Precious Moment - Bab 103 Gunung Es Sedikit Meleleh

Hansen Wen mendengar Tiffany Wen tidak lagi memanggilnya dengan nada mengejek, walaupun nadanya tetap agak dingin, namun tetap terdengar bunyi gunung es mulai meleleh.

Mata Hansen Wen bersinar, dia mulai agak emosi, berkata dengan agak gemetar:”Fanny……kamu akhirnya sudi memanggil ayah dengan baik-baik……”

Tentu saja Tiffany Wen mengerti maksud dari Hansen Wen, kelopak matanya agak menutup, mendengar kesedihan dalam perkataan Hansen Wen, hati Tiffany Wen juga sedikit sedih, tetapi tidak berkata apapun.

Hansen Wen melihat Tiffany Wen tidak merespon, hanya bisa menghela nafas dengan sedih, matanya penuh dengan kesedihan.

“Ya sudahlah Fanny, tidak perlu bahas itu, makan dulu, makan dulu.” Sambil berkata Hansen Wen memanggil pelayan untuk menyajikan makanan yang telah dipesan.

Hansen Wen tersenyum penuh kasih, melihat Tiffany Wen dengan penuh kasih dan memanjakan:”Fanny, jangan sungkan, yang aku pesan semuanya makanan kesukaanmu.”

Tiffany Wen melihat satu persatu masakan di atas meja, ternyata semuanya adalah makanan kesukaannya, meja persegi yang bisa diduduki oleh 8 orang terisi penuh dengan makanan.

Tiffany Wen melihat 7 jenis masakan di atas meja semuanya adalah makanan kesukaannya, hatinya berkecambuk dengn berbagai jenis perasaan, sorotan matanya yang dingin mulai menghilang, nada bicaranya juga menjadi lebih lembut. “Kamu pesan begitu banyak sayur, bagaimana kita berdua bisa menghabiskannya.”

Mendengar perubahan nada bicara Tiffany Wen, Hansen Wen merasa terhibur dan tersenyum “Ha ha ha, Fanny, sayur ini tidak habis kamu bisa bungkus bawa pulang, bisa dimakan setelah dihangatkan, pada dasarnya tidak mudah untuk hidup sendirian, aku tahu kamu tidak sudi bertemu dengan Tante qin, sehingga aku tidak menasehatimu pulang lagi.”

Tiffany Wen makan dengan diam, melihat senyuman di wajah Hansen Wen, matanya yang menyipit menjadi 1 garis, rasa sayangnya tidak bisa ditutupi.

Hati Tiffany Wen mendadak hampa. Mereka sekeluarga bertiga sering pergi main ke berbagai tempat, mencari restoran setelah lelah bermain, memesan masakan kesukaan, sekeluarga makan mengelilingi meja makan. Terkadang dia main hingga lapar, makan hingga lahap bagaikan serigala dan harimau yang kelaparan, ibunya akan khawatir dan mengingatkannya untuk makan dengan pelan, jangan tersedak, sedangkan ayahnya akan melihat mereka berdua dengan penuh kasih, yang satu makan dengan buru-buru, yang 1 suruh makan dengan pelan.

Sayangnya dia waktu kecil tidak mengerti untuk menyayanginya, hanya ketika kehilangan baru mengerti untuk menyayanginya, ingin kembali ke masa tersebut, namun hanya tersisa kenangan dan kerinduan.

Tiffany Wen menertawakan dirinya sendiri, dia sendiri masih penuh kerisauan dan kesedihan.

“Ayah, kamu makan juga, tunggu begitu lama, kamu juga lapar.”

“Tidak, tidak, bisa melihat Fanny makan, aku sudah sangat puas.”

Tiffany Wen tersenyum lembut kepada Hansen Wen, kemudian menundukkan kepala mulai makan di bawah pandangan yang akrab baginya.

Hansen Wen melihat senyuman Tiffany Wen tidak dingin dan tidak ada kewaspadaan, hatinya merasa menyesal, sorotan matanya menjadi rumit, tersirat pergolakkan dalam matanya.

Hansen Wen juga mulai makan, tetapi kepahitan dalam pandangan matanya menebal, akhirnya meletakkan mangkok dan sumpit, menahan jidatnya, menangis dengan pelan.

Tiffany Wen yang sedang makan kaget mendengar Hansen Wen menangis, dia sejak kecil hingga dewasa tidak pernah mendengar Hansen Wen menangis, dalam ingatannya dia selalu displin dan kuat, keadaan yang tidak biasa ini membuat Tiffany Wen tidak tahu harus berbuat apa.

Tiffany Wen segera meletakkan mangkok dan sumpit, duduk dengan serba salah, bertanya dengan penuh perhatian “Ayah, Anda kenapa? Ada hal yang ingin dibicarakan dengan aku?”

Mendengar nada bicara Tiffany Wen penuh perhatian dan rasa cemas, rasa bersalahnya semakin parah.

“Fanny, aku tahu kamu tidak suka ayah selalu membahas tentang uang dan harta warisan ibumu.”

Hansen Wen mengangkat kepala menggandeng tangan Tiffany Wen, berkata sambil menangis “Tetapi ayah sudah tidak punya cara lain, keluarga Wen memang kondisinya berbahaya di berbagai tempat, sekarang mendapatkan tekanan dari keluarga Chu di berbagai tempat, kamu berbaik hati selamatkanlah keluarga Wen!”

Tiffany Wen mengernyitkan dahi, walaupun dia sudah menebak kemungkinan kali ini berhubungan dengan keluarga Chu dan harta warisan di tangannya, tadinya sudah memikirkan cara untuk menolak, tetapi melihat kondisi Hansen Wen, dia agak tidak tega dan tidak bisa menjawab.

Hansen Wen melihat Tiffany Wen tidak langsung menolaknya, harapannya bertambah besar, lanjut menangis berkata:”Semenjak pesta pernikahan kemarin, keluarga Wen ditindas oleh keluarga Chu, tadinya masih ada perusahan teman lama yang bersedia menopang keluarga Wen untuk sementara waktu, akhirnya sekarang semuanya takut terkena masalah, berbondong-bondong menarik investasi dari keluarga Wen, jika terus berlanjut keluarga Wen akan bangkrut.”

“Keluarga Wen ini adalah hasil jerih payah ayah dan ibumu berdua, tidak hanya ada darah dan keringat, juga ada kenangan senasib sepenanggungan, aku tidak rela kehilangan keluarag Wen begitu saja, itulah sebabnya aku terus mendesakmu berkali-kali, semuanya karena tiada jalan lain, Fanny, kamu maafkanlah ayah 1 kali ini! Kamu bantulah ayah kali ini!”

Tiffany Wen mengernyitkan dahi melihat Hansen Wen yang tidak menangis, wajahnya tulus dan penuh rasa bersalah, jika dia mencari cara untuk membujuknya, Tiffany Wen akan langsung menolaknya, tetapi sekarang dia berkata jujur, membuktikan kondisinya sangat parah.

Tiffany Wen menjadi lemah hatinya, dengan nada perhatian berkata “Apa yang harus aku lakukan agar keluarga Chu melepaskan keluarga Wen?” Kemudian nada bicaranya berubah menambahkan “Jika ingin aku menikah masuk ke keluarga Chu, jangan harap.”

Hansen Wen melihat Tiffany Wen dengan kaget, matanya bersinar harapan, ketika mendengar perkataan terakhir Tiffany Wen, segera menggelengkan kepala “Tidak perlu tidak perlu, jika bukan karena saat itu terpaksa, bagaimana aku rela menikahkan putri kesayangan dengan seorang idiot?”

“Asalkan Fanny bisa memberikan tanah milikmu kepada keluarga Wen, aku akan mengembangkannya, dengan demikian keluarga Wen masih bisa terselamatkan.”

Tiffany Wen menurunkan kelopak matanya, tanah tersebut adalah warisan peninggalan kakeknya, dia harus waspada dalam menanganinya, kemudian jawab dengan ragu “Biarkan aku pertimbangkan dulu.”

Hansen Wen melihat Tiffany Wen tidak langsung menolaknya, petanda masih ada harapan, sehingga tidak mendesaknya, mulai memainkan perasaan.

Hansen Wen menggandeng tangan Tiffany Wen, memandang lampu gantung di langit-langit dengan penuh perasaan, seolah-olah masuk dunia kenangan.

“Fanny, tahukah kamu, dulu waktu aku dan ibumu bersama, kakekmu sangat tidak setuju, dia mengatakan aku yang miskin tidak sepadan dengan putrinya. Ibumu saat itu bersitegas mendukungku, dia bahkan mengatakan bukan mencintai uangku, melainkan diriku dan kemampuanku.”

Hansen Wen menundukkan kepala tersenyum bodoh “Tahukah kamu Fanny, waktu itu ibumu tidak menghiraukan larangan keluarga, lari keluar untuk hidup bersamaku, keluarga memutuskan pemberian uang kepadanya, dia meneamaniku bekerja di luar. HIngga suatu kali aku menemukan satu kesempatan bisnis, aku pulang menyampaikan padanya, dia mendukungku dengan matanya yang penuh sinar, itu adalah senyuman terindahnya yang pernah terlihat olehku.”

“Kemudian demi mencari modal, aku dan dia selain bekerja setiap hari, juga mencari pekerjaan tambahan, saling bersandaran ketika lelah, makan mie instan sambil merencanakan masa depan. Akhirnya uang pun cukup, aku juga mendapatkan 1 ember emas pertama, aku mempergunakan uang tersebut untuk memberikan hadiah tanda cinta, yaitu pin itu.”

Hansen Wen menertawakan dirinya “Tetapi, aku malahan melelangkan barang sepenting itu.”

Hansen Wen menarik kembali pandangannya, dengan penuh kasih melihat Tiffany Wen, wajah penuh ketulusan “Fanny, maafkan aku ya?”

Tiffany Wen mendengar hingga matanya perih, teringat jerih payah ibunya semasa hidup, akhirnya bernasib menjadi membahagiakan orang lain, merasa sangat tidak pantas, kebenciannya terhadap Tania Qin mulai muncul.

Menyeka air mata dengan pelan, Tiffany Wen berpamitan “Aku pergi ke toilet bentar.”

Selesai bicara pun pergi menuju toilet, jalan hingga setengah jalan mendadak teringat untuk sekalian dandan ulang, tetapi tidak membawa dompet, kemudian balik untuk mengambil dompet.

Baru berjalan di depan pintu box, dari dalam terdengar suara percakapan antara Hansen Wen dengan Tania Qin dan anaknya……

Novel Terkait

Craving For Your Love

Craving For Your Love

Elsa
Aristocratic
4 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu