Because You, My CEO - Bab 205 Meninggalkannya (2)

Saat aku pergi meninggalkan Beijing, aku tidak membawa kartu bank apapun. Aku bahkan tidak membawa ponselku. Aku hanya membawa kartu identitas beserta ijazah dan barang-barang sederhana, sehingga orang-orang di Beijing sana tidak bisa menemukanku.

Namun aku bisa menggunakan telepon perusahaan untuk menelepon anak-anakku.

Aku menyuruh mereka merahasiakannya dan juga berjanji untuk pulang menemui mereka.

Setelah setengah bulan lamanya tinggal disini, aku merasa tidak enak badan dan pergi ke rumah sakit. Dokter bilang ada janin mati yang kukandung, kira-kira umurnya sudah beberapa hari.

Janin mati... Aku teringat pada peristiwa satu bulan yang lalu. Diatas ranjang tempat Andre Duan berguling dengan wanitanya yang lain, sepertinya terjadi suatu hubungan antara aku dengannya. Apakah mungkin saat itu bisa secara ajaib mengakibatkan kehamilan?!

Aku mengucapkan ‘Oh’ dengan ringan dan dokter bilang harus kuret.

Berbaring diatas meja operasi yang dingin, aku membuka lebar kedua kakiku. Dokter menggunakan alat operasi yang dingin untuk mengambil anakku yang telah mati.

Saat melihat lampu operasi diatas kepala, aku meneteskan air mata dalam diam. Tidak ada gejolak lain dalam hatiku.

Selama hidupku ini, aku sudah hamil empat anak dan kehilangan dua orang. Yang seorang adalah anak dari Reza Wu dan seorang yang lain adalah anak dari Andre Duan.

Demi Andre Duan, aku hamil tiga anak namun salah satunya meninggal.

Melihat gumpalan darah yang menyatu itu, dokter bilang selanjutnya aku tidak memiliki kesempatan untuk hamil lagi. Ia bilang rahimku sangat berbahaya.

Bahaya seperti apa yang dimaksud aku pun tidak mengerti.

Kalau dokter bilang bahaya seharusnya memang bahaya, bukan?

Karena hari itu baru saja kuret, aku pun tidak bisa minum sampai mabuk. Itu sebabnya aku membeli sebungkus rokok dan diam-diam menyembunyikannya di dalam kamar yang kusewa dan belajar merokok.

Seiring waktu berlalu, aku sudah tertular kecanduan rokok.

Dalam kurun waktu itu, aku akhirnya mengerti mengapa Andre Duan suka merokok. Rokok ternyata adalah benda yang benar-benar adiktif.

Walaupun aromanya tidak terlalu disukai orang-orang.

Dalam kurun waktu itu, aku terbiasa pergi pagi dan pulang malam. Terbiasa tidak menarik perhatian di perusahaan, dan lebih terbiasa lagi bersembunyi seorang diri di dalam kamar sepulang kerja.

Kalau ada sisa uang yang menganggur, aku akan pergi ke bar dan minum-minum sampai mabuk.

Tapi karena hampir sama sekali tidak memiliki uang sisa yang menganggur, biasanya aku selalu membeli bir murah di toko dan pastinya juga membeli rokok yang murah. Aku tidak bisa menyesap rokok yang mahal. Kalau tidak, aku bisa kurang membayar sesuatu atau kehilangan pekerjaan.

Bulan depan bisa-bisa aku diusir oleh penyewa kamar.

Tapi akhirnya aku tidak tahan lagi. Aku menggunakan jatah uang hidupku untuk seminggu dan pergi ke salon untuk mengecat rambut panjangku menjadi warna abu-abu dan juga menato pergelangan tanganku. Jika dipikir-pikir lagi, ini benar-benar konyol. Orang yang sudah hampir berusia 30 tahun masih ingin seperti orang muda. Walaupun aku juga terlihat sekitar umur 25 tahun, tapi cara seperti ini benar-benar kekanak-kanakan. Tapi aku ingin berubah.

Berubah menjadi tidak seperti Sisca Shi.

Berubah untuk hanya berpikir tentang kehidupan sendiri.

Hari-hari di bulan Agustus sangat terik membakar. Tidak ada AC didalam kamar. Aku yang benci panas membuka pintu, duduk diatas tangga yang tua, dan merokok disitu. Bau rokok tetap begitu tidak enak dicium, tapi baiknya bisa membuat orang merasa tenang.

Saat sedang menelan gumpalan asap, muncul seorang pria di mulut tangga. Seorang pria yang tampak luar biasa namun tidak pas untuk muncul disini sekarang.

Ia memutariku dan naik tangga namun kemudian ia menghentikan langkah kakinya. Ia berjalan kembali dan menatapku lurus-lurus. Aku menengadah kearahnya yang berjas dan mengenakan sepatu kulit itu.

Dengan raut yang sedikit tidak paham, aku bertanya, “Apakah tuan mau menanyakan jalan?”

Ia mengerutkan kening dan bertanya, “Bagaimana kamu bisa disini?”

Aku mematikan puntung rokok dan berkata, “Aku tinggal disini.”

Ia menatapku untuk waktu yang cukup lama dan dengan suara dingin berkata, “Aku pernah menyelamatkanmu.”

Aku tersenyum lebar dan berkata, “Ya, aku mengingatmu.”

Orang yang ada di hadapanku ini adalah pria yang pernah menyelamatkanku malam itu di perjamuan malam Rico Xi. Ia cemberut dan bertanya dingin, “Kenapa malam itu tidak menungguku?”

Aku tertawa dan berkata, “Aku takut sendirian.”

Ia terdiam, kemudian naik tangga.

Kira-kira setelah empat jam berlalu, ia turun tangga dan terkejut saat melihat aku masih disana. Ia pun bertanya, “Boleh minta segelas air di rumahmu, tidak?”

Aku tertawa dan berkata, “Mungkin kamu tidak sudi masuk ke rumahku.”

Ia mengernyitkan alisnya dan bertanya, “Kenapa?”

“Di dalam sangat panas seperti kukusan.”

Sorot mataku melihat sekilas rumahku, ia juga ikut melihatnya. Kakinya yang panjang kemudian melengang masuk dan terpaku begitu masuk.

Aku yang mengikutinya dari belakang bertanya, “Panas?”

Ia bertanya apatis, “Tidak ada AC?”

“Miskin. Harga kamar di kota A cukup tinggi. Apartemen yang ber-AC lebih mahal ratusan ribu, sedangkan gajiku tiap bulannya tidak mengijinkanku untuk hidup semewah itu. Asalkan ada tempat tinggal, aku sudah puas.”

Ia berujar, “Pantas saja kamu lama sekali duduk disitu.”

Aku bertanya penasaran, “Apakah itu lama? Malam hari biasanya aku duduk sampai jam 12 malam baru masuk kamar dan tidur, sekarang baru jam 10.”

Kamarku juga hanya berisi sebuah kamar, sebuah ruang tamu, dan sebuah dapur. Debu muncul di dalam dapur karena tidak pernah digunakan, sedangkan di kamar tamu tertumpuk banyak sekali botol bir. Tong sampah penuh dengan bungkus rokok.

Ruang tamu juga terlihat sangat berantakan karena pakaianku.

Semua berserakan dimana-mana, aku mengakuinya. Dua bulan ini aku lalui dengan berantakan.

Ia tiba-tiba bertanya, “Malam makan apa?”

Aku menjawab, “Mie instan.”

“Sebegitu tidak bergizinya?”

Aku tertawa berbesar hati, “Miskin. Tidak punya uang.”

Aku memberikan sebotol air mineralku kepadanya. Ia menerimanya dan meminumnya dua teguk lalu menjejalkannya ke dalam telapak tanganku. Kemudian, ia melepas jas miliknya dan memberikan kepadaku. Ia lalu menggulung lengan bajunya sehingga lengannya yang kekar terpampang.

Lalu... Ia mulai menggantikanku menyapu ruangan.

Aku terharu melihat ia yang sibuk kesana-kemari. Sambil mengemil, aku pun berujar, “Sebenarnya kamu tidak perlu menggantikanku mengerjakan semua ini.”

Ia berujar dingin, “Aku tidak bisa melihat wanita ceroboh.”

————Hei, Tuan Duan juga memiliki kesulitan yang enggan diungkapkan. Kak Doni juga berkata seperti itu.

Hanya cara untuk saling melukai.

Novel Terkait

Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Uangku Ya Milikku

Uangku Ya Milikku

Raditya Dika
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
The Comeback of My Ex-Wife

The Comeback of My Ex-Wife

Alina Queens
CEO
4 tahun yang lalu
My Charming Lady Boss

My Charming Lady Boss

Andika
Perkotaan
5 tahun yang lalu
Wanita Pengganti Idaman William

Wanita Pengganti Idaman William

Jeanne
Merayu Gadis
5 tahun yang lalu