Precious Moment - Bab 169 Masih Untung Bukan Obat Perangsang

Andreas Lu setelah keluar dari lift langsung menuju kamar sesuai dengan nomor yang diinfokan oleh Dave Gu.

Sampai di depan pintu, mendengar di balik pintu sepi, tidak ada sedikit pun suara Tiffanny Wen, Andreas Lu sedikit ragu, tapi itu juga hanya sesaat, selanjutnya Andreas Lu menekan bel pintu, mencoba mencari tahu keadaan.

Hasilnya terdengar suara pria yang sangat tidak sabaran, keresahan dalam hati Andreas Lu semakin bertambah hebat, kemudian setelahnya tidak terdengar ada pergerakan, Andreas Lu langsung dengan satu tendangan menendang pintu sampai terbuka.

Dilihatnya dua pria menghampirinya, di wajah muram Andreas Lu tampak guruh dan kilat, mengabaikan perkataan kotor mereka, pandangan mata Andreas Lu melampaui mereka terarah ke dalam kamar.

Ketika dilihatnya di atas sofa tas pink milik Tiffanny Wen, dan juga masih ada pakaian yang berserakan di lantai, sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah yang sangat menyolok mata.

Melihat pemandangan demikian Andreas Lu tidak sempat memikirkan apakah sebenarnya itu semua adalah milik Tiffanny Wen atau bukan, otaknya seketika dipenuhi api kemarahan, langsung menyerang tanpa sedikit pun memakai perasaan, dengan tangkas dan cekatannya membuat kedua orang itu tersungkur ke lantai.

Melihat kedua orang itu walaupun sudah jatuh di lantai namun bibirnya tetap kotor, Andreas Lu memilih menghamburkan sedikit waktu lagi, membuat mereka hanya bisa menyisakan tangisan.

Akhirnya dua orang sampah itu bisa dibereskan, Andreas Lu buru-buru masuk dalam kamar, langsung terlihat Tiffanny Wen yang sedang terbaring di ranjang, sepasang mata yang redup sedang menatap langit di luar, airmata di sudut mata masih belum kering, kancing bajunya telah terbuka setengahnya, tampak keluar kulit putih bersihnya.

Dilihatnya celana Tiffanny Wen masih terpakai, Andreas Lu sedikit merasa lega.

Masih untung….dirinya tidak terlambat datang….

Tapi melihat sepasang mata yang tadinya lincah saat ini berubah menjadi sunyi, juga tampangnya yang berantakan, hati Andreas Lu tercekat, jantungnya nyeri, ada sedikit rasa sulit bernafas, seakan tidak bisa membuang nafasnya.

Sepertinya tindakannya barusan terlalu ringan….

Tiffanny Wen dengan langkah lebar berjalan maju, menggunakan selimut dibungkusnya tubuh Tiffanny Wen, lalu langsung digendongnya.

Tiffanny Wen yang berpikiran dangkal tentang hidup dan mati otomatis mendengar suara langkah kaki Andreas Lu yang masuk ke kamar, dia yang masih merasakan sekujur tubuhnya tak bertenaga, sudah menyerah terhadap pergumulan ini, dia sudah melakukan persiapan untuk melompat dari atas gedung setelah siuman benar sambil membawa serta kamera.

Tapi suara pakaian yang dibuka yang sudah dibayangkan sebelumnya tidak terjadi, juga tidak ada sosok tubuh yang menerjang merobek pakaiannya, sebaliknya ada kehangatan yang tiba-tiba menyelimutinya.

Setelah rasa pening yang hebat itu lewat, aroma parfum cologne yang tidak asing lagi mengitari ujung hidung Tiffanny Wen, dalam matanya tersirat sebuah tatapan sukar untuk percaya.

Tiffanny Wen lambat-lambat memalingkan kepalanya, melihat tampang yang dikenalnya, pupil matanya yang semula tanpa kehidupan itu perlahan mulai bersinar, airmatanya mulai menetes keluar, senyum di wajahnya mengandung perasaan heran karena baru saja selamat dari bahaya, juga ada perasaan terharu, ada juga sedikit perasaan kesepian.

Bibir pucat Tiffanny Wen bergetar, suaranya serak: “Andreas Lu….ternyata kamu….untunglah ada kamu….”

Andreas Lu menatap wajah Tiffanny Wen yang kusut dan pucat dengan senyum dengan rasa terkucilnya itu, rasa sesak di dada semakin membuncah, kedua lengannya yang sedang menggendong Tiffanny Wen secara tak sadar bertambah kekuatannya.

Sudut bibir Andreas Lu tidak lagi menyeramkan, ada kelembutan dalam sorot mata yang menatap Tiffanny Wen, dengan lembut dia mendaratkan kecupan ringan di dahi Tiffanny Wen.

“Ini aku, sudah tidak apa-apa.”

Kalimat yang sangat singkat, dipadukan dengan suara Andreas Lu yang dalam, memberikan perasaan aman yang sangat dalam bagi Tiffanny Wen, Tiffanny Wen tersenyum, air matanya masih saja tidak berhenti mengalir, dua lesung pipit yang manis terlihat di wajahnya, semakin terlihat agak kesepian.

“Ya…..sudah tidak apa-apa….”

Selesai mengatakan ini, Tiffanny Wen seperti mendapatkan penghiburan yang besar, akhirnya hati yang gelisah menjadi tenang, yang selanjutnya adalah rasa kantuk yang parah datang, kelopak mata Tiffanny Wen terasa menggantung begitu beratnya, sekalinya kepala dimiringkan, langsung terlelap kembali.

Melihat raut wajah pucat Tiffanny Wen yang perlahan mulai memerah, Andreas Lu menyangka pengaruh obat pada Tiffanny Wen akan kembali bekerja, sambil menggendong Tiffanny Wen bergegas berjalan keluar, ketika melewati kamera di jalan, dia menengadah menghadap kamera dengan cueknya mengubah-ubah bentuk mulutnya, lalu menggendong Tiffanny Wen masuk ke lift, langsung menuju ke lantai paling atas, ke kamar ekslusif milik dia pribadi.

Sedang Dave Gu yang berada di ruang kontrol CCTV sedang menopang dahinya tampak tidak berdaya, terhadap perkataan Andreas Lu dia tentunya mengerti “Turun, bereskan.” Sangat jelas, hati Dave Gu walau merasa tak berdaya, tapi dengan sangat cekatan berdiri, berkata kepada Lucas Zhao lalu langsung meninggalkan ruangan itu.

Di lantai paling atas, kamar suit khusus CEO, setelah Andreas Lu dengan susah payah menggesek kartu membuka pintu, lalu dengan langkah lebar masuk, dengan sangat hati-hati membaringkan Tiffanny Wen di atas ranjang, melihat airmata di sudut mata Tiffany Wen yang masih belum mengering, Andreas Lu membungkukkan badannya, perlahan menggunakan tisu menyekanya, gerakannya sangat lembuh, matanya menyorotkan keteguhan.

Selama aku masih ada di sisimu, pasti tak akan kubiarkan kamu terluka!”

Melihat wajah Tiffanny Wen yang semakin lama semakin memerah, Andreas Lu takut dia lagi-lagi sama dengan waktu itu terpengaruh oleh obat perangsang, kali ini dia memastikan dirinya masih bisa menahannya, tapi tidak sampai hati menyakitinya.

Alis Andreas Lu berkerut, dalam kamar berjalan mondar mandir gelisah, tiba-tiba dalam pikirannya terlintas satu orang, dirasanya ini bisa dilakukan, Andreas Lu lalu langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon.

“Max Jiang, aku ingat kamu beberapa hari yang alu bukankah kembali ke Kota Luo?”

“Baiklah kalau begitu, kamu cepatlah datang ke Centrus Hotel, ada masalah yang penting”.

“Centrus ya bukan Century, ke kamar pribadiku.”

Setelah Andreas Lu menutup teleponnya, masih dengan sedikit gelisah duduk di samping Tiffanny Wen, diambilnya sapu tangan, dibasahinya dengan air es, setelah diperas, dengan hati-hati disekanya beberapa bagian wajah Tiffanny Wen yang agak panas.

Seiring dengan waktu yang perlahan berlalu, suhu tubuh Tiffanny Wen berangsur pulih menjadi normal, wajahnya masih tetap merah. Andreas Lu yang diam-diam menghilangkan selain dari pengaruh obat perangsana, bagaimanapun sudah berlalu cukup lama, efek lanjutan dari obat pun mulai hilang.

Andreas Lu menghela nafas lega, tapi melihat Tiffanny Wen berbaring di ranjang dengan nafas yang panjang dan lama, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan tersadar, hatinya tidak bisa tidak ada sedikit rasa tidak sabar.

Max Jiang sebetulnya masih berapa lama lagi bisa sampai sih?

Justru di saat Andreas Lu hampir gila rasanya, suara bel pintu yang ditunggu-tunggu pada akhirnya berbunyi, Andreas Lu buru-buru berdiri dan membukakan pintu.

Begitu pintu dibuka, terlihat seorang pria dengan tinggi sekitar seratus tujuh puluh, mengenakan pakaian dokter putih, bawahannya sepatu kulit hitam dipadupadan dengan celana hitam, berdiri di depan pintu, dengan rambut pendek yang rapi, hidungnya yang mancung menyangga sebuah kacamata bergagang hitam, mata di balik kacamata itu menyiratkan sorot mata yang pandai dan bijak.

Begitu Andreas Lu membuka pintu, Max Jiang mulai tidak tahan dan menggerutu.

“Andreas Lu, kamu benar-benar teman yang baik ya, ini aku baru saja selesai mengerjakan sebuah operasi, telepon darimu masuk, bagus juga pengecekan waktunya.

Sebenarnya ada urusan penting apa sih? Begitu mendesaknyakah sampai memanggilku ke sini? Lihat kamu yang energik kalau terkena penyakit juga tidak mencariku, aku bukan spesialis kejiwaan lho.

“Tentunya bukan kamu yang membawa Dave Gu kan? Dia lagi-lagi pingsan karena gula darahnya rendah? Di mana?”

Sudut bibir Andreas Lu berkedut tak henti, mengapa dirinya melupakan bahwa sifat khusus pembantunya Max Jiang ini? Tapi sekarang dalam kondisi seperti ini, dirinya tidak bisa berpikir lagi, bertahan saja dulu…..

Dalam hatinya Andreas Lu berpikir, diusapnya pelipisnya yang memar akibat berkelahi tadi, menunjuk Tiffanny Wen yang ada di atas ranjang.

“Dia, diberi obat, sudah cukup lama tidak sadar-sadar juga, cepatlah kamu periksa.”

Waktu Max Jiang melihat Tiffanny Wen, seketika matanya berbinar, di saat yang bersamaan melihat Andreas Lu dengan tatapan dalam penuh arti.

“Wah, boleh juga nih, wajahnya lumayan ya, kamu si kepala batu sejak kapan terbuka pikirannya? Di luar dugaan begitu baiknya terhadap seorang wanita?”

Andreas Lu dengan datar menatap Max Jiang, dia langsung menutup rapat-rapat mulutnya, tampangnya tidak takut terhadap ancaman, namun tetap menurut dan mulai memeriksa kondisi Tiffanny Wen.

Lewat beberapa waktu, Max Jiang dengan senyap meluruskan pinggangnya, membereskan peralatannya, dengan membelakangi Andreas Lu perlahan berkata.

“Tidak ada masalah yang besar, hanya minum sedikit obat bius, lalu menerima rangsangan yang kuat terhadap efek obat tersebut, sekarang setelah tenang dengan cepat meledak, lalu jadilah seperti ini. Kondisi seperti ini biarkan dia tidur sebentar juga akan membaik.”

Mendengar laporan Max Jiang, hati Andreas Lu barulah bisa dikatakan benar-benar tenang, perlahan berbisik “Masih untung bukan obat perangsang….”

Namun bisikan ini terdengan jelas oleh Max Jiang.

Dia langsung menoleh, melihat Andreas Lu “Obat perangsang? Tidak menyangka dalam hatimu sesungguhnya mengharapkan itu adalah obat perangsang? Lalu kamu bisa dengan….”

Raut wajah Andreas Lu seketika menjadi muram, dia bangkit berdiri dan berjalan menuju Max Jiang.

“Sudahlah, ini bukan urusanmu, kamu boleh pergi, dia butuh istirahat lebih baik.”

Sambil berkata Andreas Lu tidak memberi kesempatan Max Jiang untuk bereaksi lagi, langsung memaksanya menariknya menuju pintu.

“Andreas Lu! Kamu orang yang tidak bisa menghargai teman ya! Tidak tahu membalas budi! Habis manis sepah dibuang! Aku……”

Andreas Lu langsung membuka pintu, mendorong Max Jiang yang sedang mengomel dan menutup pintu.

Novel Terkait

Marriage Journey

Marriage Journey

Hyon Song
Percintaan
4 tahun yang lalu
Rahasia Istriku

Rahasia Istriku

Mahardika
Cerpen
5 tahun yang lalu
Precious Moment

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu
Hanya Kamu Hidupku

Hanya Kamu Hidupku

Renata
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Kembali Dari Kematian

Kembali Dari Kematian

Yeon Kyeong
Terlahir Kembali
4 tahun yang lalu