Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 120 Jangan Pergi, Jane

Tapi kayaknya agak tak enak kalau menelepon Irfan tengah malam begini.

Setelah mikir beberapa saat, aku mengirim pesan ke Irfan, lalu berangin-angin di luar sebentar, baru aku kembali ke kamar pasien.

Timothy bersandar di ranjang sambil menundukkan kepala melihat handphone, begitu serius sampai tidak nyadar kalau aku masuk.

Tidak tahu apa mungkin karena ulah rasa penasaranku atau apa, aku pelankan langkah kakiku lalu masuk dengan diam-diam.

Tapi gerakan Timothy terlalu cepat, baru saja aku mendekat dia sudah langsung simpan handphonenya, dia menengadahkan kepala melihatku : “Jane.”

Aku tarik kembali pandanganku dan mencemooh : “Pasti ada sesuatu yang memalukan hingga tidak boleh diketahui oleh orang-orang."

Biasanya kalau aku nyindir dia seperti begitu, pasti bakal langsung berubah air mukanya.

Tapi dia sekarang malah melihatku lalu tertawa : “Yang memalukan? Jane, kamu merasa kamu sendiri memalukan?”

Awalnya aku tidak nyadar maksudnya, “Mana ada, tapi apa hubungannya ini sama yang di handphonemu?”

Dengan mood sangat baik dia menangkat alis, lalu membuka handphonenya dan disodornya ke aku : “Inilah yang kamu bilang memalukan, yang tak boleh diketahui orang.”

Tangannya diangkat begitu saja, tampak tampilan layar yang tadi lagi dia lihat, dan ada foto aku di situ.

Foto pas aku sama Victor baru pulang dari rumah sakit habis imunisasi, tidak tahu kapan dia mengambil foto itu.

Aku tidak tahu apa maksud Timothy sebenarnya, tapi mau tak mau harus ku akui, hatiku bergetar tanpa bisa kutahan pas melihat bahwa foto aku yang di handphonenya.

Tapi dengan cepat aku sadar kembali, aku merebut handphonenya.

Meskipun Timothy lagi sakit dan terluka, tapi gerakan dia tetap tidak lambat, baru saja aku dapat handphonenya, dia sudah rebut kembali.

Aku mengulurkan tangan, sambil melihatnya dengan muka tak berekspresi : “Sini.”

“Jane, ini handphone aku.”

Akhirnya muka dia tampak agak kesal, ini baru Timothy yang wajar kayak biasanya.

Dia yang sebelumnya menghadapiku dengan tenang dan kalem, membuat aku merasa ada sesuatu yang salah. Aku lebih terbiasa dia balas-balasan sama aku begini, setidaknya dengan demikian aku juga bisa membela diriku sendiri.

“Itu foto aku!”

“Kamu tidak berhak buat hapus foto yang ada di handphoneku!”

Sambil berkata dia mengunci handphonenya.

Aku tertawa dingin, karena takut kena luka dia, aku mengulurkan tangan merebut handphonenya sambil satu tangan lagi menyangga tepi ranjang.

Kali ini dia tidak bagaimana melawan, dengan gampang aku mendapat handphone.

Aku tebak beberapa kode, tapi tidak satu pun yang benar.

Tunggu sampai satu menit, aku mencoba lagi.

Aku sudah menebak kode pintu apartemennya dulu, ulang tahun dia, juga nomor KTPnya.

Namun salah semua.

Aku sudah tebak semua yang aku tahu, satu-satunya yang sekarang aku kepikiran adalah ulang tahunku sendiri.

Sebelum memasukkan kode, aku mengangkat kepala menatapnya sekilas.

Dia yang bersandar di situ juga lagi lihatin aku tanpa gugup sedikit pun.

Sedangkan aku malah gugup sampai tangan juga gemetaran, jariku yang di atas layar bahkan beberapa kali salah memencet angka.

Aku masukin ulang tahunku sendiri, benar-benar bukan aku yang ke-GR-an, tapi aku cuma nyoba saja. Lagian sebelumnya aku sudah masukin semua kode yang mungkin dipakai Timothy dan tidak berhasil, salah.

Ya, aku meyakinkan diri sendiri ini hanya coba-coba saja.

Tapi pas aku melihat barisan kalimat “kode yang anda masukkan salah”, aku merasa hatiku seperti dijatuhkan dari ketinggian.

Aku menatap Timothy lagi, dia masih seperti tadi.

Aku melipat bibir dan tidak menyerah, aku masukkan 4 angka belakang nomor KTPku, akhirnya tetap salah.

Yang terakhir.

Tanggal pernikahan.

Tiga angka di depan sudah aku masukkan, tapi angka terakhir bagaimana pun aku tidak berani memencetnya.

Timothy memandang aku terus sampai aku tidak tahan.

Aku banting handphonenya ke dia, dan duduk kembali tanpa melihat dia.

“Kenapa gak hapus lagi? Gak tahu kodenya?”

Dia malah menyodorkan handphonenya, aku menatapnya dan merasa orang ini menyebalkan sekali : “Timothy, kamu tidak usah berusaha mati-matian buat memancing aku lagi, aku sudah bukan Jane yang dulu lagi, tidak akan tertipu lagi olehmu."

Baru saja aku selesai mengatakannya, pandangan matanya berubah : “Kamu merasa aku membohongimu?” Sambil berkata dia tersenyum dingin : “Jane, menurutmu apa yang pantas aku bohongi dari kamu?”

“Victor.”

Dia mencemooh, lemah lembutnya seharian ini akhirnya pecah : “Victor memang anak aku, masih perlu aku tipuin kamu buat dapatin dia?”

Omongan dia benar, aku tidak bisa membantah, tapi juga tidak bisa percaya.

Aku tahu aku tak pernah bisa menang berdebat sama dia, lebih baik aku diam saja.

“Jane, kamu selalu begitu, jelas-jelas bertahan sedikit lagi saja sudah bisa berhasil, tapi kamu malah menyerah di saat-saat terakhir.”

Dia menyindirku terang-terangan, aku yang awalnya memang sudah memendam emosi langsung meledak mendengar perkataan dia : “Ya iya, aku tidak bisa membandingkan diriku denganmu, soal tipu muslihat kamu yang paling hebat, siapakah yang masih berani mengatakan dirinya lebih hebat darimu, kalau tidak bagaimana mungkin dulu kamu manfaatin aku untuk mendapatkan saham?”

Air mukanya membeku : “Kamu sudah mengetahuinya?”

Pertanyaannya membuatku merasa seperti disindir, “Kamu tidak ingin diketahui olehku? Sayang sekali Timothy, segala kebohongan dan kejahatan tuh pada akhirnya tetap bakal terbongkar semua. Kamu tahu sendiri apa yang pernah kamu lakukan, kamu juga tidak usah datang ke aku dengan pura-pura punya perasaan mendalam seperti itu, aku merasa jijik, setelah hari ini, jangan pernah kamu muncul di hadapanku lagi!”

“Menurut kamu aku lagi pura-pura?”

Aku mengangkat kepala melihatnya, dengan kalimat yang sama persis seperti yang dia katakan dulu aku membalasnya : “Direktur Huang, tujuan kamu sudah berhasil, tidak usah akting lagi, aku hanya seorang cewek biasa, kamu sudah dapatin apa yang kamu mau, tolong kamu beri ampun dan lepasin aku.”

“Jane, kamu benaran pikir aku seperti itu?”

Suaranya tiba-tiba jadi keras, ekspresi tidak percaya dari matanya membuat aku jadi ragu, tapi dengan cepat aku sadar kembali, aku tertawa acuh tak acuh : “Bukannya waktu itu kamu memang——uummmm——“

Belum selesai aku ngomong, dia mendadak menarik aku ke dekatnya dan mencium bibirku.

Secara refleks aku meronta, tapi tenaganya terlalu kuat, meskipun lagi sakit, tenaganya tetap lebih kuat dari aku.

Akhirnya aku lebih baik merapatkan mulut, tidak peduli seberapa dia berusaha, tidak akan kubuka.

Tidak tahu berapa lama kemudian, akhirnya dia menyerah dan melepaskanku.

Aku mengangkat tangan dan langsung mendaratkan satu tamparan tanpa berpikir banyak, “Timothy, kamu anggap aku tuh apa? Mainan? Yang bisa kamu mainin pas lagi ingin?”

Aku mengusap-ngusap bibirku pakai tangan, “Kelihatannya kamu sudah sehat sekali, Victor ada di rumah, aku temani dia saja.”

Selesai berkata, tanpa ragu-ragu aku membalikkan badan dan berniat pergi.

Baru saja tanganku memegang kenop pintu, pinggangku dipeluk erat sama dia, dengan erat sekali, seolah-olah sampai mau memasukkan aku ke dalam tubuhnya.

Dagunya menyangga di pundakku, suaranya yang biasanya kaku dan cuek itu malah jadi agak gemetaran : “Jangan pergi, Jane.”

Novel Terkait

Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Kisah Si Dewa Perang

Kisah Si Dewa Perang

Daron Jay
Serangan Balik
3 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Awesome Guy

Awesome Guy

Robin
Perkotaan
3 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
The Winner Of Your Heart

The Winner Of Your Heart

Shinta
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu