Precious Moment - Bab 88 Api kemarahan yang susah dipadamkan

Tiffanny mengerutkan keningnya, lalu pelan-pelan membuka mata, yang tampak oleh matanya adalah warna putih yang mencolok, dan bukannya gaya Eropa yang dia kenal, Tiffany pelan-pelan mulai mengingat kenyataan bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit.

Tangannya menutup dahinya, pelan-pelan bangun dan duduk, Tiffanny termenung menunggu pandangannya fokus perlahan, melihat ke sekeliling dengan bingung.

Samar-samar, Tiffanny melihat jam digital di lemari sisi ranjang, dengan bengong melihat petunjuk waktu yang tertera, Tiffany yang masih belum sadar sepenuhnya diam-diam memikirkan arti dari angka-angka ini.

“15:57…. hhhmmm….”

“Gak salah? Aku ingat melihat Tania si wanita hina itu adalah jam 10.26, aku ini pingsan selama 5 jam atau harus ditambah lagi 24 jam?”

Tiffanny yang masih bergelut dengan kenyataan sebenarnya dirinya sudah pingsan berapa lama, tiba-tiba merasa perutnya bergulung…

“Krucuk…”

Suara perutnya yang keroncongan bergema di dalam ruangan kamar yang kosong, Tiffanny merasa mujur dirinya hanya sendirian di kamar ini, kalau tidak tentu kondisi tadi akan terasa canggung.

Tiffanny menghembuskan nafas tanpa daya, menundukkan kepala diam-diam menatap sepasang tangannya yang seperti mumi, walaupun sudah lewat sehari, saat ini lukanya sudah membentuk jaringan, tidak seperti kemarin yang hanya dengan menyentuh sesuatu saja langsung sakitnya setengah mati, tetapi dikarenakan bekas luka dan perban, aktivitas pergerakan tangannya masih sangat kecil, pagi tadi sudah dicoba tingkat pembengkokkan yang paling besar hanya bisa untuk mengambil handphone.

Tiffanny duduk anggun dengan pose 45 derajat memandang ke langit-langit, ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar.

Tidak disangka aku benar-benar menjadi orang cacat yang disebut oleh Andreas Lu, bahkan sekarang ingin makan siang saja terasa sulit… masa depanku…

“Dong dong dong.”

Suara ketukan di pintu membuat Tiffanny memiringkan kepalanya melihat ke arah pintu dengan ragu.

Andreas ataupun Tania tidak akan mengetuk pintu, tetapi kalau mau ganti obat bukankah biasanya akan ngomong dulu? Dengar suara ketukan yang ringan ini pastilah seorang wanita, siapa ya?

“Silakan masuk.”

Tidak bisa menebak siapa yang mengetuk, Tiffanny menyerah untuk menebak, dengan tenang menunggu orang itu masuk.

Tetapi saat orangnya masuk, Tiffanny semakin bingung, kulit berwarna kecoklatan, penampilan luar yang biasa-biasa saja, rambut yang dikepang panjang, gaun berbunga-bunga… jenis yang kalau dibuang ke laut maka tidak akan ketemu. Tetapi matanya yang tersenyum itu justru sangat bening dan terang, seperti sinar matahari di ladang gandum, membuat orang merasa hangat dan nyaman.

Tiffanny mulai sadar, wajahnya penuh kebingungan.

“Maaf Anda adalah….”

“Halo Nona Wen, saya adalah Rossie, saya dipekerjakan oleh Tuan Gu, untuk menjadi asisten pribadi Anda.”

“Asisten pribadi?” Di kepala Tiffanny melayang sebuah tanda tanya.

“Iya.” Rossie menganggukkan kepala sambil tersenyum “Karena Tuan Gu mengatakan bahwa tangan Nona Wen terluka parah, maka perlu perawatan pribadi dalam waktu singkat.”

“Oh, maksud kamu kamu hanya kerja sementara, kalau begitu bagaimana cara menghitung upahmu?”

“Tuan Gu sudah membayar upah selama satu minggu, dia bilang satu minggu cukup untuk kesembuhan Nona Wen, sekalian juga memberi saya RMB 1000 yuan untuk biaya makan Nona.”

1000 yuan… biaya makan… 7 hari? Dia annggap ini lagi ngasih makan babi?

Tiffanny mengeluh sebentar, lalu matanya yang berbinar segera beralih ke Rossie.

“Rossie kamu datang tepat waktu, aku sudah hampir mati kelaparan, terus kamu jangan lagi panggil aku Nona Wen, kamu bisa panggil aku Tiffany, terus apakah kamu bisa membantu aku beli makanan, aku belum makan sampai sekarang…”

“Baik kak Tiffanny, kak Tiffanny ingin makan apa, di bawah rumah sakit ini ada kantin, lumayan dekat, makanannya juga lumayan.”

“Hm, beli sedikit bubur saja, dan sedikit sup bening.”

“Baik kak Tiffanny, kalau begitu saya pergi beli makan dulu, kamu istirahat saja dulu.”

“Terima kasih Rossie, hati-hati di jalan ya.”

Akhirnya makan siangnya ada harapan, ketika dengan suasana hati riang Tiffanny menjulurkan tangannya ingin mengambil gelas kaca di samping untuk minum, lengannya tidak hati-hati mnyentuh sudut meja, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, secara reflek langsung diletakkan gelasnya, menarik tangannya dengan mendadak.

Dengan pelan-pelan diangkatnya lengan baju pasien yang bernomor besar itu, dilihatnya di pergelangan tangannya ada bekas berwarna ungu kehitaman, Tiffanny merasa aneh.

Aku ingat baju yang ku pakai kemarin berlengan pendek, kalau pergelangan tanganku luka aku pasti akan tahu, tapi bekas luka ini begitu hitam… kelihatannya seperti baru… seharusnya baru… baru…

Tiba-tiba sebersit sinar muncul di mata Tiffanny, selanjutnya mata Tiffanny membara dipenuhi api amarah.

Pasti Tania dan Jessica, mereka melakukannya sementara aku pingsan!

Berfikir sampai di sini, Tiffanny serta merta mengangkat ke empat lengan bajunya ke atas, betul sebagaimana dugaannya, dilihatnya lengan dan betisnya semuanya penuh dengan bekas ungu kehitaman.

Api amarahnya sudah berkobar sampai ubun-ubun, Tiffanny mendadak sadar bahwa abu ibunya masih ada di tangan mereka, pelan-pelan kemarahan di rongga dadanya mulai menyusut, mengalami pemurnian, membentuk rasa benci yang mendalam.

Tiffanny memegang handphonenya, tetapi apa boleh dibuat luka di tangan dan perban, menyebabkan dirinya susah mnyentuh layar handphone.

Setelah menghabiskan tenaga besar, akhirnya Tiffanny berhasil membuat panggilan telepon.

“Halo.” Suara Tania di seberang telepon terdengar melecehkan:

“Kelihatannya, kau sudah sadar, bagaimana? Hadiah kecilnya bagus kan.”

Tiffanny menghirup nafas dalam-dalam, hampir kehabisan nafas menahan kebencian dan kemarahan dalam hatinya, berusaha keras dengan nada suara tenang berbicara dengan Tania.

“Kamu sebenarnya mau apa baru bersedia mengembalikan abu ibuku?”

Apa daya, balasan yang didengarnya adalah suara tawa Tania yang sewenang-wenang.

“Hahaha, begini saja sudah membuatmu panik? Jangan panik donk, kamu masih sedang masa perawatan. Tunggu sampai kamu sembuh, setelah keluar rumah sakit, baru kita bicarakan pelan-pelan.”

Mendengar suara bernada kemenangan dari Tania, Tiffanny ingin sekali menembus melalui kabel telepon ke tempat Tania, memukulnya keras-keras, apa daya saat ini dia tidak bisa berbuat apa, karena abu ibunya masih di tangan Tania.

Mengingat hal itu membuat Tiffanny marah sampai melempar handphonenya ke ranjang.

Dan Rossie yang sudah pulang membawa makanan membuka pintu pas melihat adegan ini, berdiri di depan pintu tidak berani bergerak, masuk salah, keluar juga salah, serba salah. Hanya berani memanggil dengan suara pelan: “Kak Tiffanny, makan siangmu sudah dibungkus.”

Tiffanny yang mendengar hal itu seketika menoleh, emosinya segera mereda.

“Terima kasih Rossie, bawa ke sini.”

Tetapi ketika Rossie meletakkan bubur dan kuah iga di depan Tiffanny, Tiffanny hanya diam, Rossie dengan muka bingung melihat Tiffanny, Tiffanny menjulurkan tangannya ingin memegang sendok, beberapa kali mencoba tanpa hasil, akhirnya Rossie mengerti.

“Kalau tidak, kak Tiffanny, biar saya suapin kamu ya.”

Muka Tiffanny berurai air mata, tetapi dia hanya bisa menganggukkan kepalanya.

Tidak terasa sudah lewat 7 hari, kain kasa di tangan Tiffanny juga sudah waktunya dilepas, jujur dia enggan berpisah dari hari-hari dimana dia melakukan apa-apa tanpa perlu menggunakan tangan. Sebenarnya pada hari ke empat Tiffanny sudah mampu menyelesaikan sebagian besar tugas mengurus diri, tetapi untuk beberapa hal yang perlu menyentuh air, Tiffanny diperintahkan untuk tidak menyentuh air, maka hal seperti cuci baju, mandi dan yang lain semuanya masih dibantu Rossie, sesaat Tiffanny masih merasa sayang melepaskan nona kecil yang ramah itu.

Tetapi yang paling membuat Tiffanny takjub adalah Tania, karena semenjak mereka melakukan sambungan telepon itu, Tania benar-benar tidak datang untuk menemui Tiffanny lagi, bahkan telepon pun tidak.

Tetapi semakin Tania seperti ini, Tiffanny semakin merasa tidak aman.

Wanita hina itu sedang merencanakan apa lagi?

Novel Terkait

Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Istri kontrakku

Istri kontrakku

Rasudin
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu
Menaklukkan Suami CEO

Menaklukkan Suami CEO

Red Maple
Romantis
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
My Lifetime

My Lifetime

Devina
Percintaan
4 tahun yang lalu