Chasing Your Heart - Bab 250 Hampir Merenggut Nyawa

"Kapan aku bisa meminjam nomor platmu? Aku akan menikmati kesenangan balap liar di pusat kota." Tisno Wen memegang erat hand grip mobil dan memicingkan mata, memancarkan pesona nakal.

Arthur Sheng mencibir, "Coba saja kalau berani!" Sambil berbicara ia mengendalikan mobil ke sisi pinggir jalan, meninggalkan jarak hanya tiga sentimeter dari mobil lain sebelum melambung dengan mulus.

Tisno Wen tidak takut. Dia juga suka balap. Namun, di pusat kota seperti itu, jika tidak berhati-hati mereka bisa saja membunuh orang lain. Dia benar-benar tidak berani. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa daya. Sepertinya dia masih tidak senekat Arthur Sheng.

Mobil itu segera tiba di jalan utama pinggiran kota. Tidak ada mobil. Kecepatan Arthur Sheng hingga meningkat hingga 120 km/jam, dan masih meningkat. Sepuluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi.

"Mari kita lihat apakah aku memang sangat handal. Aku bahkan telah menemukan lokasinya untukmu, sehingga kamu tidak perlu khawatir."

Arthur Sheng memberinya tatapan kosong. "Lebih baik kamu pikirkan bagaimana cara untuk menemukan mereka, mereka yang telah tinggal bekerja untuk kita selama bertahun-tahun. Jika harus menunggu lama di desa sekecil ini, aku bisa saja tidak tahan dan membakar desa ini."

Tisno Wen juga tahu bahwa ini sangat mendesak. Dia mengeluarkan ponselnya untuk mencari lokasi. Tak lama kemudian mereka menemukan banyak "mayat" tergeletak di depan rumah tua itu.

Arthur Sheng menghampiri dan mengendus, "Masih hidup."

Itu bagus. Tisno Wen menghela napas lega dan meminta orang untuk membawa mereka kembali, lalu berjalan mengikuti langkah Arthur Sheng.

Tidak ada siapa-siapa, tapi ada jejak kehidupan di halaman, makanan yang tidak dihabiskan. Itu pasti Mega Shi. Mereka datang untuk menyampaikan berita.

Cahaya bulan akhirnya membentuk jalan zigzag dan menerangi sudut pintu. Arthur Sheng mengikuti jejak cahaya dan berhenti tepat di depan pintu, lalu membungkuk dan membaca isi kertas yang tertempel. Ada gambar sekumpulan orang, dan ada tulisan "Boom!"

Arthur Sheng mengerutkan kening. Apa artinya? Namun, dia langsung merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Ia perlahan-lahan menundukkan kepalanya, dan dengan cepat membelalak.

Tisno Wen juga tidak memperhatikan kakinya. Ketika dia berjalan mendatangi Arthur Sheng, dia mendengar teriakan, "Jangan bergerak!" Dia melihat ke bawah dan melihat garis putih perak di bawah kaki Arthur Sheng, bersinar dingin dalam pantulan cahaya bulan.

Mereka berdiri di kedua sisi dengan tenang. Arthur Sheng bisa mendengar detak jantungnya. Lalu terdengar suara menusuk di malam yang sunyi. Itu adalah suara kabel yang terbakar.

Tisno Wen tertegun sesaat dan dengan cepat menarik Arthur Sheng untuk lari. Namun, mereka pada akhirnya tidak mampu mengalahkan kecepatan api. Ketika dia melihat ke belakang, tersisa kurang dari setengah meter kabel yang belum terbakar, dan mereka masih beberapa meter dari pintu.

Dia mengumpulkan keberanian dan mendorong Arthur Sheng. Arthur Sheng tertegun sejenak hingga dia mendengar suara di belakangnya. Dia berhasil keluar dari gerbang, tapi Tisno Wen tidak.

Struktur rumah yang tua bongkah sudah remuk. Ditambah dengan dahsyatnya ledakan, seluruh bangunan runtuh seketika. Tisno Wen berusaha mengambil beberapa langkah terakhir, tetapi palang di gerbang runtuh dan menghantam dengan keras, meninggalkan awan debu dalam sekejap.

Tisno Wen masih di dalam. Arthur Sheng tak mampu berpikir lurus, dan pikirannya terus berputar, memikirkan bagaimana Tisno Wen mendorong dirinya sendiri. Ia secara spontan berlari ke posisi gerbang, dan mengulurkan tangannya ke arah kayu dan pecahan tembok yang terbakar. Dia menggali dengan putus asa, dan sudut matanya basah. Ini adalah saudaranya sendiri, sejak kecil hingga tumbuh dewasa, apakah persaudaraan mereka harus berakhir di sebuah gubuk tua?

Dia tidak mau, dia tidak bisa menerimanya. Dia menggali sepenuh tenaga, meskipun tangannya patah, melepuh, itu semua tidak masalah, selama dia masih hidup, Tisno Wen tidak bisa mati!

Akhirnya, dia melihat tubuh Tisno Wen tertekan di bawah tiang pintu, dan api masih menyala di atasnya. Untungnya, dia tertutup bongkahan dinding, dan tubuhnya tidak terbakar sama sekali.

Arthur Sheng berjalan dengan hati-hati dan mencoba memastikan bahwa Tisno Wen tidak terluka lagi. Setelah upaya kedua, dia mendorong balok pintu ke samping dengan seluruh kekuatannya.

“Tisno, bisakah kamu berdiri? Ayo cepat pergi. Kita tidak tahu berapa banyak bom yang mereka tanam. Semakin cepat semakin aman.” Arthur Sheng mencoba mengangkat Tisno Wen, tetapi dia tidak bisa. Dia baru saja menghabiskan kekuatannya.

Tisno Wen dengan lemah membuka matanya, dan bongkahan dinding yang baru saja jatuh mengenai kepalanya membuat kepalanya pusing. Dia berkata dengan perlahan, "Pergilah, cepat pergi."

Mata Arthur Sheng memerah. "Aku tidak akan pernah menjadi orang yang meninggalkan saudaraku." Dengan itu, dia menegakkan tubuh, menarik Tisno Wen, meletakkannya di punggung, dan berjalan keluar pintu.

Mobil masih bisa dinyalakan. Arthur Sheng menelepon rumah sakit lalu dengan cepat melaju meninggalkan kekacauan. Saat ini Tisno Wen sudah jatuh pingsan.

Di ruang gawat darurat, para dokter bekerja dengan cepat dan tertib, dan tak lama kemudian Tisno Wen dipindahkan ke kamar pasien.

Ketika Regina Mo menerima berita itu, dia bergegas menyusul. Ia melihat Arthur Sheng duduk di kursi luar pintu kamar pasien, wajahnya muram; entah apa yang dia pikirkan.

Regina Mo tidak menyangka akan mengetahui jawaban dari Arthur Sheng, yang hanya akan membuatnya menghidupkan kembali rasa sakit karena hampir kehilangan saudaranya.

Patah kaki, kepala bocor dan luka bakar di bagian paha. Tetapi selama perawatannya baik, bekas lupa akan hilang secara bertahap.

"Maafkan aku!" Regina Mo memandang orang-orang yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan rasa bersalah. Dia memiliki firasat bahwa masalah ini ada hubungannya dengan dirinya sendiri.

Tisno Wen tertawa ringan dan melambai. "Arthur Sheng adalah saudaraku. Jika suatu hari aku ada masalah, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkanku. Keluar dan cari dia, dia pasti cukup murung." Regina Mo mengangguk dan meninggalkan kamar pasien.

Semakin lama Arthur Sheng memikirkannya, semakin naik pula pitamnya. Saudaranya terluka demi melindungi dirinya sendiri. Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding. Rasa sesal melanda hatinya, ia hampir saja kehilangan saudaranya. Dia mengayunkan tangan dan memukul dinding dengan kepalan hingga terlihat bekas darah di dinding.

Regina Mo bergegas dan meraih tangannya dengan raut khawatir. Ia tak sanggup melihat Arthur Sheng seperti ini.

Cahaya mata Arthur Sheng memancarkan dengki. Ini pertama kalinya dia dipermainkan hingga hampir kehilangan nyawa.

Regina Mo menatapnya dengan hati-hati. "Apakah ini perbuatan Evelly Mo dan pria itu?"

Ketika Arthur Sheng mendengar nama itu, matanya menyipit dan seluruh tubuhnya mengeluarkan hawa kejam untuk sesaat sebelum kembali ke raut datar. Regina Mo hanya bisa menatapnya tanpa berkata lebih banyak.

Bukannya membalas kata-kata Regina Mo, dia malah berjalan masuk ke kamar dan melihat Tisno Wen duduk bersama Billy Gu. "Istirahatlah yang cukup. Billy menjagamu di sini hari ini. Aku akan kembali dulu."

Tisno Wen langsung tahu bahwa amarah Arthur Sheng sudah mencapai puncak. Dia menelan kembali apa pun yang hampir ia ucapkan dan hanya mengangguk dengan patuh.

Novel Terkait

Hei Gadis jangan Lari

Hei Gadis jangan Lari

Sandrako
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Sederhana Cinta

Sederhana Cinta

Arshinta Kirania Pratista
Cerpen
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Ternyata Suamiku Seorang Sultan

Tito Arbani
Menantu
4 tahun yang lalu
His Soft Side

His Soft Side

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Predestined

Predestined

Carly
CEO
4 tahun yang lalu
Diamond Lover

Diamond Lover

Lena
Kejam
4 tahun yang lalu