepalanya untuk memakan apa yang ada di depannya.

Marsha menggandeng tangan Sifa dan membawanya ke kantor. Di sepanjang jalan, banyak orang memandang Sifa dan Marsha sambil bergosip di belakang mereka tanpa henti.

"Lihat, bukankah ini Marsha ? Kali ini dia berhubungan dengan wanita rubah itu. Sepertinya perusahaan akan menghadapi badai berdarah lagi."

Beberapa wanita berdesas-desus dengan suara rendah, tapi semua itu tetap terdengar oleh Sifa dan Marsha.

Sifa menoleh untuk melihat Marsha, lalu menarik tangan Marsha dengan lembut: "Tidak apa-apa, kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri."

Raut muka Marsha yang awalnya agak buruk seketika menjadi jauh lebih rileks. Dia sangat benci orang lain mengkritik padanya, tapi apa yang menyebalkan adalah dia malah sangat peduli dengan kritikan-kritikan itu.

Ketika Marsha membawa Sifa ke atas, mereka kebetulan bertemu dengan Decky yang keluar dari kantor.

Melihat Decky, paras Sifa langsung merana, tubuhnya membeku di tempat.

Decky melihat Marsha, lalu memandangi tangan mereka yang bergandengan. Dia agak terkejut. Apakah wanita ini sudah punya teman di perusahaan?

Novel Terkait

The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
4 tahun yang lalu
Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu