Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 119 Aku Tidak Akan Menikah Dengan Nicole

Keterlaluan sekali, dia tahu kelemahan aku, sehingga lagi dan lagi dia mengontrol aku.

“Jane, maaf.”

Aku menatapnya, banyak sekali yang ingin kukatakan tapi tak bisa.

Air mukanya tidak enak dilihat sekali, di saat begini aku mana ada mood buat berdebat siapa salah dan siapa benar.

Sambil memendam perasaanku, aku mengikuti dokter masuk ke ruang pemeriksaan.

Kain kasa yang penuh darah sedang dibuka lilitannya oleh suster, mendadak Timothy mengangkat tangannya untuk menutup mataku.

Aku mengangkat tanganku menurunkan tangannya, dia menoleh ke aku, dengan penuh minta tolong dari kedua matanya dia berkata : “Kamu jangan lihat.”

Tidak tahu apakah karena sakit, pas mengatakannya suara Timothy berat sekali, seolah-olah lagi menahan sesuatu.

Aku selalu tidak tahan dengan pandangan matanya, selalu membuat baper, pas minta tolong juga langsung tampak kasihan banget begitu.

Seperti sekarang ini.

Menyebalkan sekali.

Aku lempar pandanganku ke tempat lain, termasuk buat kabulin permintaan dia untuk tidak melihat.

Tapi tangannya tetap belum turun, tetap masih menghalangi mataku.

Suster bilang lukanya memang terinfeksi, harus di obati ulang.

Timothy hanya berdehem pertanda iya.

Aku tatap tangannya yang menutup pandanganku, tidak tahu apa aku salah lihat atau tidak, aku menyadari tangan Timothy lagi gemetar.

Aku benar-benar tidak tahan, kuturunin lagi tangan : “Tidak usah tutupin lagi, aku pejamin mata saja.”

Sambil berkata aku langsung memejamkan mata.

Setelah menutup mata, pendengaran bakal lebih peka lagi.

Suara desis kesakitan Timothy tidak keras, tapi aku mendengarnya.

Aku tahu dia merasa sakit, di detik itu juga aku merasa aku juga sakit, hatiku sakit.

Hampir 20 menit baru lukanya selesai dibalut kembali.

Tapi karena Timothy lagi demam, jadi harus diinfus sebentar, kalau tidak, demamnya semakin parah malah repot jadinya.

Baru saja aku selesai membayar, telepon dari Mike masuk.

Aku jelasin keadaan Timothy, dan Mike bilang Victor masih tidur dengan anteng.

Setelah itu kami berdua diam sejenak, kejadian malam ini memang di luar dugaan, dan juga agak canggung jadinya.

Aku tahu perasaan Mike ke aku, tapi aku sekarang malah minta dia bantu jagain Victor, sedangkan aku bawa Timothy ke rumah sakit.

Kedengarannya memang tidak masalah, tapi kalau aku itu Mike, aku pasti bakal benci banget sama diriku sendiri.

Akhirnya aku tidak tahan lagi, aku membuka mulut duluan : “Mike.”

“Iya kenapa?”

“Maaf, hari ini——“

Belum selesai aku ngomong, Mike langsung memotong : “Jane, aku sudah pernah bilang, aku senang bisa bantuin kamu, kamu tidak usah selalu bilang maaf dan terima kasih.”

Aku menghela napas, “Okelah, aku juga tidak tahu malam ini bakal pulang jam berapa, titipin Victor dulu ya.”

“Tidak apa, tunggu demam Direktur Huang sudah sembuh baru menjelaskannya lagi.”

Setelah menutup telepon aku menarik napas dalam-dalam.

Malam ini, rasa bersalahku sama Mike semakin bertambah.

Aku kembali ke kamar pasien, kulihat Timothy mau keluar sambil membawa infus.

Melihat dia gerak sembarangan begitu, aku langsung marah : “Ngapain kamu!”

Satu tangan sudah terluka, satunya lagi bawa infus, masih saja sembaranga begitu.

Dia malah tidak melawan, membiarkan aku menggantung kembali infus itu, dia juga dengan patuhnya kembali berbaring di ranjang : “Aku kira kamu sudah pergi.”

Perkataan Timothy membuat tanganku berhenti bergerak, aku letakkan tasku dan menoleh lalu tertawa dingin : “Tolong Direktur Lu jangan mikir semua orang itu berdarah dingin kayak kamu sendiri.”

Dia menatapku tanpa bersuara.

Suasana di ruangan jadi agak mencekam, aku keluarkan handphoneku.

Setelah berdiam agak lama, Timothy mendadak memanggilku : “Jane.”

Aku menengadahkan kepala menatapnya : “Ada apa?”

“Apakah kamu akan menikah dengan Mike?”

Aku tidak menyangka dia bakal tiba-tiba menanyakan ini, lebih tidak tahu lagi bagaimana menjelaskkan perasaanku saat mendengar pertanyaan ini.

Aku menatapnya sebentar, agak lama kemudian baru menjawab tanpa ekspresi : “Bukan urusanmu.”

“Aku tidak akan menikah dengan Nicole.”

Tanpa lanjut bertanya dia mendadak berkata seperti itu.

Perkataannya ini membuat aku agak tidak terkontrol, aku tersenta sampai handphone yang kupegang hampir jatuh ke bawah.

Tapi dengan cepat, aku menenangkan diri : “Bukan urusanku.”

Kayaknya dia terpukul oleh sikap cuekku, Timothy tidak ngomong lagi setelah itu.

Biasanya jam segini aku sudah tidur, tapi teringat Timothy lagi diinfus, aku terpaksa berusaha untuk tidak tidur.

Dalam ruangan ini sepi sekali, tambah lagi mesin penghangatnya, kepalaku terkantuk-kantuk, akhirnya aku pun ketiduran.

“Jane?”

Dalam keadaan setengah sadar, Timothy menyentuh aku.

Aku kaget, pas baru sadar aku menyipitkan mata mellihatnya : “Apakah kamu kesakitan?”

Dia menggeleng : “Kalau kamu ngantuk, tidur ke atas sini saja.”

Sambil berkata dia agak menggeser, padahal cuma ranjang berukuran 1.2 meter, dia masih maksain buat luangain satu tempat.

Aku langsung sadar total, kutatap dia : “Timothy kamu memang demam, tapi tidak sampai merusak otakmu juga ya, kita sudah cerai.”

Air mukanya agak suram, aku mengangkat kepala melihat sekilas ke infusnya, baru nyadar ternyata sudah diganti dengan yang baru.

Aku mengernyitkan alis : “Suster sudah ganti infus?”

“Iya.”

Dia menjawab cuek.

Aku menundukkan kepala melihat handphone, sekali lihat baru nyadar sudah jam 1 subuh, ternyata aku sudah tidur 1 jam lebih dengan membungkuk di tepi ranjang?

Padahal awalnya pikir mau bantu Timothy jagain infus, aku malah ketiduran, dan malah dia yang jaga sendiri.

Kepikiran ini jadi buat aku agak tidak enak : “Kamu tidur saja, kali ini aku bantu kamu lihatin infus.”

“Tidak bisa tidur.”

“Lukanya sakit?”

Dia tidak bilang iya, juga tidak bilang tidak.

Tapi aku tahu, pasti karena lukanya sakit.

Pandanganku jatuh ke lengannya, sayangnya tadi pas dibalut aku tidak lihat, sekarang sudah ditutupi sama lengan baju, jadi tidak kelihat apa-apa.

“Lenganmu kenapa bisa luka, luka pisau lagi?”

Aku melayangkan pandanganku ke tempat lain, berpura-pura seolah-olah cuma gak sengaja nanya.

Timothy menatap aku, mungkin karena lagi sakit, satu wajahnya kelihatan tidak begitu segar : “Ini kamu lagi perhatian sama aku Jane?”

Perkataan dia membuat aku membeku, rasanya aku benar-benar kesurupan, baru bisa tanyain pertanyaan seperti ini.

Aku mengalihkan pandanganku, “Kalau tidak mau mengatakannya ya sudahlah.”

Kalau dulu, dia pasti bakal lanjut menjawab lagi.

Tapi sekarang, dia mendadak langsung diam.

Aku juga tidak jelas kenapa, diamnya Timothy yang mendadak ini membuat hatiku emosi, tidak nyaman sekali.

Aku menatapnya sekilas : “Aku keluar sebentar.”

“Jane——“

Dia memanggilku di belakang, namun aku langsung keluar tanpa menoleh.

Kalau dia tidak mau cerita, bakal ada seseorang yang cerita, misalnya Irfan.

Novel Terkait

Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Dipungut Oleh CEO Arogan

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
5 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Terlarang

Cinta Yang Terlarang

Minnie
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cantik Terlihat Jelek

Cantik Terlihat Jelek

Sherin
Dikasihi
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
5 tahun yang lalu
Menunggumu Kembali

Menunggumu Kembali

Novan
Menantu
5 tahun yang lalu