Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 150 Selamat pagi Jane

“Maaf.”

Jempol dia mendarat di wajahku, seperti mendarat di hatiku.

Aku mengerjapkan mata, lalu mengalihkan pandangan : “Sebenarnya ada apa soal kecelakaan kamu itu?”

“Ada beberapa orang di keluarga Huang yang sudah hampir gila kena aku, jadi mulai berbuat sesuatu.”

Semuanya panik.

Aku kira-kira mengerti : “Kaki kamu——“

“Kaki aku tidak apa-apa, sebelum kecelakaan aku sudah menduga, jadi bisa menghindar, meskipun pada akhirnya tetap ketabrak, tapi tidak luka terlalu parah.”

“Tangan kamu?”

“Lecet saja.”

“Aku tidak percaya, tadi kamu——“

“Jane, sebenarnya kamu masih mencintai aku, aku tahu.”

Dia berkata dengan begitu yakin, kalau aku menyangkal lagi bakal kelihatan tidak masuk akal lagi.

Aku tidak menjawab, dalam hatiku masih memikirkan kecelakaan dia : “Kamu gak ke rumah sakit, benaran gak apa-apa?”

“Tidak.”

Begitu jelas dan tegas, tapi membuat aku tercengang : “Kalau begitu kamu buruan——“ Setelah mikir-mikir, aku merasa tidak benar, kuubah ucapanku : “Bukannya ada dokter pribadi? Kenapa kamu tidak suruh dokter pribadi datang, sekarang kamu seperti ini lagi, mana boleh!”

Aku benar-benar emosi kena dia, masih ingin mengatakan sesuatu, tapi dia malah menarik tangan aku : “Dokter tak bisa menangani, Jane, masalah aku, dokter tak bisa menangani.”

Dia menatap aku, ekspresi dari sorotan matanya begitu serius, aku cuma merasa pikiranku jadi kosong.

Apa maksudnya tak bisa ditangani?

Bagaimana mungkin tak bisa menangani?

“Timothy, kamu percaya sama aku, pasti bisa ditangani, asalkan kamu tidak menyerah, kamu——“

“Tidak, kalau pun aku tidak menyerah, juga tak bisa ditangani!”

Perkataan dia membuat air mataku yang susah payah aku tahan itu meledak, tadi pas tahu dia tidak terluka parah aku sangat senang. Tapi sekarang aku malah mendengar dia bilang, masalah dia tak bisa disembuhin.

“Kenapa?”

Bagaimana mungkin tidak bisa disembuhin!

Dia mengangkat tangan mengusap air mataku : “Karena sakit hati ini cuma kamu yang bisa sembuhin.”

Sambil berkata Timothy menarik aku ke dalam pelukannya.

Mendengar perkataan dia, aku baru sadar sudah dipermainkan sama dia.

Aku lepaskan tangannya, tapi malah di cengkram erat sama dia : “Jane, jangan dorong aku lagi.”

Dia memeluk aku dengan erat, dagunya menyangga di pundakku, tidak ada lagi dingin dan cuek yang ada biasanya. Malah mirip seorang anak kecil, setiap perkataannya penuh dengan permohonan.

Pelukan dia erat sekali, sekujur badanku seperti dibungkus rapat oleh dia, aku sama sekali tidak tahu harus bagaimana.

Tidak berapa lama kemudian, rasionalku kembali : “Kamu lepasin aku dulu.”

Akhirnya dia melepaskan tangannya, segera aku menjauh, lalu mundur beberapa langkah.

Dia melihat aku sekilas, tidak mengatakan apa-apa, sambil mendorong kursi rodanya sendiri dia pergi membuka pintu.

Di saat aku tidak mengerti, ada dua orang datang mengantarkan makanan ke meja kecil di samping.

Di saat ini aku baru tahu ternyata ada yang mengtuk pintu, pantas saja tadi Timothy lepasin aku.

Timothy bilang sebenarnya dia tidak gimana terluka, tapi melihat dia di perban begitu, aku merasa ngeri.

Terakhir karena aku memohon terus, akhirnya Timothy memperlihatkan lukanya ke aku.

“Ini yang kamu bilang luka kecil?”

Aku tatap luka besar itu, baru juga lihat sebentar, mata aku sudah sakit rasanya.

“Lagian juga tidak kena tulang yang di dalam.”

Dia malah tidak peduli sama sekali, mendengar perkataan dia aku semakin emosi.

Pas malam Mike telepon aku tanyain Timothy kenapa, refleks aku melihat dia, dia menggeleng-geleng ke aku, lalu berkata dengan suara kecil : “Bilang ke dia, aku masih tak sadarkan diri.”

Aku tahu alasan Timothy berhati-hati, meskipun merasa bersalah sama Mike bohongin dia begini. Tapi demi keamanan Timothy, aku tetap bohong.

Setelah menutup telepon, aku menyadari masalah ini tidak sederhana : “Keadaan kamu sekarang bahaya sekali ya?”

Tak bisa ke rumah sakit, harus pura-pura terluka parah, bahkan sudah sadar apa belum juga tak boleh ketahuan orang lain, semua kabar dirahasiain.

Dia sembunyiin dengan rapat, kelihatan sekali kali ini keluarga Lu bukan tidak main-main.

Tapi Timothy tidak ingin banyak ngomong : “Kamu jangan khawatir, tidak akan ada masalah kok.”

Melihat dia sampai sekarang masih juga main rahasia-rahasia, aku pun emosi jadinya : “Kalau kamu memang tidak apa-apa, besok aku pulang.”

“Tidak boleh!”

Mendengar perkataan aku, air muka dia langsung dingin.

Aku menatap dia dan tertawa dingin : “Kenapa, bukannya kamu bilang tak usah khawatir? Tidak enak selalu menyerahkan Victor ke Mike, aku mau pulang jagain Victor.”

Mendadak dia terdiam : “Jane, kamu tunggu dulu, jangan keras kepala.”

Sambil berkata, tiba-tiba tangannya mengusap kepala aku.

Aku melihatnya sekilas, kukeluarkan pakaian yang tadi dia suruh orang beli lalu masuk ke toilet.

Dari sejak aku mendengar kabar Timothy kecelakaan, selama enam jam ini, kepala aku rasanya berat sekali.

Setelah mandi air panas, aku baru menyadari aku capek sekali, apalagi selama dua bulan terakhir aku lagi sibuk projek aku, dengan susah payah akhirnya sekarang sudah selesai, dan aku sudah berencana untuk menyantaikan diri, tapi ujung-ujung malah dengar kabar Timothy kecelakaan.

Pas keluar aku menguap terus, Timothy menatap aku, seperti tidak tega : “Kamu istirahat dulu saja, beberapa hari lagi, tunggu semua urusan sudah selesai, aku ikut kamu pulang ke kota D.”

Hatiku sekarang kacau sekali, aku tak menyangka kegegabahanku datang ke kota A ini, membuat hubungan aku dan Timothy jadi begini.

Meskipun dia mengakui kesalahannya, tapi aku tidak bercanda kalau bilang aku takut sama dia.”

Sampai sekarang aku masih tidak tahu di antara kami berdua, mana yang serius dan mana yang pura-pura.

Aku tidak merasa nyaman, juga kepercayaan yang kurang, sebenarnya aku dan Timothy tidak seharusnya bersatu kembali.

Sambil memikirkan bermacam-macam kekacauan ini, aku pun tidak tahu kapan aku tertidur.

Mungkin karena semalam aku tidurnya awal, keesokan harinya pas aku bangun baru sadar aku lagi dipeluk Timothy.

Hari sudah pagi, tapi gorden masih tertutup rapat, cahaya di dalam ruangan agak remang-remang.

Aku mengangkat kepala melihat dia, wajah yang familiar itu dekat sekali di depan aku, dia tertidur lelap, dia sama sekali tidak sadar aku lihatin seperti ini.

Jelas-jelas ini pagi yang tenang sekali, tapi hatiku malah ketak ketuk tidak jelas.

Mungkin karena semalam buru-buru, jadinya aku lumayan capek, tanpa disadari aku tertidur lagi.

Ketika aku bangun lagi, Timothy sudah terduduk di atas kursi roda, dia lagi telepon dengan suara yang sengaja dikecilin, mungkin karena takut membangunkan aku.

Aku bangkit sambil menahan di ranjang, melihat dia yang lagi menelepon tidak jauh di sana, tiba-tiba merasa seperti kembali lagi masa-masa aku baru menikah dengan Timothy.

Sepertinya dia menyadari aku lagi memandanginya, mendadak dia menoleh melihat aku.

Aku termangu, refleks aku mengalihkan pandangan, tapi tiba-tiba kulihat dia tertawa ke aku , lalu datang mendekat sambil masih memegang handphonenya, kemudian menundukkan kepala mencium aku : “Selamat pagi, Jane.”

Novel Terkait

Sang Pendosa

Sang Pendosa

Doni
Adventure
5 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
Menantu Bodoh yang Hebat

Menantu Bodoh yang Hebat

Brandon Li
Karir
4 tahun yang lalu
Love Is A War Zone

Love Is A War Zone

Qing Qing
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Everything i know about love

Everything i know about love

Shinta Charity
Cerpen
5 tahun yang lalu
My Goddes

My Goddes

Riski saputro
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
5 tahun yang lalu