Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 132 Victor Juga Anak Aku

Setelah hari itu, Timothy tidak pernah muncul lagi.

Cuma mendengar berita di internet kalau Nicole bunuh diri, kemarin subuh di antar ke rumah sakit, dan Timothy dari awal sampai sekarang belum menampakkan batang hidungnya.

Aku melihat kata-kata di layar handphone dan merasa perasaanku rumit sekali.

Aku mencari angin selama setengah jam di balkon, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil handphoneku dan menelepon ke Cedric.

Jarang sekali Cedric tidak mengangkat teleponku seperti kali ini, aku melihat handphoneku sekilas dan akhirnya tetap tidak menelepon untuk kedua kalinya.

Akhir-akhir ini dia sepertinya lumayan sibuk, tidak mengangkat teleponku, mungkin benar-benar lagi sibuk, nanti kalau dia lihat panggilan tak terjawabku pasti bakal telepon balik, aku tidak perlu telepon berkali-kali begini, malah bakal buat orang jadi panik.

Baru saja kuletakkan handphoneku, terdengar suara tangis Victor, segera aku pergi ke kamar.

Victor sudah bangun, mungkin sudah lapar juga jadi dia menangis keras begini, dengan cepat aku pergi membuatkannya susu.

Tapi pas aku susui dia malah tidak minum sama sekali, padahal tadi nangisnya begitu keras, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, kuangkat Victor dan memegang keningnya.

Pas pegang aku baru nyadar Victor demam, sejak lahir baru pertama kali ini Victor sakit, aku sama sekali tidak tahu harus bagaimana.

Yang pertama kepikiran sama aku adalah bawa Victor ke rumah sakit, tapi pas lagi ganti baju aku baru ingat aku dan Victor lagi di perhatiin orang banyak, bahkan sampai kemarin Nicole bunuh diri, kalau aku bawa Victor ke rumah sakit di saat-saat begini malah bakal memperbesar masalah.

Aku benar-benar tidak boleh bawa Victor ke rumah sakit sendirian, tapi tangis Victor tidak berhenti, sampai hati aku juga rasanya mau ikut hancur.

Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, satu-satunya aku teringat adalah Timothy.

Benar! Timothy!

Teringat dia, aku tidak peduli lagi masalah antara aku sama dia, langsung aku menelepon dia.

Nomor Timothy tidak pernah berubah, aku tidak menyimpan nomornya di handphone, tapi aku sudah hapal.

“Jane?”

Cepat sekali dia sudah menjawab, sambil menggendong Victor aku berkata dengan panik : “Kamu sekarang ada waktu gak? Aku mau ke rumah sakit, Victor demam, dia nangis terus, aku gak tau harus bagaimana!”

Sebelumnya Victor selalu sehat-sehat saja, sekarang demam mendadak begini membuat aku sungguh tidak tahu harus bagaimana, tambah lagi dia nangis tanpa henti, dan aku juga tidak bisa keluar, semakin panik aku jadinya.

“Kamu tenang, kamu siap-siap dulu, aku bakal sampai dalam 20 menit.”

“Aku sudah siap!”

“Kalau begitu kamu kompres Victor pakai handuk basah dulu, aku sekarang langsung ke sana!”

Diingatin Timothy begini aku baru teringat masih bisa kompres kening Victor buat turunin panasnya.

“Aku tahu, sudah dulu, aku turunin demam Victor dulu.”

“Iya, kamu harus bawa Victor keluar sendiri, harus tunggu aku ya!”

Meskipun aku panik, tapi tidak sampai hilang rasionalku, kejadian hari itu aku masih ingat dengan jelas, tentu saja aku tahu aku tidak boleh bawa Victor ke rumah sakit sendirian.

“Aku tahu, kututup dulu.”

Habis nutup telepon, aku segera mengambil handuk buat turunin demam Victor.

Karena tidak ada termometer, jadi aku juga tidak tahu berguna apa tidak, Victor nangis terus tanpa henti, nangisnya sampai buat aku juga rasanya ingin ikut menangis.

“Ada apa?”

Timothy datang dengan cepat, pas aku lagi mau kompres buat kelima kalinya dia sudah mendorong pintu masuk.

Aku mengangkat kepala melihatnya, tidak tahu kenapa mataku langsung memerah : “Dia nangis terus, gak berhenti, aku juga tidak tahu dia merasa tidak enaknya di mana.”

Timothy menatapku, tiba-tiba mengecup keningku, “Jangan khawatir, aku sekarang bawa Victor ke rumah sakit, kamu bawa barangnya.

Sambil berkata, dia sudah menggendong Victor, aku masih termangu saat dia menoleh melihatku, segera aku sadar kembali dan mengangguk : “Aku sudah siap, ayo.”

Dia mengangguk, satu tangannya menggendong Victor dan satunya lagi menggandeng tanganku, “Irfan ada di bawah.”

Aku menundukkan kepala melihat sekilas tangan yang digandeng sama dia, aku ingin melepasnya, tapi melihat Victor yang di gendongannya, aku pun tetap menahan diri.

Aku mengikutinya keluar dan mengulurkan tangan menutup pintu.

Timothy membawa sebuah mobil yang khusus, dalamnya agak gelap, karena kaca jendelanya juga khusus, dari luar sama sekali tidak bisa melihat ke dalam.

Aku tahu kejadian Nicole bunuh diri kemarin pasti sekali lagi membuat aku jadi pusat pembicaraan orang-orang, tapi bagi aku, asalkan tidak melukai Victor, aku bodoh amat.

Lagian hanya kabar angin yang tanpa bukti, dengar-dengar saja sudah cukup.

Dengan cepat kami sudah sampai di rumah sakit terdekat, pas turun aku baru tahu ternyata rumah sakit swasta.

Timothy tidak menggandengku, pas turun dia cuma kabari sebentar lalu bawa Victor ke dalam.

Sepanjang perjalanan Victor nangis terus sampai suaranya serak, dan tampak sekali Timothy juga mulai panik.

Aku juga panik, tapi melihat ada Timothy, tidak tahu kenapa aku merasa hatiku mendadak jadi tenang.

“Oliver Xu, cepat periksa anakku!”

Kelihatan sekali Timothy kenal sama si dokter, sekali masuk sudah langsung teriak begini.

“Anakmu? Sejak kapan kamu punya anak?”

Timothy mendepak pelan kaki si dokter : “Ngapain masih banyak omong, anak aku nangis terus, cepat lihat mana yang sakit!”

Dokter itu juga tidak marah : “Timothy, coba kamu lihat di di depan aku spesialis apa? Aku tuh spesialis jantung, bukan dokter anak, spesialis anak ada di lantai dua, cepat naik sana!”

Timothy menoleh melihatku : “Kita ke lantai dua.”

Aku mengangguk dan membalikkan badan ikut dia.

Sebelum pergi, dokter yang bernama Oliver Xu itu tanya : “Kamu Jane?”

Aku termangu, sedangkan Timothy sudah di depan sana, akhirnya aku cuma bisa mengangguk terburu-buru : “Iya, aku pergi dulu.”

Dia tertawa sejenak, tanpa peduliin dia lagi aku langsung menyusul Timothy.

Orang di klinik swasta begini tidak seramai rumah sakit besar, yang bagian spesialis anak juga banyak, ada empat klinik, kami mengambil nomor urut dan hanya ada dua orang di depan kami.

Victor masih menangis terus, tanpa henti juga aku dan Timothy mencoba untuk mendiamkannya.

Setelah nunggu belasan menit, akhirnya sampai urutan kami, aku menarik napas lega dan langsung ikut Timothy masuk.

Setelah dokter tanya-tanya sama aku, dia mulai memeriksa Victor, mengetes suhu tubuh, hampir aku pingsan terkejut pas tahu demam Victor sampai 40 derajat.

Akhirnya dokter bilang Victor radang tenggorokan menyebabkan dia demam, mungkin karena panas dalam, karena sekarang demamnya agak tinggi, jadi harus diinfus baru bisa turun demamnya, habis itu minum obat dan di rawat dengan bakal cepat sembuh.

Mendengar perkataan dokter aku langsung bernapas lega.

Timothy langsung memesan kamar VIP, karena radang itu Victor tidak boleh disusui lagi, sehingga Timothy menyuruh orang untuk beliin bubur putih.

Setelah aku suap Victor makan sedikit, barulah dia tertidur pulas.

Dalam kamar pasien ini jadi sunyi senyap, Timothy terduduk di sampingku, suara napasnya terlalu kedengaran sekali, sehingga tak bisa kuabaikan.

Aku membasahi bibir lalu menoleh melihatnya : “Timothy.”

“Ya?”

Dia mengernyitkan alis, pas ini aku baru sadar mukanya tampah lelah.

“Hari ini terima kasih.”

Dia menatapku dengan agak terkejut, “Jane, Victor juga anak aku.”

Novel Terkait

Thick Wallet

Thick Wallet

Tessa
Serangan Balik
4 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Step by Step

Step by Step

Leks
Karir
3 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
4 tahun yang lalu
My Charming Wife

My Charming Wife

Diana Andrika
CEO
3 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Chasing Your Heart

Chasing Your Heart

Yany
Dikasihi
3 tahun yang lalu