Jika bertemu lagi, aku akan melupakanmu - Bab 134 Segitu Tak Sabarnya Kamu Mau Pergi Dari Aku

Dia menundukkan kepala melihatku, dari matanya tampak memohon banget yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Dalam sekejap hatiku meleleh.

“Timothy, aku——“

Baru saja aku ingin buka mulut, mendadak handphone di tasku berbunyi.

Aku termangu dan baru nyadar handphoneku bunyi, kudorong dia lalu dengan agak kelabakan aku keluarkan handphone : “Aku angkat telepon dulu.”

Kali ini dia tidak menghalangi aku lagi, tapi juga tidak pergi, dia cuma bersandar di dinding sambil merokok dan lihatin aku angkat telepon.

Pandangannya yang menyala-nyala begitu membuat aku tidak tahan, sambil telepon aku terus maju ke depan sampai kira-kira 10 meter jauhnya baru aku berhenti : “Kakak?”

“Kamu telepon ke aku, ada apa?”

Nada bicara Cedric kedengaran panik sekali, aku tahu pasti karena lihat banyaknya panggilan tak terjawab dari aku, segera aku menjelaskan : “Tidak apa-apa, Victor agak demam, Timothy sudah antarin ke rumah sakit.”

“Victor baik-baik saja kan sekarang?”

“Tidak apa-apa, kamu sibuk saja dulu, aku sudah tidak masalah di sini.”

“Jane, panggilan pertama kamu sebenarnya mau ngomong apa?”

Mau tak mau harus diakui, Cedric benar-benar memahami aku, sebelumnya aku total menelepon dia tiga kali.

Telepon pertama aku ingin dia bawa aku pulang ke kota D, telepon kedua dan ketiga ingin bilang kalalu Victor sakit, minta tolong dia bawa kami ke rumah sakit.

Telepon pertama dan kedua selang dua puluhan menit, tak heran kalau Cedric bisa tebak tiga panggilan ini bukan benar-benar karena persoalan yang sama.

Aku membasahi bibir dan akhirnya jujur : “Aku awalnya mau minta kamu bantu aku pulang ke kota D, tapi sekarang Victor lagi sakit, jadi.......”

“Oke oke, besok aku ke rumah sakit.”

Baru saja aku mau bilang tak usa repot, dia malah sudah buat keputusan bulat : “Sudah, gak usah banyak nolak, sudah malam, kamu jangan tidur kemalaman.”

Aku tahu aku tidak bisa membantahi Cedric, akhirnya aku cuma bisa menjawab dengan tak berdaya : “Okelah.”

Baru saja telepon ditutup, tak tahu sejak kapan Timothy sudah ada di belakangku.

Dia mengulurkan tangan menarikku : “Jane, segitu tak sabarnya kah kamu mau pergi dari aku?”

Dia menatapku, ekspresi yang agak marah itu tampak bercampur aduk dengan sakit hati, hatiku terasa tertusuk oleh sesuatu, rasanya sakit sekali.

Perkataan dia tadi masih terngiang-ngiang di telingaku, mau tak mau kuakui, sebenarnya tadi hatiku sempat tergerak.

Dia tanya apakah aku masih bisa kasih dia satu kesempatan lagi, sikap dia yang begitu tulus itu membuat aku tidak tahu harus bagaimana memilih.

Telepon dari Cedric akhirnya menarik aku kembali ke kenyataan, aku juga akhirnya sadar betapa kekanak-kanakan dan lucunya pemikiran aku tadi, sekarang sekali sudah tenang hatiku jadi lebih dingin.

Tanpa berekspresi aku menatap Timothy : “Baguslah kalau kamu tahu, sejak kamu muncul di hidup aku lagi, kehidupan aku sama Victor langsung kacau.”

Dia menganga, aku mengira dia akan langsung membantah aku seperti dulu.

Tapi kali ini dia tidak bersuara, melainkan hanya menarik sudut mulutnya dan berusaha menampilan senyuman : “Yah, kamu benar Jane.”

Kamu benar Jane.

Tidak tahu kenapa, aku ada satu feeling kalau kali ini Timothy benar-benar tidak mau aku lagi.

Dia menundukkan kepala menatapku dalam-dalam, lalu membalikkan badan pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Melihatnya dari belakang begini membuat hatiku terasa dicekam oleh sesuatu, segera aku lari dan menariknya berhenti.

Dia menoleh melihat aku dengan wajah dingin : “Ada apa lagi?”

Aku termangu, ingin ngomong sesuatu, tapi tidak tahu aku harus ngomongin apa.

Melihat aku lama tidak bersuara, akhirnya Timothy menepis tanganku yang lagi menarik lengannya, tanpa mengatakan apa-apa juga dia pergi.

Aku terdiam di situ, perasaanku mengatakan aku tidak boleh membiarkannya pergi, tapi secara logika aku tidak bisa melangkah mengejar.

Sebenarnya kayak begini juga lumayan baik, bukankah aku selalu ingin menjaga jarak dan menentukan hubungan jelas antara aku dan Timothy?

Sekarang dia sudah pergi, apa yang aku inginkan sudah jadi kenyataan, bukankah bagus?

Iya, bagus, tapi tidak tahu kenapa aku malah menangis.

Aku juga tidak tahu berapa lama aku berdiri di luar, sampai aku mendengar suara suster yang datang, barulah aku segera hapus air mataku dan kembali ke kamar pasien.

Victor masih tertidur, aku mengangkat tanganku mengusap keningnya, sudah tidak sepanas tadi siang, tapi masih belum sembuh total demamnya.

Semalaman aku menjaga Victor, tidak gimana tidur.

“Jane.”

Pas Cedric datang dan masuk ke ruangan aku masih tertidur sambil membungkuk di tepi ranjang.

Mendengar suara dia baru aku terjaga dari tidur, sambil setengah memicingkan mata melihatnya aku baru merespon, “Pagi amat datangnya.”

Cedric mengangguk-angguk dan datang mendekat, ia mengusap Victor : “Masih demam?”

“Dua jam yang lalu aku baru tes suhu tubuhnya, 38 derajat, masih agak panas, sekarang belum tahu deh.”

Sambil berkata aku menempelkan tanganku ke badannya : “Masih agak panas.”

Cedric meletakkan bubur yang dibawanya : “Dokter bilang apa?”

“Dokter bilang Victor radang tenggorokan, jadi beberapa hari ini gak kasih minum susu, panas dalam.”

“Gak parah kan?”

Aku menggeleng : “Sudah diperiksa, gak parah kok.”

Dia mengangguk : “Kamu mandi dulu terus sarapan sedikit.”

Aku memang agak lapas, tanpa ngomong lagi aku toilet buat mandi.

Semalam semalaman aku cemasin Victor, setiap dua jam aku tes suhu tubuh Victor, jadi tidurku cuma setengah jam terus bangun dan seterusnya. Sekarang pas mengaca mata pandaku langsung nampak sekali.

Pas aku keluar Victor sudah bangun, Cedric lagi menggendongnya sambil suapin bubur.

Segera aku mendekat : “Sini aku saja.”

Dia mengangkat kepala melihatku tanpa bermaksud melepaskan Victor : “Kamu juga makan saja, pagi ini aku tidak ada urusan, jadi bisa rawat Victor, apa kamu mau ke hotel di seberang situ buat tidur sebentar?”

Aku menggeleng : “Gak usah, demam Victor masih belum sembuh total, aku pun gak bisa lelap tidurnya.”

Memang aku tak bisa tidur, tapi bukan cuma karena demam Victor yang naik turun, juga karena perkataan Timothy semalam.

Dia bilang aku menghindar, memang kelemahan aku itu menghindar dari masalah.

Pepatah mengatakan manusia sekali digigit ular, sama tali pun bakal takut selama sepuluh tahun, dan juga tidak terkecuali aku.

Ingin sekali aku memaafkannya, tapi aku juga takut ada mengulang kejadian yang sama lagi.

Tapi tampak belakang dia yang meninggalkan aku kemarin, begitu kesepian dan lengang sampai hatiku tak tahan.

Sebenarnya kali ini tidak seharusnya aku ke kota A sini, Timothy tanya apa ada sedikit kemungkinan alasan kalau aku datang ke kota A itu karena dia.

Aku bilang tidak ada, tapi hanya aku sendiri yang tahu, sebenarnya ada sedikit.

Aku ingin tahu apakah terjadi sesuatu selama beberapa waktu ini dia menghilang.

“Kamu rencananya kapan mau pulang ke kota D?”

Novel Terkait

My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu

Cinta Yang Tak Biasa

Wennie
Dimanja
4 tahun yang lalu

Dipungut Oleh CEO Arogan

Bella
Dikasihi
5 tahun yang lalu

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
5 tahun yang lalu

Si Menantu Dokter

Hendy Zhang
Menantu
4 tahun yang lalu

Precious Moment

Louise Lee
CEO
4 tahun yang lalu

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu