Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 176 Kau Jangan Pergi Lagi, Ya?

Dia baru saja selesai keramas. Rambutnya masih basah. Dia memelukku. Kepalanya menunduk menatapku. Air dari ujung rambutnya jatuh ke wajahku. Dingin. Tanpa sadar, aku menghindarinya. Tapi, dia mengeratkan pelukannya.

Rambutnya pendek. Namun, hinggap tepat di wajahku. “Timothy!” ujarku tak tahan.

“Hm.” jawabnya bergumam, belum juga melonggarkan pelukannya.

“Jane.” ujarnya lirih di telingaku.

Entah mengapa, saat itu hatiku rasanya hangat.

“Hm?” jawabku menggumam, tidak berkata-kata.

“Selamat datang kembali.”

Kata-kata itu membuat mataku berkaca-kaca.

Timothy lalu menciumku dan aku mendapati air mataku jatuh.

“Jane…”

Dia memanggilku lagi, lalu menggenggam tanganku. Dia menarikku ke dekatnya, lalu menciumku sekali lagi.

“Timothy—”

Bibirnya memaut bibirku erat, seperti sedang mencari sesuatu.

Tubuhku terasa hangat, tanpa sadar tanganku memeluk tubuhnya erat. Dia kembali memelukku.

Tubuhku bereaksi dari sentuhannya. Dia lalu membawaku ke kasur.

Timothy melepas bajunya. Lagi-lagi dia menundukkan kepalanya, menciumku.

Ciumannya terasa panas, panasnya menjalar ke seluruh tubuhku. Kulitku lalu terasa hangat.

Di bawahku adalah kasur yang telah kutiduri setahun ini. Di atasku adalah pria yang kucintai.

Saat dia ada di dalamku, aku merasa semacam kepuasan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku dan Timothy menggila malam itu, melakukannya lagi dan lagi sampai kami tak menghitung lagi. Setelah kami merasa lelah, barulah dia menarikku untuk tidur di pelukannya.

Hari pun berganti. Aku bangun sesuai jam biologisku. Aku merasa kurang tidur, masih ada sisa lelah dari kemarin dan tadi malam.

Aku bisa melihat sayup-sayup cahaya matahari dari tirai jendela yang masih tertutup rapat. Aku mencoba bangun, namun tiba-tiba aku merasa pinggangku ditarik. “Masih pagi. Kita masih bisa tidur sebentar lagi.” terdengar suara Timothy dari belakangku.

Sebenarnya aku juga masih lelah. Aku bangun karena jam biologisku saja. Mendengarnya berkata begitu, aku pun menurutinya.

Beberapa saat kemudian, aku terbangun lagi. Rambutku berantakan. Saat itu sudah jam 9 lebih. Sesaat ketika aku membuka mata, aku mendapati Victor, dengan boneka kelinci di tangan mungilnya, memanggilku, “Mama. Mama.”

“Victor, bangunkan mama untuk sarapan.”

Mendengar suara Timothy, aku sontak menengadahkan kepala. Aku mendapatinya berdiri di pintu kamar, tangan mendekap dada, wajahnya menyungging tawa.

Victor lalu menarik-narik tanganku, “Mama, ayo sarapan.”

Aku tertawa melihat tingkahnya.

“Baiklah. Mama cuci muka, sikat gigi dulu. Tidak lama, kok.” ujarku sambil menundukkan kepala, menciumnya.

Setelah Timothy menemaniku dan Victor selama dua hari di rumah, dia lalu berangkat kerja. Aku tahu banyak pekerjaannya yang tertunda. Jadi, aku selalu bangun pagi, menyiapkan sarapan untuknya sebelum berangkat kerja.

Setelah mengundurkan diri, hingga saat ini aku belum berpikiran untuk buru-buru kembali bekerja. Aku ingin menemani Victor beberapa saat ini, baru mencari kerja lagi nanti.

Ketika sarapan, aku memberitahu Timothy tentang rencanaku. “Kau tidak ingin tinggal di rumah saja untuk menemani Victor?” timpal Timothy.

Aku tahu Timothy salah mengerti penjelasanku, aku cepat-cepat menggelengkan kepalaku, “Bukannya tidak ingin menemani Victor di rumah. Setelah jam pulang kantor dan akhir pekan, aku ada saja waktu luang. Tetapi, aku tidak ingin melepaskan pekerjaanku. Aku tidak ingin menjadi ibu rumah tangga yang tidak paham apapun.”

“Kau bisa bekerja di IEC International Group.”

Aku menggelengkan kepala lagi, “Tidak mau. Aku mau cari pekerjaan sendiri.”

Timothy hening. Aku tahu dia teringat hal yang sebelumnya terjadi.

Jujur saja, aku sendiri khawatir dengan hal yang sama. Hal itu adalah salah satu alasan besar aku menolak bekerja di IEC.

Kalau aku bekerja di IEC, kesalahan kecil saja, pasti akan di besar-besarkan.

Aku bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai yang kupegang. Aku tidak ingin mereka membatasi pikiran atau gerakanku.

Tadinya aku ingin membicarakan hal ini lebih dalam, namun Timothy ada rapat pagi ini. Irfan Lee sendiri yang meneleponnya pagi-pagi untuk mengingatkannya.

Saat ini sudah jam 8:30. Aku merasa saat ini kurang tepat untuk membicarakan masalahku.

Jadi, aku tidak mengatakan apapun. Aku hanya menyuapi Victor dalam diam.

“Aku sudah kenyang.” ujar Timothy tiba-tiba. Dia lalu meletakkan mangkuknya. Aku baru saja akan angkat bicara ketika Timothy meninggalkan ruang makan.

Lalu terdengar suara pintu tertutup kencang.

“Mama, apa Papa sedang marah?”

Mendengar kata-kata Victor, aku tertawa, “Tidak, Sayang. Ayo, habiskan buburnya.”

Victor mengerutkan dahi kecilnya, “Kalau Papa tidak marah, kenapa Papa menutup pintu seperti itu?” celetuknya.

Bagaimana caraku menjelaskan hal ini pada anak berusia 2 tahun?

“Papa tidak sengaja.”

“Oh…”

Victor pun berhenti bertanya.

Aku tertawa mengingat Timothy. Bagaimana bisa pria berumur 30 tahun bertingkah kekanakan begitu?

Tidak lama kemudian, telepon berdering. Timothy mengabariku dia tidak pulang untuk makan siang. Dalam hati, aku ingin membicarakan masalahku tadi pagi, namun dia buru-buru menutup teleponnya.

Kali ini, aku yang meleponnya. namun, Timothy tidak mengangkatnya.

Kepalaku berdenyut melihat layar ponselku. Benakku bertanya mengapa Timothy bisa semarah itu hanya karena hal kecil saja.

Tetapi, aku juga salah. Aku tidak mengutarakan maksudku dengan jelas.

Siang itu, Timothy benar-benar tidak pulang untuk makan siang. Jadi, aku hanya makan berdua dengan Victor.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih ketika aku berhasil menidurkan Victor. Timothy belum juga kembali. Dahiku berkerut, benakku bertanya-tanya.

Aku merasa sedikit ragu. Namun, akhirnya aku menanggalkan bajuku dan pergi mandi.

Seusaiku mandi, aku mendapati Timothy telah pulang.

Aku bisa mencium bau alkohol dari badannya. Padahal dia berdiri jauh dariku.

“Kenapa kau minum banyak sekali?”

Melihatnya berjalan limbung, aku lalu bergegas memapahnya.

Dia mendongakkan kepala, menatapku. Tersirat rasa sedih di kedua bola matanya yang hitam.

Aku terkejut, “Timothy, aku—”

“Maafkan aku, Jane.”

Aku belum selesai berbicara, Timothy tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya.

Lagi-lagi, aku terkejut. Aku baru saja kan menjelaskan masalahku pagi ini, namun Timothy sudah lebih dulu buka mulut, “Maafkan aku. Aku tahu tiga tahun yang lalu aku adalah seorang keparat. Maafkan aku. Aku berhutang maaf padamu, Jane. Maafkan aku. Kau sudah kembali, tolong jangan pergi lagi, ya?” ujarnya setengah memohon, sambil menatapku.

“Aku—”

Novel Terkait

Terpikat Sang Playboy

Terpikat Sang Playboy

Suxi
Balas Dendam
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
4 tahun yang lalu
Pernikahan Tak Sempurna

Pernikahan Tak Sempurna

Azalea_
Percintaan
3 tahun yang lalu
Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
4 tahun yang lalu
Penyucian Pernikahan

Penyucian Pernikahan

Glen Valora
Merayu Gadis
3 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
3 tahun yang lalu