Precious Moment - Bab 116 Mengundang Bencana

Tiffanny Wen sangat risau saat melihat bayangan Yoel Qin yang pergi dengan amarah yang membuncah. Ia mengehela napas dengan santai. Mungkin inilah yang dimaksud dengan mencari masalah akan berujung sial.

Namun, satu per satu penonton mulai bubar setelah melihat tidak ada lagi drama yang bisa mereka tonton. Mereka pun lanjut berbelanja lagi.

Scott Sun diam-diam datang dan berkata dengan hormat kepada Stella Lu, "Nona, hal yang Nona minta sudah selesai, bagaimana menurutmu?"

Stella Lu mengangguk puas, "Lumayan, berkinerja dengan baik, jalan kedepanmu masih bagus. Lanjutkan pekerjaanmu, aku masih mau jalan-jalan."

Scott Sun mendengarnya, lalu mengangguk dengan gembira, "Terima kasih atas pujiannya. Semoga perjalanan belanja Nona menyenangkan."

Stella Lu melambaikan tangannya dengan ringan untuk memberi sinyal kepada Scott Sun untuk pergi, sambil mengangkat barang yang ia dapat saat menjadi model. Ia meraih tangan Tiffanny Wen, dan terus berjalan ke depan.

Tiffanny Wen sedikit tak berdaya menatap Stella Lu. Ia agak mengagumi tindakannya yang bisa menyesuaikan pola pikirnya hanya dalam satu detik. Tadi itu benar-benar sangat hebat. Sekarang, mereka berdua bergandengan seperti adik kakak yang memiliki hubungan yang dekat dan hangat, seolah tidak terjadi apapun tadi.

Stella Lu mendapati Tiffanny Wen sedang menatap punggungnya, dia berhenti, dan menatap Tiffanny Wen dengan rasa ingin tahunya.

"Kenapa Fanny? Pikiranmu tidak fokus? Mana jiwamu? Jiwamu hilang?"

Tiffanny Wen dibuat sedikit pusing oleh Stella Lu, kemudian menghentikannya, "Kak Stella diam diam diam, jangan goyang, nanti berantakan!"

Stella Lu agak kesal memandang Tiffanny Wen, "Fanny, bagaimana mungkin kamu bisa melamun seperti itu saat sedang belanja yang begitu sakral ini? Apa kamu tahu betapa sibuknya aku di luar negeri? Sulit sekali sampai bisa pulang dari luar negeri dan berbelanja seperti ini, tapi hasilnya Andreas tidak bisa menemaniku, kamu menemaniku tapi malah tidak fokus seperti ini."

Tiffanny Wen benar-benar tidak tahan melihat mata jelek Stella Lu yang seperti seorang istri muda, kemudian ia diam-diam mengakui kesalahannya, "Kak Stella, aku salah, aku tidak akan melamun lagi. Aku sungguh-sungguh, 100 persen! 100 persen! 100 persen tidak cukup, maka 200 persen!" Tiffanny Wen berkata dengan tulus sambil mengangkat kedua jari tangan kanannya.

Stella Lu dibuat tertawa oleh Tiffanny Wen, "Oke, kamu tidak perlu 100 persen atau 200 persen, kumpulkan saja nyawamu dulu. Tujuan kita berikutnya adalah-- Caulaise Store!"

Wajah Tiffanny Wen tercengang, "Kenapa pergi ke Caulaise?"

Stella Lu menatap Tiffanny Wen dengan sedikit kesal. "Fanny, bukannya aku bilang sekalian membantumu mencari kosmetik. Produk Snow Bubble pengontrol minyak itu adalah produk baru yang sangat populer. Kalau kita tidak cepat-cepat ke sana, takutnya kehabisan nanti."

Melihat Stella Lu yang tersenyum puas, Tiffanny Wen pun jadi merasa jauh lebih baik, ia tersenyum dan mengangguk, "Betul betul betul, Kak Stella yang terhebat." Setelah berbicara, Tiffanny Wen meraih lengan Stella Lu dan terus bergerak maju.

Benar sekali, benar-benar menyapu semua tempat. Entah sudah berapa lama berlalu, Tiffanny Wen dan Stella Lu sudah menenteng begitu banyak barang. Tangan mereka sudah penuh dengan kantong besar dan kecil.

Stella Lu dan Tiffanny Wen duduk kelelahan di kafe milk tea, masing-masing memesan secangkir milk tea dan duduk di kursinya.

Tiffanny Wen memandangi gunung kantong yang bertumpuk di sebelahnya dan Stella Lu. Tiada hentinya tersenyum heran. Dia akhirnya menyadari apa yang disebut seorang wanita belanja adalah hal yang paling menakutkan. Tidak heran Andreas Lu tidak mau menemani kakaknya berbelanja. Kemampuan Stella Lu dalam berbelanja sangat menakutkan.

Pada saat ini, Stella Lu yang duduk berhadapan, dengan mulut penuh mengisap teh susu, terus bergumam, "Ternyata, aku seharusnya tidak membiarkan Andreas pergi saat itu. Tidak bisa mengajak Andreas, aku jadi harus memanggil orang gila datang. Dengan seperti ini, bukan hanya ada sopir, tapi ada juga yang membantu membawakan barang-barang. Salah sekali, salah, lain kali harus membawa mereka juga, kalau begitu ada pekerja gratis yang bisa dipekerjakan."

Dan di kantor Presiden Direktur Louise sana, Andreas Lu dan Dave Gu yang sedang melaporkan pekerjaannya, sejenak tidak bisa menahan perasaan punggungnya yang tiba-tiba terasa dingin...

Tiffanny Wen merasa dirinya sudah cukup beristirahat, jadi dia langsung berdiri dan bertanya, "Kak Stella, apa Kakak masih mau beli yang lain?"

Stella Lu memikirkannya sejenak dengan kepala dimiringkan, di bawah matanya tampak ada secercah cahaya. "Aku masih ingin pergi ke supermarket. Karena aku baru saja pulang dari luar negeri, barang-barangku sedikit, jadi aku berencana untuk membeli perlengkapan mandi dan keperluan sehari-hari."

Tiffanny Wen mengangguk ringan, "Oke, karena supermarket ada di lantai pertama, ayo kita taruh barang-barang ini di mobil dulu, kemudian baru pergi ke supermarket."

Stella Lu dan Tiffanny Wen saling melirik dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Kemudian, mereka bangkit setelah minum beberapa teguk milk tea, lalu berjalan ke pintu keluar sambil menenteng barang-barang belanjaan.

Ketika Tiffanny Wen dan Stella Lu keluar dari mal, mereka mendapati langit sudah gelap. Butuh usaha keras untuk memasukkan tumpukan besar barang ke bagasi belakang, bahkan banyak tumpukan di letakkan di barisan belakang. Tiffanny Wen tersenyum melihat apa yang mereka beli hari ini. Ia mengeluarkan ponselnya lalu melihat jamnya. Tiffanny Wen mendapati mereka pergi dari jam sembilan pagi sampai jam tujuh malam. Mereka sudah berbelanja selama sepuluh jam penuh.

Tiffanny Wen memandang ke langit, dengan ramah menawarkan, "Kak Stella, sekalian beli sayuran, apa kamu mau pergi ke rumahku dan mencicipi hasil kelihaianku dalam memasak?"

Mata Stella Lu berkilauan, matanya senyumnya terangkat, ia melengkungkan senyuman seperti bulan sabit. "Oke, dengan senang hati."

Ketika Tiffanny Wen dan Stella Lu keluar dari supermarket lagi, saat itu sudah jam delapan pagi, Tiffanny Wen dan Stella Lu yang belum makan seharian merasa sangat lapar saat ini.

Ketika dia kembali ke rumah, Tiffanny Wen dan Stella Lu masuk ke dapur, dan mulai sibuk memasak. Stella Lu mengenakan ikat pinggangnya dan mulai membantu Tiffanny Wen memotong dan mencuci lauk pauk. Tiffanny Wen bertanggung jawab atas rendaman dan panci. Hidangan pun sudah siap.

Duduk di meja makan, Stella Lu diam-diam menatap Tiffanny Wen yang masih sibuk, dengan sedikit apresiasi di matanya. Setelah Tiffanny Wen duduk, dia tidak sabar untuk mencicipinya. Setelah mencicipi dengan hati-hati, dia memberikan kedua jempolnya kepada Tiffanny Wen, "Enak, Fanny, ternyata kamu punya bakat dalam memasak. Rasanya lebih enak daripada masakan koki yang ada di rumahku. Bagaimana kalau nanti datang ke rumahku untuk memasak masakan untuk kami?"

Tiffanny Wen melihat Stella Lu membual tentang dirinya sendiri, tetapi dia sebenarnya sangat bahagia, dia masih rendah hati. "Kak Stella, kamu melebih-lebihkan saja. AKu mempelajari semuanya setelah aku pergi ke luar negeri. Mungkin karena hari ini belum makan, jadi begitu makan langsung terasa sangat enak."

Stella Lu melihat Tiffanny Wen tampaknya belum mengerti. Ia pun tak berdaya menggelengkan kepalanya, dasar telmi.

Setelah Tiffanny Wen dan Stella Lu selesai makan. Setelah semuanya sudah dibereskan, Tiffanny Wen melihat jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Kemudian, ia agak khawatir melirik ke arah Stella Lu.

"Kak Stella, sudah larut sekali, bukannya sudah waktunya pulang ya."

Stella Lu dengan santai berbaring di sofa, "Belanja seharian benar-benar melelahkan, aku tidak ingin pergi, mau menginap di sini saja malam ini."

Tiffanny Wen tercengang, "Kak Stella, di kamar masih ada tempat, tapi hanya ada satu tempat tidur, bagaimana?"

Stella Lu mengangkat kepalanya, ia mengerjap imut kepada Tiffanny Wen, "Aku tidak keberatan tidur dengan Fanny."

Tiffanny Wen tercengang melihatnya berkedip-kedip, ia tidak bisa membiarkan Stella Lu tidur di sofa, jadi ia tidak punya pilihan lain.

Stella Lu tersenyum jahat, dengan gembira berlari kembali ke kamar mandi.

Ketika Stella Lu keluar setelah mandi, dia mengenakan piyama yang baru dibelinya, memakai sandal yang baru dibeli, menggunakan pasta gigi dan cangkir obat kumur yang baru dibeli juga. Sampo dan kondisioner semuanya ia keluarkan secara diam-diam.

Tiffanny Wen tertegun melihatnya, perasaan campur aduk pun mulai muncul dalam hatinya... Ini sudah direncanakan, tidak heran Kak Sister tiba-tiba pergi ke supermarket untuk membeli barang-barang ini, dan sekarang ia terlihat seperti akan tinggal lama sekali di sini.... Aku bisa dibilang mengundang bencana ke rumah sendiri...

Tiffanny Wen meringis, tetapi sekarang ia tidak berdaya. Tiffanny Wen hanya bisa terdiam lalu pergi mandi.

Ketika Tiffanny Wen mengenakan baju tidur sutra merah muda ke kamar tidur setelah mandi, Stella Lu muncul dengan tatapan licik.

"Kulit Fanny sangat bagus, kulitnya cerah, halus dan mulus, benar-benar membuat orang lain yang melihatnya iri."

"Hahaha, Kak Stella jangan banyak gerak ya, menggoda sekali. Hahaha."

"Postur tubuhmu juga bagus, ramping dan kencang, tidak ada lemak sedikitpun, Fanny, bagaimana kamu menjaga postur tubuhmu?"

Saat ini, Tiffanny Wen sudah terlentang di tempat tidur, "Hahahaha. Kak Stella jangan menggodaku, nanti aku tergoda, hahahaha, tidak tidak tidak, terlalu menggoda, hahaha..."

"Ah! Tidak bisa! Jangan bergerak! Kak Stella bagaimana bisa satu perilaku dengan Andreas Lu!"

Stella Lu awalnya mengulurkan tangan ke tangan kecil putih kecil Tiffanny Wen. Setelah mendengar ini, dia perlahan-lahan berhenti, mata Stella Lu perlahan menyalakan api gosip.

Stella Lu meletakkan kedua tangannya di kedua sisi kepala Tiffanny Wen, kedua kakinya diletakkan di samping pinggang Tiffanny Wen. Matanya menyipit, fokus menatap Tiffanny Wen.

"Apa itu perilaku? Lantas...Andreas juga melakukan hal ini padamu?

Tiffanny Wen memandang Stella Lu dengan wajah memerah, bibirnya bergetar sejenak, tetapi dia tidak tahu harus berkata apa. Dia menyentuh sakelar di meja samping tempat tidur dan mematikan lampu. Dia menoleh dalam kegelapan.

"Tidaklah! Tidur! Saatnya tidur!"

Novel Terkait

Love And War

Love And War

Jane
Kisah Cinta
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Pada Istri Urakan

Cinta Pada Istri Urakan

Laras dan Gavin
Percintaan
4 tahun yang lalu
Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu