Precious Moment - Bab 4 Hati Nurani Sekeluarga yang Digigit Anjing

Tiffanny Wen tidak membantahnya.

Beberapa hari setelah kematian istrinya, dia pun membawa selingkuhannya ke rumah. Lalu tidak peduli terhadap putri kandungnya, melainkan memberikan kasih sayang kepada dua botol minyak itu. Merupakan sebuah lelucon jika dia harus berbakti kepada pria seperti itu.

Lagipula, kepulangannya kali ini merupakan panggilan dari mereka untuk membagi harta warisan. Untuk apa berpura-pura seolah-olah hubungan ayah dan putrinya sangat baik, untuk siapa dia berpura-pura seperti itu?

Tiffanny Wen tidak memiliki niat untuk bermain drama dengan mereka, dengan terus terang berkata, "kepulangan aku kali ini merupakan permintaan kalian untuk membahas harta warisan. Aku baru saja mendarat, sedikit lelah. Aku naik terlebih dahulu untuk menyembah ibuku. Mengenai masalah yang lain tunggu setelah aku selesai beristirahat baru dibicarakan kembali."

Begitu selesai berbicara, Tiffanny Wen langsung menarik kopernya untuk naik ke lantai atas tanpa mempedulikan ekspresi orang-orang di sekitarnya.

Tetapi baru saja melangkah, Hanson Wen bergegas menghampirinya berkata, "Fanny, kamu jangan naik terlebih dahulu."

"Kenapa?"

Tiffanny Wen bertanya dengan mengerutkan kening.

Mata Hanson Wen berkedip-kedip lalu berkata, "tidak ada apa-apa, ayah hanya ingin berkata kamu pulang dengan tiba-tiba, jadi tidak memberikan perintah untuk membersihkan kamarmu. Kamar itu sudah tidak dibersihkan selama satu tahun, malam ini kamu tidur di kamar tidur tamu di lantai bawah ya?"

Tiffanny Wen tidak mempedulikannya dan berkata, "aku bisa membersihkannya sendiri." Begitu selesai berbicara baru saja dia ingin melangkah naik.

"Tetapi......."

Ucapan Hanson Wen tersendat-sendat, matanya semakin berkedip dengan cepat.

Tiffanny Wen menyipitkan matanya. Tiba-tiba dia meninggalkan kopernya dan berlari naik ke atas dengan cepat.

Dia seolah-olah tidak mendengar teriakan Hanson Wen yang gelisah dan terburu-buru membuka pintu kamarnya.

Ketika pintu kamar terbuka, dia tertegun.

Dulu dinding kamarnya berwarna krem, dekorasinya pun terlihat sangat elegan. Tetapi sekarang dindingnya direnovasi menjadi warna ungu muda.

Warna ini merupakan warna yang disukai Jessica Qin wanita jalang itu.

Perabot di dalamnya sudah diganti semuanya bahkan polanya saja sudah berbeda.

Tiffanny Wen merasa terkejut melihat pemandangan ini, dengan langkah yang berat dia melangkah masuk, dia ingin mencari bekas jejak yang familiar di dalamnya.

Tetapi tidak ada, di dalam sini sudah berubah menjadi sangat asing.

Melihat ini, Tiffanny Wen masih mempertahankan akal sehatnya hanya merasa marah.

Ketika dia mendorong pintu di ruangan sebelah, kebencian yang membuldak yang terus bertambah di dalam hatinya. Seperti adonan yang difermentasi mengenggam dadanya dengan erat.

Sudah tidak ada.....

Sebelum keluar negeri, dia menaruh papan nisan ibunya di dalam ruang bacanya, agar dapat memberikan ibunya pada tempat terakhir yang murni di rumah ini.

Tetapi sekarang, papan nisannya sudah tidak ada. Ruang baca menjadi ruang penyimpanan. Beberapa kamar lainnya sudah digunakan oleh si selingkuhan dan dua anaknya. Semuanya sudah menghilang yang milik dia dan ibunya.

Tubuh Tiffanny Wen bergetar dan menggertakkan gigi menatap Hanson Wen yang ikut naik ke lantai atas berkata, "dimana papan nisan ibuku?"

Nada bicara dia sangat dingin, tidak ada kehangatan sedikit pun.

Hanson Wen menatapnya dengan merasa bersalah berkata, "Fanny, kamu dengar penjelasan ayah........."

"Dimana papan nisan ibuku!!!"

Tiffanny Wen memotong pembicaraannya dan berteriak.

Mata Hanson Wen berkedip-kedip dan berkata, "Fanny, kamu dengar penjelasan ayah terlebih dahulu, karena rumah kita masih ditinggali orang dan ibumu sudah meninggal. Jika menaruh papan nisannya di dalam rumah, sedikit banyaknya agak......aneh. Jadi, ayah memindahkannya........."

"Memindahkannya ke mana?"

Mata Tiffanny Wen memerah, suaranya bergetar.

"Di......di......"

Hanson Wen tidak bisa menjawabnya, Jessica Qin yang berada di sampingnya membuka suara berkata, "kak, kamu jangan marah. Ayah memindahkan papan nisan ibumu ke gudang yang ada di samping ruangan garasi mobil. Kamu tenang saja, semua barang di sana sudah dibersihkan, ibuku juga sudah memerintah pembantu untuk membersihkannya dengan sangat..............."

Tanpa menunggu Jessica Qin selesai berbicara, Tiffanny Wen sudah berlari ke arah garasi mobil.

Begitu dia sampai di gudang yang berada di samping garasi mobil, begitu dia membukakan pintunya, dalam ruangan dipenuhi dengan kegelapan. Mungkin karena sudah lama tidak ada orang yang ke mari, ruangannya dipenuhi dengan debu. Di sudut ruangan, papan nisan ibunya digeletakkan di sana sendirian.

Melihat pemandangan ini, Tiffanny Wen merasa seluruh darahnya sudah naik hingga ke kepalanya, dia sangat marah, rasa kebencian di dadanya sudah tidak bisa ditahan.

Dia dengan gemetar berjalan ke arah papan nisan ibunya, air matanya bercucuran.

Sudah setahun, tidak ada yang menyembahnya dan dibuang begitu saja di gudang yang gelap ini.

Ternyata Hanson Wen sangat kejam hingga ke titik ini, hingga tidak mengurusi istrinya yang telah meninggal?

"Ibu, Fanny sudah kembali. Fanny tidak berbakti, Fanny berdosa padamu!"

Terdengar suara 'bang'. Tiffanny Wen berlutut di depan papan nisan ibunya dan memberi hormat sebanyak tiga kali.

Hatinya di penuhi dengan rasa penyesalan dan rasa bersalah.

Dia seharusnya tidak menaruh papan nisan ibunya di rumah ini.

Seharusnya dia sudah dapat mengetahuinya sejak awal, sejak ayahnya sudah terpikat dengan Tania Qin si rubah itu, mana mungkin akan mentolerir keberadaan papan nisan ibunya yang menganggu penglihatannya?

Benci!

Dia sangat benci!

Atas dasar apa mereka memperlakukan ibunya seperti ini?

Rumahnya sudah menjadi milik mereka sekarang, apa masih belum cukup?

Dengan mata merah dan bengkak, dia beranjak dan mengelap bersih papan nisan ibunya. Lalu memeluknya dan membawa ke mansion utama.

Pada saat ini, Hanson Wen sudah membawa ibu dan kedua anak itu menunggu di aula, matanya berkedip melihat Tiffanny Wen kembali dengan memeluk papan nisan ibunya.

Ada perasaan bersalah dan takut.

Tiffanny Wen melihatnya dengan jelas, lalu tersenyum dingin.

Sudah seharusnya mereka merasa takut, tentu saja mereka akan merasa gelisah memperlakukan orang yang sudah meninggal seperti ini bukan?

"Fanny, mengapa kamu membawa papan nisan ibumu.........kembali?"

Mata Hanson Wen tidak berani menatap lurus ke papan nisan tersebut.

Tiffanny Wen tertawa, "mengapa aku tidak boleh membawanya kembali? Rumah ini atas nama ibuku, terserah dia ingin tinggal berapa lama di sini. Kalian atas dasar apa menaruhnya di tempat gelap seperti itu? Memangnya kalian itu apa?"

"Dia sudah mati, akan sial jika menaruh papan nisannya di sini."

Yoel Qin menjawab dengan penuh hinaan.

Tiffanny Wen dengan marah berkata, "sial? Kamu punya hak apa berkata seperti itu? Rumah ini milik ibuku, kalian ibu dan anak bertiga yang menumpang di sini dan tidak memperlakukannya dengan baik. Apakah kalian masih memiliki hati nurani terhadap orang yang sudah meninggal?"

Begitu berbicara sampai di sini, dia diam sejenak lalu tersenyum berkata, "oh iya, salah, memangnya kalian memiliki hati nurani? Hati nurani kalian sudah dimakan oleh anjing sejak awal yang tersisa hanyalah keserakahan dan egois."

Novel Terkait

Loving Handsome

Loving Handsome

Glen Valora
Dimanja
4 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Hidden Son-in-Law

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
My Secret Love

My Secret Love

Fang Fang
Romantis
5 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu