Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 107 Manusia Itu Mulia Karena Tahu Keterbatasan Dirinya Sendiri

Pandangan mata dia seolah-olah bisa menembus, sampai membuat aku gemetar.

Melihat aku tidak bergerak, Timothy tiba-tiba turun dari ranjang, mendekati aku dan mau mengusap wajahku : “Jane, jangan-jangan kamu takut kalau kamu masih mencintai——“

“Praaakkk!”

Aku marah sampai gemetaran, langsung kuangkat tanganku dan mendaratkan satu tamparan : “Timothy, manusia itu mulia karena mengetahui keterbatasan dirinya sendiri, sayangnya kamu tidak!”

Selesai berkata aku tidak mengindahkannya lagi dan langsung berlari keluar.

Beberapa hari ini salju lagi mencair, pepatah mengatakan turun salju tidak dingin, salju mencairlah yang dingin.

Aku berdiri di depan rumah sakit, padahal cahaya matahari ada di atas kepalaku, tapi belum pernah aku merasa sedingin ini.

Sudah dua tahun, Timothy masih tetap begitu keji!

Bagaimana bisa! Bagaimana bisa dia semudah itu mengatakan perkataan seperti itu!

Aku kira hatiku tidak akan sakit lagi, tapi sekarang, sekali lagi dia disakiti oleh Timothy.

Teringat satu jam yang lalu aku malah masih perhatian sama dia, aku merasa sungguh bodoh sekali.

Karena tidak ingin berlama-lama di sini lagi, aku mengulurkan tangan menghentikan sebuah taksi dan pulang ke rumah.

Taksi itu mulai menjauh, aku teringat hari-hari bersama Timothy dua tahun yang lalu, benar-benar tidak mengerti kenapa sekarang bisa menjadi seperti ini.

“Nona, sudah sampai.”

Panggilan si supir membuyarkan lamunanku, segera aku membayar dan turun dari taksi, hawa dingin meniup wajahku, dalam sekejap aku sadar.

Aku lagi mikirin apa?

Aku masih mikirin apa?

Baru saja aku rasanya ingin menampar diriku sendiri, handphone di tasku berbunyi.

Ternyata dari Mike.

Saat ini aku baru sadar, aku sudah sibuk selama dua jam di rumah sakit.

“Mike?”

“Kamu masih di rumah sakit?”

Tidak terdengar suara Victor, mungkin Victor sudah ketiduran.

“Aku sudah di bawah.”

Aku menempelkan sidik jari, masuk dan memencet lift : “Lagi nungguin lift,”

Mike tidak mengatakan apa-apa lagi, dia matiin telepon setelah menjawab oke.

Dan lift juga pas berhenti, aku melangkahkan kaki masuk, sampai di dalam aku melihat cerminan diriku sendiri, wajah yang pucat, rambut yang berantakan......

Karena tidak ingin Mike menjadi khawatir, aku merapikan diri dulu baru masuk ke rumah.

“Victor sudah tidur?”

Mike menyodorkan segelas air hangat : “Sudah, baik-baik saja kan?”

Aku menggeleng, berusaha untuk rileks : “Baik kok, emang aku bakal kenapa.”

Tanpa berkata apa-apa Mike menatapku lurus.

Aku tidak mengerti, kenapa mereka selalu suka melihat aku seperti ini, pandangan mata yang tidak bisa aku tebat, aku benar-benar tidak bisa menerima.

Aku mengalihkan pandanganku : “Malam mau makan apa?”

“hotpot, biar praktis.”

Aku mengangguk-angguk, lagian juga memang aku sudah tidak mood buat masak yang rumit, aku masuk kedapur dan mulai mencuci sayur.

Mike masuk dan ikut membantu, namun aku menyuruhnya keluar dan dia tetap diam : “Timothy nyusahin kamu?”

Sambil mencuci sayur dia menanyai aku.

Aku tidak berani menatapnya, kukeluarkan kuah ayam yang kemarin : “Tidak.”

“Kayaknya dia akhir-akhir ini selalu di kota D.”

Perkataan Mike membuat tanganku tersentak, hampir menumpahkan kuah itu.

Aku tidak tahu Timothy mau ngapain, sesuatu yang tak bisa kutebak ini memberikan feeling buruk.

“Jane.”

Mendadak Mike mengulurkan tangan memegang tanganku, aku termangu, saat ini aku baru sadar kuah itu aku tuang kepenuhan sampai tumpah keluar.

Aku agak tersipu, dia mengambil panci yang lagi aku pegang : “Sini aku saja, kamu duduk saja dulu.”

“Mike, aku——“

Aku menengadahkan kepala melihatnya, tampak ketegasan dari matanya, karena hati aku sekarang juga tidak konsentrasi, akhirnya aku mengangguk dan duduk di sofa.

“Ini minum air hangatnya.”

Baru saja aku keluar, Mike membawakan segelas air hangat.

Aku menerimanya, jari yang dingin barulah menjadi agak hangat : “Terima kasih.”

Dia menatapku sejenak lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

“Jane.”

Baru saja aku menggendong Victor keluar, Mike memanggil aku.

Aku melihatnya lalu duduk di sofa : “Kamu mau ngomong apa?”

Dia memandangi aku : “Bagaimana perasaan kamu ke Timothy sekarang?”

Pertanyaannya sudah aku duga, tapi juga di luar dugaan aku, membuat aku susah untuk menjawabnya.

Aku mengangkat tangan menutup wajahku, hanya dengan begini aku baru berani menjawab pertanyaan ini : “Tidak boleh dicintai, tapi juga tidak bisa melupakan.”

Aku mengira Mike akan mengatakan sesuatu lagi, ternyata dia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya mengulurkan tangan mengusap kepalaku : “Baik-baik merubahnya.”

Sambil berkata dia bangkit berdiri.

Otomatis aku langsung ikut berdiri, melihat punggungnya tiba-tiba membuat aku merasa agak lengang.

“Mike!”

Aku tak bisa menahan diri untuk memanggilnya.

Dia menoleh melihatku, “Ada apa?”

Aku menggeleng, rasanya ingin menangis : “Maaf.”

Dia terdiam sebentar, “Tidak apa-apa, sudah malam, istirahatlah, selamat malam.”

Selesai berkata dia membuka pintu dan pergi.

Setelah Mike pergi, akhirnya aku tidak bisa menahan tangisku lagi.

Jelas-jelas, jelas-jelas dia begitu baik sama aku, kenapa hatiku tidak tergerak?”

Terkadang cinta itu sungguh membuat masalah.

Tanpa peraturan, tanpa alasan.

Malam itu aku memimpikan Timothy, sudah lama sekali aku tidak mimpiin dia, selain pas aku ke kota A untuk memberikan kalung ke dia.

Aku mimpiin dia di perayaan ulang tahun ayahnya, dia berlutut melamar aku, dia berkata : Melamar adalah sesuatu yang sewajarnya dilakukan seorang cowok.

Sehingga dia melamar aku.

“Aku bersedia——“

Setelah bangun dengan terkejut, aku baru sadar ini hanya mimpi.

Mungkin itu bukan mimpi, itu nyata, terjadi di tiga tahun yang lalu.

Terlalu nyata, tapi sekarang baru tahu, itu hanya pura-pura, semuanya hanya skenario yang diatur oleh Timothy.

Dia akting semaksimal dia, dan aku sama sekali tidak tahu apa-apa.

Victor yang di ranjang bayi sedang tertidur nyenyak, cahaya lampu yang hangat menyinari wajahnya, dia tumbuh besar hari demi hari, aku tahu, suatu hari Timothy akan tahu Victor itu anaknya.

Hanya saja sekali kepikiran ini, sekujur badanku jadi membeku dan dingin.

Aku menatap Victor yang di ranjang bayi, senantiasa mengkhawatirkan itu.

Perkataan Mike membuatku takut nanti kapan hari bakal ketemu sama Timothy, demi menghindari ketemu sama dia aku bahkan menjadi jarang keluar rumah, tapi meskipun sudah begitu, aku masih tetap tidak bisa menghindar dari dia.

Dua hari yang lalu Mike pergi ke luar kota, untuk mengikuti rapat proyeknya, sebagai kepala penanggung jawab, mau tak mau dia harus pergi.

Tapi sudah sampai waktunya Victor imunisasi, sehingga aku sendiri yang membawa Victor pergi.

Kota D di akhir bulan maret sudah tidak terlalu dingin, tapi daya tahan tubuh anak kecil lebih rendah, jadi aku tetap membungkus Victor dengan tebal.

Sudah setengah bulan berlalu sejak terakhir kali aku ketemu Timothy di rumah sakit, kali ini masuk ke rumah sakit pun hati aku agak was-was.

Setelah keluar dari rumah sakit dan naik taksi baru aku bernapas lega, karena tidak ketemu dia.

Victor yang habis diimunisasi mengamati sekeliling dengan bola mata bulat hitamnya, seketika hatiku jadi tenang.

Baru saja aku berjalan dua langkah sejak turun dari taksi dengan mengendong Victor, aku mendengar suara Timothy dari belakang : “Jane.”

Novel Terkait

 Istri Pengkhianat

Istri Pengkhianat

Subardi
18+
4 tahun yang lalu
Evan's Life As Son-in-law

Evan's Life As Son-in-law

Alexia
Raja Tentara
4 tahun yang lalu
King Of Red Sea

King Of Red Sea

Hideo Takashi
Pertikaian
4 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
4 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
4 tahun yang lalu
Pernikahan Kontrak

Pernikahan Kontrak

Jenny
Percintaan
5 tahun yang lalu
Someday Unexpected Love

Someday Unexpected Love

Alexander
Pernikahan
5 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu