Marriage Journey - Bab 79 Laras, Tolong Menjaga Rahasia Ini

Laras sama sekali tidak ada persiapan untuk menerima kenyataan ini, bagaimanapun hasil saat ini benar-benar di luar dugaannya, apakah Sifa mengetahui kondisi kesehatan sendiri? Jangan-jangan dia tidak tahu bahwa dirinya telah mengidap kanker lambung stadium terakhir?

Laras tidak berani percaya, dia beranjak ke depan dan menangkap lengan dokter: "Kalian pasti salah, ini tidak mungkin!”

Laras membentak pada dokter dengan gaya tidak percaya, dia tidak dapat menerima hasil seperti ini.

Dokter menggeleng kepala dan berkata dengan nada tidak berdaya: "Aku juga tidak berdaya, hasil pemeriksaan sudah pasti, kalian yang sebagai keluarga pasien harus ada persiapan, kesempatan untuk bertahan hidup kecil sekali.”

Dokter sudah beranjak pergi ketika selesai bicara, Laras langsung menyandar pada dinding di samping dengan tubuh yang tidak bertenaga.

Dia mana mungkin bisa menerima hasil seperti ini, di dalam otak pemikiran Laras terus menayangkan adegan ketika Sifa sedang berbaring di pelukannya dengan tubuh yang berlumuran darah.

Kata-kata dokter pada barusan terus bergema di dalam otaknya, seolah-olah sedang mengingatkan dirinya bahwa semuanya ini bukan mimpi.

Laras menutupi wajah sendiri, Sifa begitu baik, namun mengapa malah terus mengalami kejadian seperti ini.

Pada saat Sifa sadar kembali lagi, efek obat mereda nyeri telah memudar, dia sudah dapat duduk sendiri apabila sedikit menguatkan gerakannya.

Sifa melirik keadaan di sekeliling, dia sangat mengenal dengan suasana dan bau di dalam rumah sakit, setelah itu Sifa terus mengerut alis.

Dia mengelus perutnya dengan gerakan berhati-hati, semoga kejadian kali ini tidak berpengaruh buruk terhadap anak di dalam kandungannya.

Sifa ingin berdiri, namun kakinya sama sekali tidak bertenaga.

Oleh sebab itu seluruh tubuh Sifa hampir terjatuh ke arah lantai, namun dalam seketika itu, sepasang tangan yang besar dan bertenaga langsung memeluknya.

Setelah itu Sifa dibawa ke dalam sebuah pelukan yang lembut, dia sedikit mengangkat kepalanya dan kebetulan bertatapan dengan mata Laras.

Sifa sedikit memiringkan badannya untuk berdiri, namun Laras sama sekali tidak bergerak dan juga tidak bermaksud melepaskannya.

Sifa mengerut alis, wajahnya yang pucat menampakkan ekspresi bingung.

Reaksi wajah Laras sangat suram, sepertinya suasana hatinya sangat tidak baik, sehingga langsung bertanya dengan terus terang: "Aku boleh menanyakan sesuatu padamu?”

Sifa menyandar di dalam pelukan Laras dan merasa sedikit tidak nyaman, sehingga memberontak untuk berdiri,

Namun lengan Laras sangat bertenaga, dia menguatkan tenaganya untuk memeluk Sifa, sehingga Sifa tidak dapat meloloskan diri dari pelukannya.

Sifa menarik sudut bibir dan berkata dengan suara ringan: "Laras, kamu tanya saja.”

Laras menatap Sifa untuk beberapa saat dan berkata: "Kamu, tahu kondisi kesehatan kamu sendiri?”

Sifa langsung mengangkat kepalanya dan menatap Laras dengan tatapan waspada, setelah itu berkata dengan nada menjauh: "Buat apa kamu tanya ini?”

Laras menyadari jejak waspada dari tatapan Sifa, apabila Sifa menjawab demikian, tandanya dia telah mengetahui kondisi kesehatan sendiri.

Laras menatap Sifa dengan tatapan kaget: "Kalau kamu sudah tahu kondisi sendiri, mengapa tidak mau menjalankan pengobatan? Mengapa tidak mau kasih tahu kami?” Laras tidak mengerti dengan maksud Sifa.

Sifa mengetahui bahwa dirinya sudah tidak sanggup mengelabuhi Laras lagi, sehingga wajahnya menjadi semakin pucat.

Sifa menggigit bibir sendiri dan gaya kesusahan, akhirnya baru berkata kepada Laras: "Laras, aku berharap kamu dapat menjaga rahasia ini untuk sementara waktu.”

Sifa menunduk kepalanya, tatapannya mengandung jejak emosional yang tidak diketahui Laras.

Laras meletakkan Sifa ke atas kasur dengan gerakan ringan.

Setelah itu dia berdiri dan membelakangi Sifa, lalu menahan dahi sendiri dengan gaya tidak berdaya.

Kamar pasien menjadi sunyi dalam seketika, Sifa sedang mengelus perut dengan kedua tangannya, di atas meja tertera sebuah laporan pemeriksaan, tulisan kanker lambung stadium terakhir yang berwarna merah terus menarik perhatian Sifa.

Sifa menarik sudut bibir dengan kesan tidak berdaya, dia berbaring di atas kasur dan terus menatap plafon.

Keadaan di dalam kamar sangat hening.

Laras membalikkan badan dan menatap Sifa yang berwajah pucat, dia membuka mulutnya dan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya tidak dapat melontarkan apapun.

Hasil laporan pemeriksaan yang menarik perhatian sedang menusuk ke dalam hati Laras.

Sifa mengerut bibirnya dan tidak berbicara sama sekali, Laras duduk kembali dan berkata dengan suara yang serak: "Aku boleh menjaga rahasia untuk kejadian ini, tetapi kamu mesti menyetujui satu hal.”

Setelah mendengar suara Laras, Sifa sedikit menoleh kepalanya dan menatap Laras dengan tatapan kosong.

Laras menunduk kepala dan berkata dengan suara ringan: "Kamu mesti menjamin kalau kamu akan menjalankan pengobatan, kamu akan memberitahuku baik kondisi apapun, aku juga berharap bisa membantumu.”

Setelah selesai bicara Laras menunduk kepala dengan tidak berdaya, tangannya terus mengepal selimut yang berwarna putih.

Sifa mengangguk kepalanya, namun tetap saja tidak berbicara.

Saat ini Hendi sudah dapat duduk dari kasurnya, dia sudah demam dalam tiga hari berturut-turut.

Hendi duduk di atas kasur dengan tubuh yang lemah, dia merasa otaknya sangat pusing, mulutnya tidak ada rasa apapun.

Dia sedikit menelan air ludahnya, namun tenggorokannya langsung terasa sakit dan tidak nyaman.

Mungkin saja Hendi adalah satu-satunya dokter yang pingsan di dalam ruang operasi, bagaimanapun Hendi sudah lembur berturut-turut selama satu minggu ini.

Akhirnya Hendi pingsan ketika selesai menjalankan operasi, setelah itu dia demam selama tiga hari, seluruh tubuhnya kehilangan kesadaran dan terus berbicara sembarang.

Beberapa suster yang berhubungan baik dengan Hendi pada biasanya turut merawat Hendi secara bergiliran.

Hendi menatap malam musim dingin yang berada di luar jendela, saat ini keadaan di luar sangat sunyi, sedangkan dirinya yang sebagai dokter malahan sakit dan berbaring di sini.

Hendi menarik sudut bibirnya sambil tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya dari laci, di atas layar tertera beberapa panggilan tidak dijawab,

Semuanya adalah panggilan yang berasal dari Sifa dan orang tuanya.

Hendi menggeleng kepalanya yang masih terasa pusing, sepertinya kondisinya mulai membaik ketika melihat panggilan yang berasal dari Sifa.

Hendi menelepon kembali ke ponsel Sifa, namun tidak ada yang mengangkat. Hendi sangat khawatir dan mengerut alisnya, Sifa jarang menghubungi dirinya apabila tanpa sebab, Sifa akan menghubungi dirinya apabila ada keperluan mendadak atau penyakitnya telah kambuh lagi.

Hendi merasa sangat khawatir, sebenarnya masalah apa yang membuat Sifa menghubungi dirinya pada waktu tengah malam?

Hendi terus menghubungi ponsel Sifa, namun tetap saja tidak ada yang mengangkat.

Hendi buru-buru turun dari kasur, dia mengganti pakaian pasien dan berjalan keluar. Suster yang melihatnya langsung menghalangi Hendi dan menatapnya dengan tatapan kaget: "Dokter Shen, kamu sekarang masih tidak boleh turun dari kasur !”

Hendi langsung beranjak melalui sisi suster tersebut, dia mengerut alis dan tidak berbicara, malahan terus berjalan ke arah lift dan sama sekali tidak memedulikan halangan suster.

Pada saat melewati sebuah kamar pasien, dia tiba-tiba melihat wajah yang sangat dikenalnya.

Hendi langsung menghentikan langkahnya dan menatap ke arah kamar tersebut, saat ini Laras sedang berdiri di depan pintu kamar pasien, namun dia tidak melihat petunjuk larangan merokok yang menempel pada pintu.

Hendi menyimpan ponselnya dan melirik ke arah kamar, dikarenakan jarak yang terlalu jauh, sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas bentuk wajah orang tersebut.

Hendi berjalan menghampiri, sebelumnya dia pernah berinteraksi dengan Laras, meskipun Laras adalah karyawan Decky, namun dia merasa sifat Laras masih tergolong baik.

“Disini dilarang merokok.” Hendi menatap Laras dan berkata.

Laras mengangkat kepala dan mengisap rokoknya,lalu dia sedikit memejamkan matanya dan melihat keberadaan Hendi.

Setelah itu Laras mengangguk kepada Hendi, dia melihat larangan petunjuk yang menempel di pintu, sehingga langsung memadamkan rokoknya.

Hendi berjalan ke hadapan Laras dan berkata kepadanya: "Kenapa kamu bisa di sini?”

Tubuh Laras terasa sedikit kaku, dia mengangkat kepala dan tersenyum kepada Hendi: "Tidak apa-apa, ada seorang temanku yang lagi sakit.”

Setelah itu Laras langsung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Novel Terkait

Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
4 tahun yang lalu
This Isn't Love

This Isn't Love

Yuyu
Romantis
3 tahun yang lalu
Love From Arrogant CEO

Love From Arrogant CEO

Melisa Stephanie
Dimanja
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Istri ke-7

Istri ke-7

Sweety Girl
Percintaan
4 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu