Precious Moment - Bab 368 Kakak Kandung Maju Langsung

Keesokan harinya adalah hari Jumat, Tiffanny merasa kesehatan sudah cukup pulih, tadinya berencana berangkat kerja, tetapi malah didekap paksa kembali ranjang oleh Andreas.

Tiffanny Wen bersembunyi ke dalam selimut dengan kesal, hanya menampakkan sepasang mata kecil, melototi Andreas dengan kesal,kondisi ranjang yang berantakan akibat perlawanannya barusan, ditambah dengan ekspresi wajah Andreas yang penuh arogan, seolah-olah baru saja terjadi sesuatu di antara mereka berdua.

Namun terlihat jelas keduanya tidak menyadari hal itu, Tiffanny masih terus melototi Andreas Lu yang berdiri di depan pintu, berteriak dengan tidak terima: “Kenapa, jelas-jelas aku sudah sembuh, aku begitu menyukai pekerjaanku, kenapa kamu menjatuhkan semangat kerja seorang karyawan?”

Andreas Lu hanya menatap Tiffanny tanpa bicara, alis mata sedikit terangkat, mata penuh ketegasan, namun bibir tersenyum menggoda.

“Sekarang kamu sudah menjadi milikku, hanya itu saja, dibandingkan dengan menjatuhkan semangat kerja seorang karyawan, aku lebih perduli dengan tubuhmu.”

Tiffanny sangat terkejut, menjadi canggung karena arogansi Andreas Lu, segera menarik selimut ke atas, menutupi wajahnya yang sudah mulai memerah, berteriak kesal: “Kenapa bisa ada orang arogan seperti kamu?”

Andreas tersenyum kecil, mengangkat alis melihat Tiffanny, berkata meledek: “Kenapa? Tidak boleh ya?”

“Aku sudah meminta Dave Gu memintakan cuti untukmu, cukup istirahat dengan tenang di rumah, mengerti?”

Harus diakui, meski Andreas Lu yang selalu bersikap arogan itu sering bertindak sesuka hati, namun yang Tiffanny rasakan malah sangat aneh, sama sekali tidak merasa benci, sebaliknya malah terharu karenanya….

Perlahan mengalihkan pandangan, Tiffanny berkata dengan kesal: “Iya, iya, kamu direktur, kamu selalu benar.”

Meski Andreas Lu tidak mendengar jelas apa yang Tiffanny katakan, tetapi cukup melihat ekspresi wajahnya sudah tahu itu bukanlah sesuatu yang baik, maka hanya tersenyum, malas memperpanjang masalah itu. Setelah merapikan diri, dia pun berjalan ke arah pintu, menutup pintu perlahan, sebelum pergi tidak lupa meninggalkan sebuah kalimat: “Istirahat yang baik, ingat minum obat.”

Tiffanny Wen diam-diam membalikkan bola mata, seolah tidak ingin memerdulikannya, tetapi saat pintu tertutup, dia tiba-tiba menyingkapkan selimut dan berteriak keras ke arah pintu: “Hm, siapa milikmu!? Aku belum setuju kok! Apakah aku sudah mengizinkanmu memintakan cuti untukku? Kamu kira dengan begini aku akan sangat berterima kasih? Polos sekali! Hm.”

Tiffanny segera turun dari ranjang, memakai sandal berjalan perlahan ke jendela dalam kamar, membuka gorden, sinar matahari dari luar langsung terpancar ke dalam. Tiffanny meregangkan badan dengan puas, menatap danau dengan permukaan yang tenang, merasakan hangatnya sinar matahari, memejamkan mata dengan puas, tetapi kedua pipinya malah tiba-tiba memerah.

Teringat kalimat terakhir Andreas Lu sebelum pergi, meski Tiffanny terus menolak di mulut, sesungguhnya dalam hati terasa sangat lembut, aneh sekali perasaan dia, meski Andreas tidak lagi berada di samping, wajahnya masih saja merah merona, lain di mulut lain di hati: “Hm, orang bodoh yang banyak tingkah, mana mungkin aku tidak tahu seperti apa keadaanku sendiri? Perlukah diingatkan dia? Hm.”

Selesai mengumpat, Tiffanny Wen merasa jauh lebih lega. Dia pun menggaruk kepala, berjalan perlahan ke westafel, meski hari ini tidak bekerja, tetapi penampilan tetap saja harus diperhatikan.

Saat mencuci wajah, Tiffanny Wen melihat diri sendiri dalam cermin, mulai berkata-kata sendiri: “Sebuah hari libur yang digaji, menarik sekali, tetapi apa yang harus dilakukan seharian ini? Cuaca begitu cerah, tidakkah mengurung diri dalam rumah terlalu memboros waktu….”

Berpikir demikian, kedua tangan Tiffanny Wen pun terhenti sejenak, hanya saja cahaya terang terlintas cepat dalam kedua matanya: “Seingatku Kak Stella sudah pulang, atau aku ajak dia keluar main saja….”

Berpikir demikian, Tiffanny Wen pun mempercepat gerakan tangan, lalu menelepon Stella Lu dengan tidak sabar…..

Di sisi lain, Andreas Lu tiba di kantor, tidak berapa lama pun menerima telepon dari Max.

Melihat nama yang terlintas di layar, Andreas Lu sedikit mengerutkan kening, sudah lama dia dan Max saling mengenal, tetapi Max tidak pernah berinisiatif meneleponnya, setiap kali selalu dirinya yang menelepon karena ada keperluan.

Hari ini Max Jiang malah meneleponnya lebih dulu, jika dikaitkan dengan masalah Caterina Jiang kemarin, Andreas Lu sama sekali tidak perlu berpikir, langsung tahu Max Jiang ingin berbicara demi Caterina.

Kedua mata berkedip sesaat, pada akhirnya Andreas tetap mengangkat telepon itu, berkata dengan suara yang amat dingin: “Ada apa.”

Di seberang telepon, Max Jiang terdiam beberapa detik, tetapi setelahnya segera berkata dengan pelan: “Apakah nanti sore, kamu ada waktu?”

Andreas Lu tersenyum dingin, menjawab dengan nada menyindir: “Kenapa, sore ini kamu tidak operasi lagi?”

Mendengar nada bicara Andreas yang kurang baik, Max Jiang tentu saja tahu dia telah marah, soal penyebabnya….

Teringat akan hal itu, Max Jiang menghela nafas dengan tak berdaya, kemarin malam Caterina sudah menceritakan semua padanya, meski sesuai dengan sudut pandangnya dialah yang dicelakai, tetapi Max Jiang sempat bertanya pada diri sendiri, jika bertemu kejadian itu, melihat dari sudut pandang Stella maupun Andreas, dia tetap tidak mungkin percaya dengan kata-kata Caterina.

Setelah telepon dengan Andreas tersambung, mendengar semua reaksinya, Max Jiang tahu masalah kali ini tidak mudah diselesaikan. Dia mengerutkan kening, dalam hati menyusun berbagai jenis kalimat, namun pada akhirnya tetap diurungkan, tidak berhasil menemukan perkataan selanjutnya.

Max Jiang tak kunjung berbicara, namun nafasnya yang berat terdengar jelas di telinga Andreas, mengerti dengan sifatnya, Andreas pun bisa mengambil kesimpulan, langsung bersuara dingin membukakan jalan: “Apakah karena masalah Caterina?”

Max Jiang kaget sekali menyadari semua tidak bisa ditutupi dari Andreas, hanya bisa menghela nafas berat, berkata: “Iya.”

Mata Andreas Lu sedikit terpejam, jari tangan mulai menggosok dagu sendiri, terlintas cahaya gelap dalam kedua matanya: “Waktu dan tempat.”

Max Jiang terbengong, dia tahu yang Andreas maksud adalah waktu dan tempat pertemuan nanti sore, namun yang membuatnya tidak mengerti adalah, Andreas tahu dirinya akan berbicara dari pihak Caterina, jika dia sungguh membenci Caterina, bagaimana mungkin dia setuju untuk bertemu dengannya.

Setelah berpikir sesat, Max Jiang mengurungkan niat menduga-duga pola pikir Andreas, karena keduanya sudah mengenal lama, dia pun tidak pernah berhasil membaca pikiran orang itu.

Menghela nafas perlahan, Max Jiang memberitahu waktu dan tempat pertemuan pada Andreas Lu.

Sorenya, Andreas tiba di sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah sakit milik Max Jiang, melihat Max tak kunjung datang, dia pun memesan dua gelas kopi pahit, lalu duduk menunggu di kursi dekat jendela.

Hingga saat waktu yang dijanjikan tiba, terlihat Max Jiang datang terburu-buru dengan masih mengenakan jubah putih miliknya.

Melihat Max Jiang duduk dengan nafas terengah-engah, Andreas hanya menyeruput kopi dengan penuh wibawa, mengangkat kepala melihatnya sekilas, lalu meletakkan gelas dengan perlahan, berkata datar: “Baru selesai operasi?”

Max Jiang mengangguk, berkata setelah nafas mulai stabil: “Maaf, aku terlambat.”

Andreas Lu tidak mempermasalahkannya, seolah sudah bisa menduga sejak awal: “Tidak masalah, sudah terbiasa, selamanya kamu akan tiba saat kesabaranku mulai menipis.”

Max Jiang terdiam, yang dikatakan Andreas memang benar, hampir setiap kali mengajaknya bertemu atau diajak bertemu, alhasil dirinya yang selalu terlambat dengan berbagai jenis alasan.

Max Jiang terbatuk beberapa kali demi menutupi kecanggungan suasana, baru ingin berbicara malah dipotong oleh Andreas: “Aku tahu.”

Max Jiang terkejut, menatap Andreas dengan sedikit heran, entah yang dimaksud tahu akan apa.

Andreas melihatnya sekilas dengan tatapan tak berekspresi, melihat ekspresi wajahnya yang terheran-heran, pikirannya pun terbaca, terlintas ekspresi seolah sedang prihatin pada seorang idiot: “Aku tahu kamu datang untuk membicarakan masalah Caterina Jiang.“

Novel Terkait

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
5 tahun yang lalu
Mata Superman

Mata Superman

Brick
Dokter
4 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
Blooming at that time

Blooming at that time

White Rose
Percintaan
5 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
4 tahun yang lalu
Behind The Lie

Behind The Lie

Fiona Lee
Percintaan
4 tahun yang lalu
Excellent Love

Excellent Love

RYE
CEO
4 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu