Precious Moment - Bab 366 Berbuat Kejahatan Apa di Belakangku

Saat Tiffanny Wen tersadar, dirinya sedang terbaring di sebuah tempat yang terasa asing namun juga sedikit familiar.

Tiffanny mengedipkan mata dengan kaget, bau obat di udara memberitahu kenyataan bahwa dia sedang berada di rumah sakit. Tiffanny mencoba menggerakkan jari-jari tangannya, namun rasa perih di seluruh badan membuatnya mengerutkan kening.

Dia mencoba menggerakkan kedua ujung bibir, rasa lemas seperti ini…jangan bilang dirinya demam lagi.

Tiffanny ingin sekali menangis namun air mata telah tidak tersisa, dia tahu tubuhnya sangat lemah, tetapi sama sekali tidak menyangka akan selemah ini, bukankah hanya terendam air sebentar. Meski cuaca memang sedikit lebih dingin, tetapi jelas-jelas dia sudah mengganti pakaian yang basah, kenapa begitu saja bisa demam….

“Sudah sadar?”

Suara berat terdengar dari samping ranjang, Tiffanny Wen menganggukkan kepala, menatap langit-langit berwarna putih dengan mata bengong.

Dia tidak ingin menoleh melihat ekspresi wajah Andreas Lu, karena dari dua kata singkat yang diucapkan, ketidakberdayaan dan ledekan sudah terdengar jelas dalam nada bicaranya, tanpa melihat wajahnya saja sudah bisa dibayangkan seperti apa ekspresi wajah itu saat ini, melihatnya hanya akan menambah beban sendiri, lebih baik diabaikan saja.

Melihat Tiffanny terus melamun menatap langit-langit kamar, Andreas Lu pun mengangkat alis, menjulurkan tangan memegang keningnya sesaat, barulah merasa lebih lega setelah menyadari suhunya sudah menurun banyak, tetapi masih saja berkata memancingnya: “Apakah tidurmu sangat nyenyak?”

Tiffanny merasa kesal, meski pikirannya belum jernih total, tetapi dia masih sangat ingat sebelum pingsan sempat berkata pada Andreas bahwa dirinya ingin tidur, soal bagaimana dia bisa terbangun di rumah sakit, jawabannya sudah sangat jelas.

Jadi, sekalipun Andreas terus meledek dan memancingnya, Tiffanny tetap tidak berhasil menemukan alasan untuk membantah, oleh karena itu hanya bisa bersikap seolah orang yang mengalami kelumpuhan leher, terus menatap langit-langit, sama sekali tidak berencana memindahkan pusat perhatian. Jika bukan karena serangan dari bola matanya, Andreas Lu hampir saja curiga Tiffanny demam hingga menjadi idiot.

Mata Tiffanny melotot sesaat, lalu menjawab: “Nyaman, sekujur tubuh pegal dan nyeri, kenapa Tuan Muda Lu tidak mencobanya sendiri?”

Melihat Tiffanny yang berbicara dengannya namun pandangan mata tidak berpindah ke arahnya, hanya terus menatap langit-langit kamar, Andreas Lu pun merasa sedikit aneh, timbul rasa curiga dalam hati.

Perlahan berdiri dari tempat duduk, Andreas memegang dagu Tiffanny, memaksanya bertatapan.

Melihat wajah licik di depan mata, mata Tiffanny sedikit bergetar, namun tetap berpura-pura tenang: “Ada apa ya?”

Andreas Lu mengangkat alis perlahan, senyuman licik pada wajah itu semakin terlihat: “Menurutmu?”

Tiffanny menggeleng dengan bingung, berkata dengan pura-pura bodoh: “Tidak tahu.”

Jawaban Tiffanny Wen sama persis sesuai dugaan, Andreas Lu tersenyum kecil, menatap perempuan yang terbaring di sana sambil berkata: “Apakah kamu merasa melakukan kejahatan di belakangku?”

Tiffanny tercengang sesaat, kenapa kalimat itu terdengar sangat familiar?

Dia lalu menatap Andreas tanpa rasa takut, berkata dengan tegas: “Aku hanya murni merasa langit-langit itu indah, kenapa begitu saja kamu sudah salah paham?”

Andreas Lu melihatnya, sedikit memejamkan mata, terpancar cahaya gelap dari dalam mata itu, disertai dengan senyuman licik pada bibir, sungguh membuat hati merinding.

Seluruh otot dalam tubuh Tiffanny menegang, melihat Andreas dengan penuh waspada. Meski tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan, tetapi Tiffanny merasa sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi.

Jari tangan merasakan otot tubuh Tiffanny Wen menegang, Andreas menatapnya sekilas dengan dalam, pada akhirnya hanya tersenyum tipis, lalu berbalik badan pergi.

Perginya Andreas secara mendadak membuat Tiffanny kebingungan, dia menoleh menatap arah dia pergi, rasanya aneh sekali. Tiffanny mencoba duduk, namun sekujur tubuh terasa lemas, maka dari itu hanya bisa terus menatap pintu kamar, setelah bayangan itu menghilang, dia mencoba menggerakkan kepala, melihat ke berbagai arah, ingin sekali tahu berapa lama dirinya telah pingsan.

Namun setelah memutar kepala hingga 1800, dia tetap saja tidak menemukan alat yang bisa menunjukkan waktu dalam ruangan, kecuali langit gelap di luar kaca jendela yang memberitahunya bahwa hari sudah malam, Tiffanny tidak lagi memiliki acuan jam lainnya yang lebih akurat.

Dia melakukan olahraga kepala dengan bosan, karena bantuan infus, suhu tubuhnya terkendali dengan sangat baik, meski sekujur tubuh masih terasa pegal dan nyeri, tetapi secara keseluruhan tidak lagi selemas sebelumnya.

Tiffanny mencoba menggerakkan kedua tangan dan kaki, mengangkat tangan, melihat selang infus yang tertancap di pergelangan tangan, lalu meletakkannya dengan perlahan.

Dia lalu memejamkan mata berencana istirahat sejenak, tetapi bunyi keroncongan dalam perut membuatnya tak kunjung tertidur.

Di saat kembali menatap langit-langit kamar, akhirnya Andreas kembali. Tiffanny masih menatap langit-langit dengan wajah bersedih, jika bukan karena ukuran ranjang yang terlalu kecil, dia pasti bisa membentangkan tangan dan kaki dengan bebas.

Tiba-tiba saja, Tiffanny merasakan sesuatu yang hangat menempel di keningnya, beberapa detik kemudian, rasanya semakin panas.

Dia menggelengkan kepala, meminta benda itu dibawa pergi, setelah itu mata terbuka, Tiffanny melihat Andreas Lu yang berdiri di samping ranjang, serta sebuah kotak nasi di tangannya.

Andreas mengambil sebuah kursi, duduk ke samping Tiffanny sambil memegang sekotak bubur, sedangkan Tiffanny membuka mulut dengan sangat alami, mengangkat alis berkata: “Suapi aku.”

Andreas Lu menatapnya sesaat, meletakkan bubur ke samping, kemudian memapahnya duduk dengan gerakan lembut, barulah mengambil kotak bubur, mulai menyuapinya.

Setelah menelan sesuap bubur, Tiffanny melihat Andreas dengan kesal, mulai mengomel: “Kamu dendam denganku ya, panas sekali, ini juga bubur polos, ingin membuatku mati kepanasan atau kehilangan indera perasa…..”

Andreas Lu melihatnya sekejap, tetapi dengan tatapan yang sangat datar, lanjut mengambil sesendok bubur, menundukkan kepala meniupnya perlahan, baru menyodorkan ke mulut perempuan itu.

Ekspresi wajah datar, namun menunduk dan meniupkan bubur dengan penuh perhatian, situasi itu benar-benar membuktikan adanya cinta di antara mereka.

Menyadari perempuan itu masih terbengong tanpa membuka mulut, Andreas Lu pun mengerutkan kening, bertanya dengan suara berat: “Tidak mau makan?”

Tiffanny Wen segera membuka mulut, melahap sesuap bubur dengan cepat, enak sekali rasanya.

…………

Novel Terkait

Beautiful Love

Beautiful Love

Stefen Lee
Perkotaan
3 tahun yang lalu
Back To You

Back To You

CC Lenny
CEO
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu
Balas Dendam Malah Cinta

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
4 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu
Doctor Stranger

Doctor Stranger

Kevin Wong
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu