Penyucian Pernikahan - Bab 25 Citra Lestari

Ujung desa berjarak sekitar dua atau tiga mil dari pangkal desa, dulunya ada beberapa keluarga yang tinggal di sana, semuanya bermarga Han, memiliki leluhur yang sama. Ada satu orang yang pergi bekerja ke Jakarta, juga berkompeten, menjadi bos dari sebuah perusahaan. Oleh karena itu, dia membawa beberapa kerabat dari keluarganya untuk pergi keluar, semuanya juga mendapat banyak uang, lalu mereka pindah dari desa, dan membeli rumah baru di kota.

Namun, ada satu orang yang bernama Kuhan, orang lain membeli rumah tetapi dia malah membeli mobil. Dengar-dengar hubungannya tidak baik dengan istrinya, maka dia pun membiarkan istrinya tinggal sendirian di dalam rumah.

Istri dari Kuhan bernama Citra, orangnya kecil mungil, tetapi sangat bernyali besar, sifatnya juga sangat tangguh. Dia selalu tinggal sendirian di ujung desa, dia memelihara tiga ekor kerbau, kehidupan sehari-harinya juga lumayan menyenangkan.

Pohon banyan besar yang ingin aku pergi, harus melewati rumah Citra.

Dari kejauhan pun terlihat lampu dalam rumah Citra masih menyala.

Belum sampai di depan rumahnya, sudah terdengar serangkaian suara lagu.

“Tak sanggup dilukai, benar-benar tak sanggup dilukai, aku memikirkanmu, memikirkanmu, memikirkanmu, memikirkan hingga tak jernih, menelepon kepadamu tetapi dalam pelukanmu ada wanita cantik,

Aku benci kamu, benci kamu, benci kamu, benci hingga hati meneteskan darah,

Tak sanggup dilukai, benar-benar tak sanggup dilukai….”

Suara berasal dari sebuah kamar kecil.

Kamar kecil itu, hanya empat atau lima meter persegi, dibangun dengan menggunakan balok kayu, digunakan oleh Citra untuk mandi pada biasanya.

Pasti Citra sedang mandi saat ini.

Dalam benakku langsung muncul adegan Citra yang menggunakan tangan untuk menyeka sekujur tubuhnya yang dipenuhi oleh busa putih. Aku memiliki hasrat untuk pergi mengintip.

Namun, aku mengendalikan nafsuku sendiri.

Dikatakan bahwa jangan mengusik jika tidak tulus hati, hal yang tidak seharusnya dilihat maka janganlah dilihat.

“Hhmm, hhmm….” Tiba-tiba, terdengar suara dengusan pelan.

Terlebih lagi, dengusan ini terdengar sangat mesum, tidak seperti suara wanita.

Aku mengarahkan senter ke arah suara itu berasal.

Seketika pun kaget.

Ada seseorang yang rebahan di sisi sebelah kanan dari kamar mandi, dan sedang mengintip melalui celah balok kayu. Yang membuat orang jijik adalah, orang itu sambil mengintip, sambil mengeluarkan barang di bawah selangkangannya, dan sedang menggerakkannya dengan cepat.

Tadi orang itu bersembunyi di dalam kegelapan, aku tidak melihatnya dengan jelas, sekarang begitu dilihat, ternyata adalah Trejo Puso !

Bajingan ini, tidak pergi melayani istrinya yang menawan, Sanny, malah pergi ke sini untuk mengintip Citra mandi, bahkan melakukan masturbasi!

Kedua suami istri ini, yang satu mencari pria lain di luar sana, satunya lagi mengintip wanita lain di luar sana, benar-benar pasangan yang serasi.

Begitu cahaya senter mengarah ke sana, sekujur tubuh Trejo bergidik, dan dia keceplosan bertanya, “Siapa!”

Sebelum aku menjawab, suara lagu di dalam pun berhenti mendadak, lalu terdengar Citra bertanya dengan suara keras, “Siapa di luar?”

Melihat sudah ketahuan, Trejo memasukkan barangnya ke dalam celana dengan terburu-buru, lalu berbalik badan dan kabur.

Pintu kamar mandi itu terbuka, Citra Lestari berjalan keluar dengan hanya mengenakan handuk putih, tangannya memegangi sebuah pikulan bambu, dan dia bertanya marah, “Siapa yang mengintip di luar?”

Aku mengarahkan senter ke arah kaburnya Trejo, dan berkata, “Itu dia, sudah kabur.”

“Berhenti kamu!” Citra segera mengejarnya sambil mengacungkan pikulan itu.

Pertama kali melihat ada seorang wanita yang mengejar seorang pria dengan pikulan di tangan dan handuk di badan, Citra benar-benar memiliki kekuatan yang tidak kalah dengan pria.

Trejo berlari dengan sangat cepat, dan jejaknya langsung menghilang setelah berlari ke dalam kegelapan. Citra tidak berhasil mengejarnya, hanya bisa berputar balik. Dia terbalut dengan handuk, tangannya menjinjing pikulan, rambutnya yang basah tergerai di atas bahu, dan auranya ganas. Tampangnya membuatku tertawa dalam hati.

“Gilang, kenapa kamu? Siapa orang yang mengintipku tadi?” tanya Citra dari kejauhan.

“Aku juga tidak melihat dengan terlalu jelas, sepertinya seekor kuda.” Sesama warga desa, aku tidak enak hati untuk langsung menyebutkan nama Trejo.

“Bukankah itu Trejo ? Bajingan itu, setiap harinya datang mengintipku, suatu hari nanti aku pasti akan menusuk buta matanya!” Citra berkata marah.

Ketika hampir tiba di depanku, Citra tidak memperhatikan langkah kakinya, ia menendang sebuah batu.

“Aduh!” Citra terjatuh ke tanah sambil menjerit.

“Kakak Ipar Citra, kamu tidak apa-apa?” Aku bergegas maju memapahnya.

Siapa tahu ketika aku memapah Citra berdiri, handuk yang membalut badannya tiba-tiba melorot.

Seketika, badan yang putih tak terelakkan terpapar ke dalam mataku.

Badan Citra kecil mungil, tak disangka sepasang buah dadanya justru besar sekali, ketika aku memapahnya berdiri, sepasang buah dada itu bergoyang-goyang, terlebih lagi di dalam malam yang gelap ini, terlihat begitu putih cerah, bagaikan lampu dinding 190 watt yang menusuk lurus pada mataku.

Aku terkejut lengah karena keindahan yang tak terduga di depan mata ini, aku termangu menatap badan telanjang Citra, dan memiliki hasrat untuk menerjangnya bagaikan harimau yang menerjang mangsa.

“Ah!” Citra berteriak kaget, dia bergegas membungkuk untuk mengambil handuk, dan membalut badannya lagi.

Ketika Citra membungkuk untuk mengambil handuk, sepasang buah dadanya menjuntai, dari lampu dinding menjadi lampu gantung, terlihat semakin besar dan berisi. Ketika dia menegakkan badannya, lampu gantung itu bergoyang dengan nakal.

Aku belum pernah melihat buah dada wanita yang begitu aktif bergerak, aku pun tidak tahan untuk ingin merabanya.

Namun, gerakan Citra sangat gesit, dia membalut badannya dengan tangkas menggunakan handuk itu.

“Terbengong melihatnya?” Citra berkata marah dan malu.

Barulah pikiranku tertarik kembali, aku berkata dengan canggung, “Maaf, terlalu gelap, aku tidak melihat apa-apa.”

“Malam-malam begini, kamu datang ke rumahku untuk apa?” Citra menatapku dengan waspada.

“Aku pergi ke bawah pohon banyan ada sedikit urusan.” Aku berkata menjelaskan.

“Sudah gelap begini, untuk apa kamu pergi ke bawah pohon banyan?” Citra terus bertanya mendesak, jelas dia curiga aku adalah komplotan Trejo.

“Ada sedikit urusan. Aku pergi dulu.” Aku langsung pergi setelah selesai berkata, tidak ingin memberitahunya bahwa Alvia mengajakku bertemu di sana, tidak ingin dia salah paham.

“Berhenti!” Tak diduga Citra justru menghadangku dengan pikulan, dan terus bertanya, “Gelap-gelap begini, bisa apa kamu pergi ke bawah pohon banyan? Jangan-jangan kamu sama dengan Trejo, ingin datang untuk mengintipku?”

“Tidak, tidak.” Aku segera berkata, “Bagaimana bisa aku melakukan hal seperti itu, aku juga bukannya tidak ada kerjaan.”

“Bukankah kamu memang tidak ada kerjaan?” Citra berkata jail, “Kamu ini seorang Pencuci, selain menyucikan, kamu bisa lakukan hal lain apa lagi?”

“Aku… aku bisa lakukan segala hal!”

Citra tertawa lucu, “Sudah, tidak mengataimu lagi, lihatlah betapa kamu cemasnya. Cepat pergilah jika kamu ada urusan, kata kamu bisa lakukan segala hal, lain kali jika aku ada masalah dan memerlukan bantuanmu, kamu jangan katakan kamu tidak bisa yah.”

“Iya.” Aku pun segera pergi.

Ketika hampir sampai di bawah pohon banyan besar, aku dengan sengaja mematikan senter, juga meringankan langkah kakiku.

Dari kejauhan terlihat ada secercah cahaya yang lemah dari belakang pohon banyan besar. Aku menebak itu seharusnya adalah cahaya dari layar ponsel.

Kemudian, terdengar suara dari belakang pohon banyan besar.

Aku memiringkan kepala untuk mendengarnya dengan cermat, ternyata itu adalah Selvi dan Alvia.

“Dasar Gilang ini, kenapa masih belum datang? Aku digigit nyamuk terus.” keluh Alvia.

“Tunggu sebentar lagi, dia pergi memijat Kak Tya, seharusnya sudah ke sini.” kata Selvi.

“Si ceroboh itu bisa memijat? Siapa yang percaya. Eh, dia tidak akan tidak datang bukan?” ujar Alvia.

“Tenang saja, aku memahaminya, dia pasti akan datang.” ujar Selvi.

“Nanti dia datang, kita berdua berpura-pura menjadi hantu menakutinya, ketika dia ketakutan, tusuk lubang pantatnya dengan tongkat, huh!” Alvia berkata dengan jengkel.

“Lubang pantatmu masih sakit tidak?” Selvi berkata dengan senyum.

“Masih sakit. Eh, berkata sakit, Selvi, apakah kamu merasa, payudaramu terasa sakit?”

“Apa?” Selvi sepertinya tidak paham.

Aku kehabisan kata-kata. Dulunya pernah mendengar orang berkata ‘sakit buah zakar karena tidak ada aktivitas’, tak disangka hari ini bertemu dengan orang yang ‘sakit buah dada karena tidak ada aktivitas.”

Novel Terkait

Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Inventing A Millionaire

Inventing A Millionaire

Edison
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu
Perjalanan Selingkuh

Perjalanan Selingkuh

Linda
Merayu Gadis
4 tahun yang lalu
Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Baby, You are so cute

Baby, You are so cute

Callie Wang
Romantis
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cintaku Pada Presdir

Cintaku Pada Presdir

Ningsi
Romantis
4 tahun yang lalu