Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 180 Setelah Aku Sadar

Tanpa mempedulikanku, Timothy melakukannya dua kali di kamar mandi.

Aku sudah sangat lelah hari ini. Timothy masih saja memaksaku untuk melakukannya dua kali di ranjang, dua kali di kamar mandi.

Saat dia akhirnya melepaskanku, kedua kakiku terasa lemas, tidak sanggup lagi menopang tubuhku.

Timothy mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Dia berbisik di telingaku, masih saja sempat menanyai apakah aku berani mencari yang lain.

Tenagaku sudah habis, jadi, aku tidak mendebatnya. Aku hanya menghela nafas kesal. Setelah Timothy memandikanku, dia lalu menggendongku ke kasur.

Aku lalu menarik selimut, memejamkan mata, dan tertidur pulas.

Hari pun berganti. Pagi itu, ketika aku bangun, aku merasa pinggangku pegal, kedua kakiku juga masih lemas.

Aku lalu teringat apa yang Timothy lakukan padaku di kamar mandi tadi malam. Saking kesalnya, aku ingin menendangnya dari kasur!

Tadinya kupikir Timothy belum bangun. Namun, ketika aku menoleh ke sisi ranjang, dia sudah tidak ada.

Aku sedikit terkejut. Tiba-tiba dia muncul, memasuki kamar, “’Aku baru saja akan membangunkanmu. Aku barusan beli sarapan. Ayo makan.” ujar Timothy sambil mendekatiku.

Sepertinya Timothy baru saja lari pagi. Dahinya penuh keringat.

Dia lalu melepas bajunya. Tidak lama, dia juga melepas celananya.

Melihat celana dalam tersisa di badannya, aku mengambil bantal dan melemparnya ke arahnya, “Apa kau tidak bisa masuk ke kamar mandi dulu baru melepasnya?”

Timothy membuka lemari, mengambil pakaiannya, lalu menoleh kearahku setengah tertawa, “Kau juga sudah pernah melihatnya.”

“Kau puas?” tanyanya sambil menegakkan badan.

Ya Tuhan!

Aku tidak menyangka Timothy tebal muka begini!

Aku melemparnya lagi dengan bantal, “Cepat mandi!”

Dia malah berjalan menghampiriku, lalu memelukku, “Katakan dulu, puas atau tidak?” tanyanya sambil menantangku. Tatapan matanya memprovokasi.

Aku paham pria paling haus ketika pagi begini, namun, aku tidak bisa mengucapkannya dengan lantang. “Cepat mandi! Tubuhmu penuh keringat.” ujarku sambil mendorongnya.

“Sepertinya kau tidak puas, aku harus membuktikannya. Kau terlihat sangat puas malam!” ujarnya sambil menarikku ke pelukannya.

Aku terkejut. “Kau sedang apa? Lepaskan aku!” teriakku.

Tentu dia tidak mendengarkanku. Timothy membawaku ke kamar mandi.

Teringat yang baru saja terjadi malam, jantungku melompat. Sesaat ketika dia melepaskanku, aku langsung beranjak ke sisi lain.

Timothy tidak mengejarku. Dia hanya berdiri dan menatapku sambil tertawa, “Mandi sana.”

Dia menghampiriku, mengusap rambutku, lalu berjalan keluar.

Aku melihat postur tubuhnya dari belakang. Harus kuakui, badannya bagus.

Tiba-tiba aku teringat bagian tengah selangkangannya yang tadi menyembul, mukaku langsung memerah.

Aku mengusap-usap wajahku lalu menutup pintu kamar mandi.

Tepat ketika aku keluar dari kamar mandi, aku mendapati Timothy pun juga sudah selesai mandi. Dia sedang mengenakan setelan formalnya. Timothy terlihat normal dan tampan, pikirku. Berbeda dengan pria yang tadi menembakku dengan pertanyaan puas atau tidak puas.

Aku melihatinya, “Binatang berpakaian manusia.” ujarku lirih.

Timothy lalu menoleh dan berjalan menghampiriku, “Binatang berpakaian manusia?”

Aku kaget, tidak menyangka dia mendengarnya. Lalu, tanpa sengaja menyemburkan susu kedelai yang saat itu sedang kuminum ke mukanya.

Timothy membeku, menatapiku.

“Maaf. Kau mengagetkanku tadi.” ujarku sambil memberinya selembar tissue.

Dia menerima tissue itu, tanpa berbicara. Dia menjulurkan lidahnya, menjilat susu kedelai di dekat bibirnya, “Tidak apa-apa, Jane. Mau kau menyemburkan air di mukaku, aku tetap bahagia.”

Melihatnya begitu, wajahnya memerah, sedikit jijik juga, “Apa kau tidak jijik?”

“Dari mulutmu juga, jijik apa?”

Karena tidak ingin menimpalinya, aku menunduk dan memakan sarapanku dalam diam.

Victor mungkin sangat lelah kemarin, dia juga tidur kemalaman.

Saat ini sudah pukul delapan lebih, Victor belum juga bangun.

Pukul setengah sembilan tepat, aku selesai makan. Aku lalu membersihkan dapur. Timothy sudah mengenakan sepatu dan mantelnya. Tangannya sibuk menalikan dasi.

Melihatku, dia lalu berhenti.

“Jane, kemarilah.”

Dia melambaikan tangannya padaku, seperti sedang memanggil seekor anjing.

Aku hanya berdiri diam. Dia lalu memaksakan senyum di wajahnya, aku sedikit takut, “Kau tidak mau kemari?”

Ekspresinya membuatku bergidik. Namun, aku lalu menghampirinya, “Ada apa?”

Dia meraih tanganku, memberiku dasi itu, “Bantu aku.” ujarnya sambil menunduk kearahku.

Dia benar-benar tidak memberiku celah untuk berkata ‘tidak’ padanya. Timothy menyungging senyum, dengan enggan aku menalikan dasi itu ke lehernya.

Aku tidak tahu banyak tentang simpul dasi. Satu-satunya yang kuketahui adalah simpul Windsor.

Lagipula, aku juga telah lama tidak menali dasi, jadi aku sedikit kesusahan.

Timothy diam saja. Dia hanya berdiri sambil menatapku. Aku merasa tidak enak hati, lalu mendongakkan kepala menatapnya, “Aku sudah lama tidak menalikan dasi. Jadi, agak susah.”

“Tidak masalah. Aku akan mengajari setiap hari sampai kau bisa menalinya sambil tutup mata.”

Aku selesai menali dasinya tepat ketika Timothy usai berbicara.

Dia tiba-tiba meraih pinggangku, menarikku ke pelukannya.

“Ah!” teriakku.

Dia lalu menciumku.

Ciumannya selalu susah ditolak.

Setelah dua menit, dia melepaskanku.

Kakiku terasa lemas. Aku lalu bersandar ke badannya. “Hadiah untukmu.” ujarnya.

“Jangan berpikir aku murahan jadi bisa kau suap dengan kata-kata itu.” timpalku.

Dia tertawa, tidak berbicara, juga tidak melepaskanku.

Kupikir Timothy berniat pergi ke kantor. Beberapa saat kemudian, dia masih saja berdiri di depanku. Aku mendongak menatapnya, dia sedang menatapku bulat-bulat.

Wajahku memerah. Aku memalingkan wajahku, “Cepat berangkat ke kantor.” ujarku.

Jemarinya menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku. dia menunduk, mencium dahiku, baru melepasku, “Jane, setelah aku sadar kau akan ada setiap hari untuk menalikan dasiku, aku merasa bahagia.”

Aku tidak tahan dengan tingkahnya, “Cepat berangkat kerja!” ujarku sambil mendorongnya.

“Baiklah.”

Setelah Timothy pergi, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Hatiku rasanya hangat.

Benar-benar Timothy ini!

Novel Terkait

Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
I'm Rich Man

I'm Rich Man

Hartanto
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Seberapa Sulit Mencintai

Seberapa Sulit Mencintai

Lisa
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Love and Trouble

Love and Trouble

Mimi Xu
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
5 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
The True Identity of My Hubby

The True Identity of My Hubby

Sweety Girl
Misteri
4 tahun yang lalu