Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 36 Memang Untukmu (2)

Ia menunduk menatapku, matanya membawa senyum. Ia mengulurkan tangan menyentuh pipiku, "Kau minta maaf untuk apa?"

Aku menjilat bibirku, tak berani mengaku kalau aku menikah dengannya karena maksud lain. Aku pun memeluknya lebih erat lagi. Tak disangka, Timothy mengerang sedikit.

"Kenapa? Apa aku menyakitimu?"

Ia melepaskan tanganku lalu menciumku. Aku terdiam sejenak.

Dengan cepat, kami berdua terbakar nafsu. Di tengah-tengah kobaran nafsu itu, aku baru menyadari ada bengkak yang cukup besar di pundaknya, aku pun segera menghentikannya, "Tunggu dulu, kenapa ini?"

"Jane, bahkan di saat seperti ini pun kau masih berniat mengurusi hal-hal seperti ini?" katanya, lalu menyerbuku dengan keras. Aku tak tahan untuk mengerang, "Kau...ah..."

Serangan Timothy begitu bertenaga, dalam sekejap aku tenggelam dalam kenikmatan, sama sekali tak berniat untuk mengurusi lukanya lagi.

Satu jam kemudian, Timothy membaringkanku di ranjang. Aku masih memikirkan tentang luka di pundaknya. Aku duduk dan menariknya, "Bengkak di pundakmu parah sekali, biar kuobati sini."

Ia menoleh dan menatapku, aku melihat rona wajahnya kurang baik. Sebelum dia menjawab, aku pun turun dari ranjang, "Biar kuambilkan obat."

Ia mengulurkan tangannya menarikku, "Jane, kau ternyata masih punya tenaga, bagaimana kalau kita main sekali lagi?"

Aku secepat kilat mengecupnya sebentar, "Kuobati dulu, lalu kita main lagi."

Selesai berkata begitu, aku segera mendorongnya lalu keluar.

Wajahku memanas, tak terpikir bisa berbicara seperti itu.

Bengkak di pundak Timothy tampak sangat jelas, ukurannya kira-kira hampir sebesar telapak tanganku. Aku menuangkan obat di telapak tanganku, menyuruhnya berbaring telungkup di ranjang, dan mengoleskannya ringan sekali.

"Sakitkah?"

"Tidak."

Dia telungkup di ranjang, bergumam.

Aku menjilat bibir, aku tahu dia sedang berbicara. Luka sebesar ini, mana mungkin tidak sakit.

"Bengkaknya parah sekali, bagaimana bisa begini?"

Sambil bicara, aku merapikan bajunya kembali, lalu meletakkan obat itu di kepala ranjang.

Timothy membalik tubuhnya, mengulurkan tangan dan menarikku ke atas dadanya, "Jane, mengapa aku dulu tak menyadari kalau kau begitu cerewet?"

Aku mengerut-ngerutkan bibir, "Aku dulu juga tak menyadari kalau DIrektur Huang begini misterius, diam-diam membelikanku cincin. Kalau bukan karena aku tidak sengaja menemukannya, kau mungkin tak akan memberitahuku tentang keberadaan cincin ini kan?"

Dia tampak agak tak nyaman dan mengalihkan pandangannya, "Kapan kau kembali bekerja di IEC?"

Aku terdiam sejenak, agak kelabakan juga, "Aku tidak ingin kembali, pekerjaanku sekarang cukup bagus kok."

Baru saja aku bicara, raut wajah Timothy menjadi dingin. Ia mendorong tubuhku ke samping, "Terserah kau saja."

Melihatnya marah, aku segera mengulurkan tangan menariknya, "Kau jangan marah begitu, aku tidak bermaksud apa-apa. IEC memang bagus, tapi perusahaanku sekarang juga tak buruk, lagipula setahun ini aku terus bergonta-ganti pekerjaan, aku ingin punya pekerjaan yang stabil."

"Jadi di IEC tidak stabil?"

Aku tahu dia salah paham. Aku buru-buru menjelaskan, "Bukan itu maksudku, bagaimanapun aku baru saja mengundurkan diri dari IEC, kalau sekarang aku masuk lagi, apa kata orang nanti."

Timothy menoleh melihatku, lalu berdehem sejenak, namun tak beranjak pergi.

Akhirnya Timothy menerima penjelasanku juga, ia tak jadi menyuruhku mengundurkan diri.

Meskipun kami sudah resmi menikah, namun kami belum menentukan tanggal resepsi. Jadi aku izin cuti selama 3 hari, tinggal di rumah bersama Timothy.

Aku memiliki sebuah acara. Beberapa waktu ini aku sangat sibuk, baru saja selesai rapat, aku mendapat telepon dari Susan Zhao, ia mengajakku bertemu siang ini.