Marriage Journey - Bab 131 Tidak Akan Melupakan Pelajaran

Marsha tersenyum sambil memandang Sifa, berkata "Apa yang perlu kamu buktikan? Bukankah menjadi asisten Decky sangat bagus? Kenapa kamu harus membuktikan kepada orang lain? Kamu adalah kamu, individu yang mandiri. Kenapa kamu harus peduli pada pandangan orang lain terhadap kamu?"

Marsha selalu independen, dia, yang tidak pernah peduli dengan pendapat orang lain, tidak mengerti kelakuan Sifa.

Sifa menunduk dan tersenyum tipis “Kamu tidak mengerti, Marsha. Di dunia ini, orang tidak boleh hanya hidup di dunia mereka sendiri. Aku membuktikan diri bukan karena aku peduli dengan pandangan mereka, tapi aku mau menonjolkan kemampuanku sendiri supaya orang lain tidak dapat mengatai aku."

Marsha mengangguk dengan linglung, mengeluarkan permen dari saku dan memasukkannya ke dalam mulut. Ketika lift tiba di lantai 11, Marsha keluar dari lift dan melambai ke arah Sifa "Sampai jumpa malam ini."

Sifa mengangguk, lanjut menaiki gedung dengan lift.

Setelah membentuk tim, Linda mengumpulkan informasi semua orang dan memberikannya kepada Sifa.

"Semua ini adalah informasi orang-orang yang ada di tim kamu. Kamu bisa melihatnya terlebih dahulu. Ini amat diperlukan demi ketelitian."

Linda memandang Sifa dengan diiringi senyum tipis, menyerahkan dokumen padanya.

“Terima kasih Linda, seharusnya aku yang melakukannya sendiri.” Ujar Sifa pada Linda dengan sopan.

Linda melambaikan tangan "Aku menyukai orang seperti kamu, makanya aku bersedia membantu kamu. Kamu tidak licik."

Usai bicara, Linda berbalik dan pergi. Sifa melihat sosok Linda yang menjauh, tersenyum tipis.

Setelah sekilas melihat informasi semua orang, Sifa tiba-tiba menemukan bahwa Luis berasal dari daerah dan sekolah yang sama dengannya.

Tapi dia sama sekali tidak ingat adanya keberadaan orang seperti ini di dunianya. Apa yang paling mengejutkan bukanlah informasi Luis, tapi informasi Marsha.

Marsha pernah memberi tahu dia bahwa dirinya adalah anak tunggal, tetapi dia belum pernah mendengar apa pekerjaan orang tuanya.

Hal yang terakhir kali terjadi itu, bagaimanapun Marsha tidak mau mengatakan siapa pria yang menyakitinya.

Hal ini pernah mencurigakan Sifa. Sekarang dia mendapatkan petunjuk dari informasi Marsha.

Informasi yang diperlihatkan sangat sedikit, hanya sekadar informasi-informasi sederhana yang ada di KTP saja, bahkan pengenalan dan informasi kontak orang tua pun sangat minim.

Sifa terus berpikir, bagaimana mungkin orang normal bisa seperti ini.

Tapi Marsha sepertinya tidak pernah berniat buruk apapun terhadap dirinya, dia hanya terlihat sedikit lebih sembrono dan menjalani kehidupan yang ingin dijalani.

Kepribadian Marsha tidak bermasalah. Sifa meletakkan dokumen setelah berpikir beberapa saat.

Saat itu masalah Marsha memang agak mencurigakannya, termasuk persoalan Marsha yang tidak pernah mengungkit sepatah kata pun tentang masalah itu. Saat itu dia takut akan membuka luka kesedihan Marsha sehingga dia tidak pernah bertanya.

Namun setelah melihat informasi ini, dia agak bimbang.

Waktu sudah hampir pukul delapan, Sifa terus tinggal di kantor dan tidak keluar hampir sepanjang sore.

Setelah melihat waktu, Decky memandang Sifa yang ada di layar dengan cemas.

Wanita ini sepertinya tidak menyadari bahwa sudah hampir waktunya jam malam, apakah pelajaran yang diberikan terakhir kali tidak cukup?

Decky tiba-tiba teringat dia yang sengaja memerintah penjaga keamanan untuk mengunci perusahaan tanpa memeriksa terlebih dahulu pada malam itu.

Dia menunduk, merasa amat bersalah. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu. Dia sudah makan malam. Wanita itu tidak bergerak sejak sore, hanya sibuk dengan dokumen-dokumen di meja.

Decky berjalan ke pintu dengan khawatir. Melalui kaca transparan, dia bisa melihat Sifa yang sedang membaca dengan serius.

Lampu meja di kantor mulai redup, di bawah lampu meja terdapat wajahnya yang kecil dan halus.

Decky memandang Sifa sampai terbengong, tapi Sifa fokus pada pekerjaan, sama sekali tidak menyadari keberadaan Decky.

Decky tidak mengetuk pintu. Dia perlahan membuka pintu dan berjalan masuk.

Sifa terlihat sangat cantik di bawah cahaya redup, Decky agak terobsesi padanya.

Decky mengulurkan tangan, membantu Sifa mengesampingkan rambut di kening ke belakang telinga.

Sifa terkejut dengan gerakan Decky yang datang secara mendadak. Dia sama sekali tidak menyadari ada orang lain di kantornya.

Sifa menjerit "Ah! Kamu..."

Sifa menatap Decky dengan kaget, jantung seolah akan meloncat keluar.

Decky memandang Sifa dengan kening berkedut, lalu menarik kembali tangannya "Apakah pelajaran terakhir kali tidak cukup?"

