The Comeback of My Ex-Wife - Bab 7 Sahabat Selamanya

Fellis mengambil ponselnya dan melihat nomor telepon rumah Stella Lee di sana.

Fellis menarik napas panjang. Begitu ia mengangkat teleponnya, suara renyah sang anak pun terdengar, "Ibu!"

"Hei," Fellis tak sadar menarik sudut bibirnya, "Joy hari ini baik tidak?"

"Joy sangat baik!" Joy yang berumur 4 tahun memegang ponsel, matanya yang indah menatap Stella di sebelahnya, "Ibu bisa tanya Mami Stella."

"Baiik, baik, baik, ibu tahu kalau Joy anak yang paling baik!" Fellis tertawa. Ia sangat ingin mencium pipi Joy yang menggemaskan itu saat ini.

"Bu, besok waktunya ibu datang melihatku, jangan terlambat yah!"

Suara Joy yang penuh pengharapan membuat Fellis merasa sedih. Ia menundukkan kepala dan berpikir sejenak, lalu melanjutkan dengan suara gembira, "Tentu saja, ibu tidak akan terlambat."

Setelah itu, ia bertanya pada Joy, "Joy, bisa berikan teleponnya pada Mami Stella? Ada yang perlu ibu bicarakan dengannya."

"Baik," Joy tampaknya merasakan keganjilan pada diri Fellis, namun ia tetap memberikan ponselnya pada Stella dengan wajah gembira, "Mami, ibu ingin berbicara denganmu."

"Baik," Stella tersenyum dan menerima teleponnya, lalu mengelus kepala Joy, "Joy pergilah bermain bersama Gabriella."

Joy mengangguk, lalu berlari keluar.

"Fellis, bagaimana pekerjaanmu di kota H? Baik?" tanya Stella sambil tersenyum setelah Joy pergi.

"Lumayan, hanya saja, aku mau minta tolong 1 hal padamu," Fellis ragu untuk sejenak sebelum mengatakannya.

"Ng, katakan saja," Stella mengangguk-angguk.

"Stella, uang bulanan Joy kali ini mungkin akan agak sedikit, bulan depan aku akan menggantinya, ya?" Fellis jadi lebih sedih setelah mengatakannya. Stella membantunya merawat anaknya, ia sangat perhatian.

Tapi sekarang ia malah harus menebalkan muka untuk mengurangi uang bulanannya, apalagi Stella juga memiliki seorang anak.

"Aku kira apa!" Stella menggeleng-geleng. Ia sedikit tidak senang, "Fellis, lain kali hal seperti ini tidak usah sungkan mengatakannya. Kita kan sudah sahabat lama!"

Semenjak Fellis menitipkan anaknya di rumah ini, Fellis selalu mengirimkan uang bulanan. Stella sangat tak enak hati. Setelah sekarang Fellis berkata begitu, ia jadi lebih tak enak hati. Sahabat kan orang yang bisa diandalkan saat kesulitan menghadang.

"Terima kasih, Stella. Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu harus bagaimana bertahan hidup," kata Fellis dengan mata berkaca-kaca.

Dia yang sekarang sudah tidak terlalu banyak menangis lagi, tapi di hadapan sahabat yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun, ia tidak tahan juga.

"Tidak masalah, Fel," Stella segera menghibur Fellis. Ia sudah mengenalnya sejak kuliah semester pertama, ia juga menyaksikan bagaimana Fellis dari kahyangan terjatuh ke neraka, bagaimana ia menjalani hidupnya dengan berani. Stella kadang tak bisa membayangkan bagaimana Fellis bisa bertahan hidup selama ini.

"Stella, ada 1 lagi yang ingin kukatakan padamu. Stella, aku bertemu dengannya," Fellis menggigit bibirnya.

"Alexander?" Stella tahu, yang bisa membuat Fellis yang ceria jadi semuram ini, hanyalah si sampah Alexander.

"Ng...," Fellis mengangguk. Ia menarik napas panjang, tampak sedikit ragu.

"Lalu apakah terjadi sesuatu di antara kalian?" Stella menggeleng-geleng. Ia tahu bahwa Fellis pasti akan bertemu Alexander karena ia bekerja di kota H, tapi ia tak menyangka akan secepat ini.

"Kami hanya berpapasan, lagipula, aku melihat istrinya yang sekarang," Fellis menggeleng.

"Seorang pelakor yang naik pangkat, cuih, tak ada bagus-bagusnya sama sekali!" cibir Stella, "Fellis, kita harus bekerja dengan baik, tak usah pedulikan pelakor sampah itu. Percayalah padaku, kamu pasti akan menemukan orang yang lebih baik!"

"Aku belum mempertimbangkan itu sekarang, aku hanya ingin bekerja dengan baik dan mengumpulkan banyak uang!" Mendengar sahabatnya naik darah demi dia, suasana hati Fellis jadi terasa lebih baik.

"Baik, baik, terserah kamu saja. Kamu tahu kalau aku adalah teman yang paling pengertian. Apapun yang kamu lakukan pasti aku dukung!" kata Stella mantap.

"Baik, baik, kamu yang paling baik, aku, hatsyi...." Belum selesai bicara, Fellis pun bersin.

"Fel, kamu kok masih flu?" Stella mengerutkan dahinya dan bertanya dengan cemas, "Apakah kamu kelelahan karena pekerjaanmu?"

"Tidak apa-apa," sanggah Fellis cepat. Ia sebenarnya ingin sibuk bekerja dan flu karena sibuk, tapi sekarang dirinya adalah seorang pengangguran.

Memikirkan tentang kondisinya saat ini, Fellis pun kembali mendesah. Ia tak berminta melanjutkan obrolan dengan Stella lagi. Ia pun berkata, "Stella, besok aku akan datang ke rumahmu tepat waktu. Sekarang aku ingin berisitrahat dulu."

"Ng..., cepatlah istirahat, besok aku dan suamiku akan memasak banyak makanan favoritmu," kata Stella sambil tersenyum pada Fellis di ujung telepon.

"Ng..., baiklah!" kata Fellis singkat.

"Oya!" Tepat di saat Fellis hendak menutup teleponnya, Stella tiba-tiba teringat suatu hal yang sangat penting. Ia ragu sejenak sebelum berkata, "Fellis, ada 1 hal yang lupa kukatakan padamu."

"Ng..., katakan."

"Ibunya suamiku, mertuaku, datang ke rumah. Gaya hidup dan pola pikirnya agak tak sama dengan kita. Saat kamu kemari besok, kalau dia ada salah kata, tolong jangan pedulikan," mengingat tentang mertuanya, Stella merasa sedikit pusing.

"Tentu saja aku tak akan memedulikannya," kata Fellis segera, "Ibu adalah orang tua, maklumlah kalau pola pikir dan gaya hidupnya tidak sama dengan kita. Tenang saja, aku tidak akan memedulikannya."

"Baik kalau begitu," Stella sedikit menghembuskan napas lega, tapi hatinya tetap tak tenang. Ia teringat setelah mertuanya datang ke rumah dan berkata seperti itu pada Joy, ia jadi tak enak hati.

Sekarang ia hanya bisa berbicara baik-baik dengan suaminya, menyuruhnya mengingatkan ibu mertua agar sedikit menjaga mulutnya besok.

Keesokan harinya...

Di musim gugur yang cerah di kota H, kondisi lalu lintas tetap padat, pejalan kaki berdesakan, sama sekali tak tampak suram.

Fellis bangun pagi-pagi sekali. Ia naik kereta cepat selama 3 jam menuju kota S.

Fellis yang membawa hadiah pun sampai ke daerah apartemen tempat tinggal Stella. Saat hendak melangkah ke dalam gedung, dari kejauhan ia melihat seorang anak mirip Joy sedang duduk di kursi taman.

Joy duduk sendirian di atas kursi panjang. Ia menunduk dan memainkan jemarinya. Wajahnya yang tembam tampak kesepian.

Fellis segera mempercepat langkahnya. Ia sampai di hadapan Joy, lalu dengan sengaja menyapanya dengan suara rendah dan berat, "Dik, mau main bersamaku tidak? Aku akan mengajakmu makan enak!"

"Kata ibu, aku tidak boleh sembarangan bicara dengan orang asing," jawab Joy dengan serius tanpa mendongakkan kepalanya.

"Kalau tidak mau bicara denganku, aku pergi deh!" Fellis mengembalikan suaranya dan tertawa.

Mendengar suara Fellis, Joy baru mengangkat kepalanya.

"Mama!" Joy langsung memanggilnya dengan gembira begitu melihat Fellis di hadapannya. Ia menyerbu masuk ke dalam pelukan ibunya.

Novel Terkait

Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
4 tahun yang lalu
Harmless Lie

Harmless Lie

Baige
CEO
5 tahun yang lalu
Asisten Wanita Ndeso

Asisten Wanita Ndeso

Audy Marshanda
CEO
4 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu
 Habis Cerai Nikah Lagi

Habis Cerai Nikah Lagi

Gibran
Pertikaian
4 tahun yang lalu