Cintaku Pada Presdir - Bab 19 Percintaan Mereka Yang Dalam Dan Kental

Terdengar suara orang berbicara, tapi tidak jelas.

Pemilik tangan yang sedang kupegang sepertinya terasa jengkel, menarik kembali tangannya dari peganganku, kemudian, aku hanya merasakan tubuhku mendingin, seperti ada orang yang sedang menanggalkan pakaianku.

Aku langsung melawannya, ingin membuka mata, tapi kelopak mata terasa sangat berat dan sulit untuk dibuka, hanya bisa berkata dengan lemas, “jangan… …”

Suara yang familiar itu kembali dikeluarkan dari mulutnya, “jangan gerak, kamu demam, apa yang mungkin aku lakukan?”

Ternyata masih dia yang berada di sampingku, aku pun tertidur dengan tenang.

Beberapa saat kemudian, bagian lain dari ranjang sepertinya sedikit mengempis, aku ditarik masuk ke dalam pelukan seseorang, seluruh tubuhku menjadi lebih hangat.

Esok subuh, aku bangun dan duduk di atas ranjang sambil menggosok mata, melihat tempat di sebelahku yang kosong, aku tidak bisa membedakan kejadian semalam adalah mimpi atau kenyataan.

“TokTokTok.”

Suara ketukan pintu, Bibi He mendorong pintu dan masuk, “Nona Ning, sarapan sudah selesai disiapkan.

“Iya.” Setelah berpikir-pikir, aku masih saja tidak bisa menahan penasaranku, aku pun pura-pura bertanya dengan santai: “semalam ada orang yang masuk ke kamarku?”

Ekspresi Bibi He tidak terlalu wajar, “saya ada masuk, kamu salah membuka penghangat menjadi pendingin, pas tengah malam kamu sedikit demam, jadi saya menaikkan suhu penghangat.”

Aku mengangguk, tersenyum menuturkan: “ternyata begitu, maaf sudah repotin malam-malam.”

Dia bersikap sopan membalas perkataanku, setelah itu barulah dia membalikkan badan dan keluar dari kamar.

Melihat kepergiannya, senyumanku menghilang sedikit demi sedikit.

Semalam aku baru bisa tertidur setelah berbaring lama, kalau karena pendingin suhunya terlalu rendah, kenapa diriku sendiri tidak terasa.

Sepertinya, di hari-hari ke depan, bahkan tidur saja aku harus tetap berjaga-jaga.

Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku pun turun untuk sarapan.

Waktu masih pagi, Jinshi juga belum keluar, dia sedang menyantap sarapannya di meja makan, sebelah kanannya terletak kopi yang hanya tersisa setengah cangkir.

Dulu dia memiliki kebiasaan ini, tapi kondisi lambungnya tidak terlalu baik, setelah nikah, aku pun melarangnya untuk minum kopi dalam keadaan perut yang kosong.

“Lambungmu… …”

Baru saja kata itu dikeluarkan dari mulut, aku segera menghentikan, dia mengangkat kelopak, menatapku aku, “apa?”

Aku menggelengkan kepala, “tidak.”

Aku diam-diam memperingatkan diriku sendiri, aku dan dia sudah cerai, bukan kewajibanku untuk perhatian padanya, kali ini tujuanku pulang juga bukan karena ingin menikah kembali dengannya.

Dan juga, menghabiskan waktu empat tahun menjadikan diriku begitu hancur, sudah cukup, aku tidak boleh mengulangi kebodohan itu lagi.

Semalam aku tidak makan, dan sekarang sangat lapar, duduk dan langsung menyantap makananku.

Akhir-akhir ini aku semakin memilih-milih makanan, sambil makan bubur sambil memikirkan makanan apa yang akan aku buat hari ini, yang sesuai dengan seleraku.

Cheng Jinshi selesai sarapan, baru saja berdiri dan bersiap untuk keluar, Song Jiamin yang mengenakan pakaian tidur turun dari tangga, memasuki pelukannya, bermanja bagai tidak ada orang lain, “malam ini bisa pulang makan malam?”

Cheng Jinshi memegang bahunya, membujuknya dengan nada rendah penuh senyuman, “malam ini aku ada urusan, baru bisa pulang menemanimu setelah kerjaanku selesai.”

Song Jiamin melihatnya dengan tatapan tidak senang, tapi matanya tenang bagai air, menyalahkan dengan nada rendah, “kamu hanya memikirkan kerja! Kalau gitu kamu harus pulang lebih awal, langsung pulang sesudah kerjaan selesai.”

Cheng Jinshi menyetujuinya dengan emosi yang baik, Song Jiamin memandangku dengan tatapan menantang, sombong bagai baru menang dari sebuah perang.

Aku tidak menghiraukannya, terus menghabiskan sisa susu, berdiri, mengambil tas yang tadinya sembarang diletakkan di sofa, keluar.

Aku berjalan di trotoar, keluar dari gerbang kompleks, menunggu sesaat dan tetap tidak bisa mendapatkan taksi kosong.

Aku menundukkan kepala melihat handphone, saat berencana untuk pesan go-car, sebuah mobil Cayenne berhenti di depanku, jendela mobil diturunkan, nampak muka Cheng Jinshi yang tampan, nada suaranya stabil, “kemana?”

Aku menyimpan handphone, “berkonsultasi ke rumah sakit, “

Dia mengetuk setir sesekali, “naiklah.”

Musim semi yang dingin, aku juga tidak ingin terus menunggu taksi di tengah-tengah tiupan angin dingin, setelah naik ke mobil, dengan tenang mengucapkan; “terima kasih.”

Kalau dulu, aku akan berpikir apakah dia sedang perhatian padaku.

Tapi, aku baru saja menyaksikan percintaan mereka yang begitu kental dan dalam, bagaimana mungkin saya masih bisa berkhayal seperti iu.

Seluruh emosinya yang baik sepertinya hanya digunakan pada Song Jiamin.

Sepanjang jalan, kami tidak berbicara sekata pun, ruang yang sempit dan kecil menjadikan atmosfer semakin pengap dan tertekan.

Aku memandang luar jendela, pemikiranku sangat kacau, ketika kembali sadar, mobil sudah memasuki gerbang rumah sakit.

Hatiku bagai dicengkeram oleh suatu benda, benakku tiba-tiba muncul seluruh adegan di hari ibu meninggal, aku menoleh ke Cheng Jinshi, “boleh ganti rumah sakit lain?”

Dia mengerutkan alis, “kenapa?”

Sepertinya dia belum tahu tentang kepergian ibu.

Aku menarik nafas dalam-dalam, membuka pintu mobil dan turun, aku mengangkat tangan, menekan sudut dalam mata, memaksa kembali air mata yang ingin keluar, barulah berkata dengan tidak pelan dan tidak cepat: ” karena, sini adalah tempat ibu meninggal.”

Tangannya yang menggenggam stir mobil menguat, seperti tidak berani percaya, suara yang keluar dari tenggorokannya berat dan rendah, dan juga sedikit mendesak, “apa kamu bilang? Kejadian kapan?”

Melihat responnya, sangatlah menarik.

Saat ibu meninggal, aku belum cerai dengannya, tapi yang dia perhatikan hanyalah anak Song Jiamin, dia bahkan tidak tahu ibu mertuanya sendiri meninggal.

Sekarang, dia malah memperlihatkan tingkat kepedulian yang tinggi.

Aku dengan ironi mengangkat sudut mulut, nada suaraku biasa,”hari kita cerai adalah hari kepergian ibuku juga. Cheng Jinshi, kamu yang mengajarkanku memahami apa itu pasrah dan patah hati.”

Sakit akan kehilangan ibu belum terobati, suamiku malah menelponku untuk membahas masalah penceraian.

Aku kehilangan segalanya hanya dalam waktu sesaat.

Kalau dulu, aku tidak akan mengatakan semua ini padanya, justru akan diam-diam menanggung semua ini sendirian.

Tapi sekarang sudah berbeda, karena aku telah paham, orang yang menelan semua kesakitan dan berjuang dengan penuh tersiksa secara sendirian, itu adalah orang bodoh

Contohnya, aku yang dulu.

Jarinya menjadi pucat, tatapan yang penuh makna dan mendalam, sedikit menampakkan rasa maaf, “naiklah, kita ganti rumah sakit lain.”

Aku mundur selangkah, dengan nada polos mengucapkan: “tidak perlu, bagaimanapun aku tetap harus menghadapinya.”

Selesai berkata, aku tidak menunggu respon dari dia, membalikkan badan dan melangkah ke dalam rumah sakit.

Habis periksa kandungan, seketika mendapat akal, aku pun memutuskan untuk pergi ke kantor keamanan rumah sakit melihat CCTV di hari kepergian ibu.

Walaupun foto dari orang asing itu sudah dipastikan bukan hasil editan, tapi ketika dipikir-pikir, tetap saja merasa aneh, kalau saja bisa melihat CCTV, maka akan lebih baik.

Tidak sangka, pengaman memberitahuku bahwa CCTV rumah sakit selalu dibersihkan, CCTV empat bulan yang lalu sudah tiada.

Aku hanya bisa pergi ke tempat rawat nginap mencari perawat untuk menanyakan kejadian hari itu, tapi karena sudah berlalu telalu lama, dan tempat rawat nginap selalu banyak yang datang dan pergi setiap harinya, para perawat pun tidak bisa mengingat.

Aku menghela nafas, melihat waktu masih tidak malam, aku pun menelpon Lily untuk minum teh sore

Dia sangat senang mengetahui aku masih berada di Kota Nan, setelah bertemu, aku menyampaikan padanya alasan aku menetap di Kota Nan.

Setelah mendengar perkataanku, dia meletakkan garpu yang ada di tangannya, berkata dengan nada kaget: “kalau gitu kamu sekarang sudah tahu siapa yang mengirimkan foto ke kamu belum?”

Aku menggoyangkan jus buah yang terisi di dalam gelas kaca, menggelengkan kepala dengan penuh ketidaktahuan, “tidak tahu, aku pernah coba menelponnya, tapi nomor itu sudah tidak aktif.”

Aku juga sudah berusaha mengingat setiap orang yang aku kenal, tapi tetap saja tidak bisa menebak siapa itu.

Tapi aku rasa, orang itu mestinya tidak hanya ingin mengirimkan foto ke aku, tujuan aslinya pasti tidak sederhana.

Lily mengelap mulutnya dengan serbet, “kalau gitu berikan aku nomor itu, aku akan mencari orang memeriksanya.”

Aku tersenyum, “aku juga bermaksud begitu, aku kirim ke kamu sekarang.”

Setelah berbincang-bincang sebentar, barulah kita meninggalkan tempat itu, dia khawatir melihatku naik taksi sendirian, bersikeras untuk mengantarku pulang.

Sepanjang jalan, arus lalu lintas tidak berakhir, ketika terperangkap macet di saat lampu merah, dia tiba-tiba bertanya padaku, “mungkin ibu mertuamu muncul di kamar pasien hanya sebuah kebetulan?”

Tanganku yang bertumpu pada jendela mobil menopang dahi, pikiranku sangat kacau, “aku juga sudah memikirkan itu ketika diriku sudah tenang, tapi benar-benar terlalu mencurigakan, hari itu dia kebetulan muncul di situ, kebetulan memberikan sebotol obat untuk ibu, dan ibu, kebetulan meninggal tidak lama setelah dia pergi dari situ, meninggal karena bunuh diri dengan mengonsumsi pil tidur.

Semua kebetulan bertemu di satu titik, aku bahkan tidak bisa meyakinkan diriku bahwa ini hanya kebetulan.

Lily juga merasa sangat mencurigakan, hanya menegur: “kita cari tahu dulu kejadian sebenarnya, kamu jangan terlalu impulsif, sekarang kamu seharusnya menempatkan anak yang ada di perutmu di tempat pertama.”

Aku meresponnya dengan pikiran yang penuh masalah, turun dari mobil, dan kemudian berjalan ke depan pintu rumah dengan pikiran yang melayang, memasukkan kunci sandi pintu.

Tit--

Bunyi pemberitahuan pintu terbuka membuatku kembali sadar, kunci sandi belum diganti?.

Aku termenung sejenak, masuk rumah dan mengenakan sandal, bersiap untuk langsung masuk ke kamar, tapi baru sampai di depan tangga, tiba-tiba aku dipanggil.

Novel Terkait

Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
5 tahun yang lalu
Siswi Yang Lembut

Siswi Yang Lembut

Purn. Kenzi Kusyadi
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
His Second Chance

His Second Chance

Derick Ho
Practice
4 tahun yang lalu
Si Menantu Dokter

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Berpaling

Cinta Yang Berpaling

Najokurata
Pertumbuhan
4 tahun yang lalu