Sifa tidak tanggap untuk beberapa saat, melihat Decky dengan heran "Pelajaran apa?"

Dia seketika bingung.

Decky melihat jam dan berkata "Sekarang jam setengah sembilan, pintu akan dikunci setengah jam kemudian. Kamu mau dikunci lagi?"

Kata-kata Decky mengekspresikan kepedulian, meski tidak terlalu jelas, tapi tetap dapat dirasakan.

Sifa tertegun sejenak. Dia masih ingat ketakutan dan ketidakberdayaan yang dialami dirinya.

Tapi kenapa Decky tahu? Saat itu hanya Laras yang tahu. Jangan-jangan....

Sebuah tebakan muncul di benak Sifa. Wajahnya menjadi pucat, senyum masam menyembul di sudut mulutnya. Dia tidak heran lagi. Saat itu jelas ada penjaga keamanan yang harus berpatroli.

Sifa merasa dirinya seolah jatuh ke dalam tungku es. Pemanas di kantor menyala, namun ia merasa sangat dingin.

Decky memandang Sifa yang berparas pucat di depannya, mengerutkan kening dan berkata dengan dingin "Kenapa, aku bertanya padamu, kamu tidak jawab?"

Sifa ditarik kembali ke dunia nyata oleh suara Decky. Tatapannya tampak mengasingkan diri. Dia menunduk untuk merapikan dokumen di tangan.

Lalu, dia berkata dengan dingin “Terima kasih, Direktur Leng. Aku tidak akan melupakan pelajaran terakhir kali itu!” Sifa berkata dengan menyiratkan maksud lain.

Decky bukan orang bodoh, dia tentu tahu maksud yang tersirat di dalam kata-kata Sifa.

Wajah Decky tiba-tiba berubah dingin "Terserah kamu!"

Setelah berbicara, dia berjalan keluar pintu dan masuk ke lift tanpa menoleh ke belakang lagi.

Sifa menunduk, tersenyum lemah. Meski dia tahu Decky memberi tahu dia karena peduli, tapi begitu dia terpikir bahwa Decky sengaja memojokkannya, ketidaknyamanan yang tak terkatakan terasa di hatinya.

Hampir semua orang di perusahaan sudah pulang, keheningan yang langka. Sifa naik lift dengan tumpukan kertas di dalam pelukan, turun ke lantai satu.

Masih ada bus pada jam segini, tapi Sifa mengernyit saat melihat tumpukan dokumen yang dibawanya. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk naik taksi saja.

Sudah hampir tiga bulan sejak dia bekerja di perusahaan. Gaji yang selama ini diperolehnya tidak rela digunakannya hanya karena dia mau membelikan sesuatu untuk anak saat dilahirkan. Meskipun kemampuannya terbatas, tapi dia ingin melakukan sesuatu yang bisa dilakukannya.

Sifa berjalan dengan kesulitan karena harus membawa banyak dokumen. Sekarang kebetulan adalah jam sibuk, banyak taksi yang penuh dengan orang. Dia tidak menemukan taksi kosong.

Di luar bersalju dan sangat dingin, Sifa berjalan ke depan dengan hati-hati sambil memeluk dokumen. Dia tidak berani menyentuhkan dokumen-dokumen ke bagian perutnya, takut tumpukan dokumen tersebut akan menindih anak di perut.

Postur ini sangat melelahkan. Tak lama kemudian, dia tidak lagi memiliki tenaga setelah berjalan kurang dari 50 meter.

Dia berdiri di tempat dengan terengah-engah, keringat di dahi bergulir ke pipi.

Setelah turun, Decky tidak pergi. Dia mengemudikan mobil ke sebuah gang kecil di depan perusahaan.

Melihat Sifa tampak kelelahan, dia ingin membuka pintu mobil. Tapi dia teringat akan sikap Sifa padanya.

Dia pun menarik kembali tangannya, lihat berapa lama Sifa bisa bertahan! Decky masih mengambek, dia duduk di dalam mobil, pandangan terkunci pada Sifa yang ada di depan.

Sifa yang memeluk dokumen berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, kekuatan fisiknya tidak bisa mendukungnya lagi.

Suhu di luar sudah di bawah nol. Sifa terengah-engah.

Decky memandang Sifa dengan cemas. Dia tidak bisa tahan lagi. Jadi, dia menginjak pedal gas dan melaju ke depan, membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Sebelum Sifa bereaksi, Decky sudah mengulurkan tangan dan mengambil dokumen di pelukannya, lalu berjalan menuju mobil.

Sifa berseru, menatap Decky dengan kaget.

Decky tidak memberikan kesempatan kepada Sifa untuk menolak. Dia meraih tangan Sifa dan menggandengnya berjalan menuju pintu mobil, memasukkannya ke dalam mobil, menyelesaikan semua gerakan sekaligus.

Sifa menatap Decky. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menolak Decky saat ini. Jadi, dia tidak punya pilihan selain duduk di tempat dengan diam.

Lagipula dia tidak bisa mendapatkan taksi saat ini, bagus juga jika bisa diantar.

Sifa diam di sepanjang jalan, sementara Decky memasang ekspresi muram dan tidak berbicara juga.

Setelah beberapa saat, Sifa menyadari bahwa perjalanan yang dilalui mereka bukan jalan menuju rumah Marsha.

Dia menegakkan tubuh, menoleh ke Decky dan berkata dengan marah "Ini bukan jalan pulangku."

Novel Terkait

Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Istri Yang Sombong

Istri Yang Sombong

Jessica
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
You Are My Soft Spot

You Are My Soft Spot

Ella
CEO
4 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Half a Heart

Half a Heart

Romansa Universe
Romantis
3 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
4 tahun yang lalu