Penyucian Pernikahan - Bab 22 Niat Baik Kepala Desa Tua

“Kapan kamu bisa membantuku memanen jagung?” Tya bertanya.

“Aku akan membantumu setelah aku selesai memanen jagung rumah Ahmad.” Sambil berkata, aku menoleh ke arah jagung.

"Humhhhhh..." Terdengar suara langkah kaki.

Aku menoleh ke arah suara dan melihat seseorang berlari.

Saat aku melihat siapa orang itu, aku tertegun secara diam-diam. Ternyata kepala desa tua itu. Perlu diketahui, saat ini masih sangat pagi, kebanyakan orang masih belum bangun, tetapi kepala desa tua sudah berlari.

Di pedesaan, orang yang bangun pagi untuk berlari sangat sedikit.

"Oh, bukankah kamu Gilang ? Apakah kamu sedang membantu memanen jagung?" Kepala desa tua melihat aku, lalu berhenti dan menyapaku sambil tersenyum.

Aku tersanjung dan berkata ya.

Kepala desa tua bertanya, "Apakah obat yang kamu berikan padaku lusa kemarin masih ada? Aku merebus dan meminumnya, keesokkan harinya aku merasa hidungku tidak tersumbat lagi.

"Masih ada satu paket. Aku akan memberikannya padamu setelah aku selesai memanen jagung," Aku berkata.

"Baik. Siang ini, aku akan pergi ke rumahmu untuk mengambilnya," Kepala desa tua itu berkata sambil berlari pelan dan pergi.

“Kamu bisa membuka resep obat?”Tya berada tidak jauh dan bertanya.

Aku berkata dengan rendah hati, "Sedikit."

Tya bertanya lagi, "Sejak kapan kamu pandai membuka resep obat? Mengapa aku tidak tahu?"

"Kebetulan aku mendapatkan sebuah buku medis dan aku mempelajarinya. Dulu aku tidak menyelesaikan keterampilan ini, jadi tidak berani sembarangan membuka resep obat. Hari itu, aku bertemu dengan kepala desa tua, dia mengatakan bahwa hidungnya tersumbat, jadi aku membuka resep obat tradisional China kepadanya sesuai dengan resep pada buku itu. Tidak disangka, itu berhasil, "Aku menjelaskan.

“Oh, ada keterampilan.”Tya berjalan kemari dan bertanya, “Apakah kamu bisa melihat penyakit?”

"Eh, bisa sedikit." Aku tidak berani bicara terlalu percaya diri.

“Kalau begitu kamu lihat apa yang terjadi dengan diriku,” Tya berkata sambil berjalan ke sampingku, kemudian mengerutkan kening, “Aku selalu merasa tubuhku sedikit kedinginan akhir-akhir ini, terutama di perut bagian bawah.”

Melihat Tya menyentuh perut bagian bawahnya dengan tangan sambil berbicara sambil menatapku dengan penuh pengharapan.

"Kenapa dingin? Sekarang cuaca sangat panas. Mungkinkah kamu menyalakan pendingin ruangan di malam hari?" Aku bertanya.

"Tidak, aku bahkan tidak membuka kipas angin, bagaimana aku menyalakan pendingin ruangan? Bagaimana kalau kamu menyentuhnya," Tya berkata sambil meraih tanganku dan menyentuh perutnya.

Benar saja, perut bagian bawah Tya benar-benar dingin.

Aku melihat-lihat ke arahnya, perut Tya sangat rata karena belum pernah melahirkan anak. Tya sangat rajin dan sering bekerja di lapangan, sehingga kulit wajahnya tidak terlihat seputih Selvi dan Alvia. Tetapi yang tidak aku duga adalah kulit yang tersembunyi di dalam pakaian itu sangat putih dan membuat aku memiliki keinginan untuk menyentuhnya lagi.

Tapi Tya dengan cepat menarik tanganku kembali.

Aku menjentikkan jariku dan berkata, "Rahimmu dingin. Kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh defisiensi limpa dan lambung, dan defisiensi ginjal. Jika tidak ada gejala lain, tidak perlu melakukan perawatan khusus dan hindari makanan dingin."

"Berikan aku resep obat untuk makan. Kamu juga tahu, aku tidur sendirian di malam hari, tidak ada yang memberiku selimut. Tubuh ini dingin dan sangat tidak nyaman," Tya berkata dengan sedih.

"Tapi tidak ada ramuan obat yang siap pakai di rumahku. Aku perlu naik ke atas gunung dan memetiknya. Tapi sekarang aku harus memanen jagung rumah Ahmad dan tidak punya waktu untuk memetik obat-obatan." Aku merasa keberatan dan berkata.

“Saat jagung selesai dipanen, ingatlah untuk membantuku memetik obat. Jika waktunya tiba, panggil aku, kita pergi bersama,” Tya berkata.

Aku mengangguk: "Baik."

Pada saat ini, Dewi Danau berkata di telingaku: "Dia itu bukan terkena suatu penyakit, kamu bisa menggunakan teknik pijat untuk membantunya sembuh."

"Tapi aku tidak bisa."

“Aku bilang kamu bisa, kamu pasti bisa.” Dewi Danau berkata dengan tidak senang.

Jadi, aku berkata kepada Tya : "Kakak ipar Tya Wijaya, jika aku sudah punya waktu, aku akan memberi pijatan padamu. Rahim dingin ini bukan masalah serius, hanya dengan pijatan saja sudah cukup."

“Kamu bisa memijat?”Tya menatapku dengan heran dan ragu.

“Sedikit.” Aku bersikap rendah hati.

“Baiklah, Bagaimana kalau, malam ini kamu datang kerumahku, sekalian makan di rumahku,” Tya berkata dengan gembira.

Aku memikirkannya, kemudian menyetujui.

Tidak tahu kapan Selvi berjalan kemari sambil menatapku dengan tatapan sinis, "Sejak kapan kamu bisa memijat? Mengapa aku tidak tahu? Jangan-jangan, kamu berpura-pura melakukan pijatan dan ingin mengambil keuntungan dari kakak ipar Tya ?"

“Apakah kamu pikir aku ini terlihat seperti orang yang mengambil keuntungan dari orang lain?” Aku tidak setuju dan berkata.

“Kalau begitu beri aku pijatan.” Selvi menggosok tangannya, “Kemarin aku seharian memanen jagung dan punggungku sakit.”

“Bermimpilah kamu!” Aku tidak ingin berbicara dengan Selvi, jadi aku pergi begitu saja. Kemarin, jelas-jelas hanya aku sendiri yang memanen. Selvi hanya menonton di samping, berani-beraninya mengatakan punggungnya sakit. Orang yang benar-benar menderita sakit punggung adalah aku, mengerti!

Tidak disadari, matahari pun muncul.

Saat matahari sudah mulai naik, suhu semakin tinggi dan semakin panas. Selvi sudah lebih dulu berlari ke tempat yang teduh. Agar panen jagung ini cepat selsai, aku bekerja dibawah terik matahari.

Kepala desa tua datang dan bertanya: "Gilang, mengapa kamu masih di sini memanen jagung? Matahari begitu panas? Kamu akan pingsan kepanasan. Cepatlah pulang dan bawakan obat untukku."

Selvi di samping berkata: "Majikan belum membuka suara, dia tidak akan berani kembali. Jika kembali, makan tidak akan diberi makanan."

Kepala desa tua itu melambaikan tangannya, dipenuhi dengan kemarahan yang benar, "Rahmat ini terlalu tidak manusiawi. Dia benar-benar memperlakukanmu seperti kuda dan kerbau? Jangan panen lagi, ikut aku!"

Aku dan Selvi mengikuti kepala desa tua pergi ke rumah Rahmat. Kepala desa tua mengkritik Rahmat dan menetapkan bahwa kedepannya jika ada matahari, setelah jam sembilan pagi dan sebelum jam empat sore, aku tidak diperbolehkan memanen jagung, kemudian kepala desa tua memanggilku untuk kembali dan mengambil obat untuknya.

Rahmat jelas terlihat sangat tidak puas, tetapi kepala desa tua sudah mengancamnya dan Rahmat tidak berani berbuat apa-apa.

Ketika tiba di rumahku, aku memberikan obat itu kepada kepala desa tua. Kepala desa tua berkata, "Gilang, kamu bisa menggunakan keterampilan medismu ini adalah sebuah hal yang baik. Dengan begitu, kamu bisa membuka klinik medis di desa kita dan bisa membantu melihat penyakit orang-orang di desa kita."

Aku memegangi kepalaku, "Aku hanya khawatir orang lain tidak akan percaya bahwa aku bisa melihat penyakit."

Kepala desa tua dengan serius berkata, "Jangan khawatir, kamu menyembuhkan hidungku yang tersumbat, siapa yang akan berani mengatakan bahwa kamu tidak bisa melihat penyakit? Klinik medis ini, sudah pasti akan dibuka!"

“Terima kasih, kepala desa tua!” Aku berterima kasih dengan tulus.

Kepala desa tua menepuk pundakku, "Gilang, aku melihat kamu tumbuh dewasa. Meskipun kamu tidak memiliki orang tua sejak kecil, tetapi kamu bisa menjalani kesulitan hidup dan tahu dengan tugasmu. Aku sangat menyukai anak sepertimu. Selanjutnya aku akan menyarankan kepada desa agar kamu tidak perlu menjadi Pandita lagi. Aku akan memperkenalkan seorang istri kepadamu dan membuka klinik untukku, jalani hidupmu dengan baik! "

"Tidak, tidak," Aku bergegas berkata: "Kepala desa tua, aku menghargai kebaikan Anda. Aku menjalani hidup dengan pemberian amal orang-orang. Tanpa semua orang, aku, Gilang mungkin tidak akan bisa hidup. Karena itu, aku bersedia menjadi Pandita di desa. "

“Apakah kamu tidak takut mati?” Kepala desa tua itu bertanya.

"Tentu saja aku takut mati. Tapi, bukankah ada pepatah yang mengatakan, jika aku tidak pergi ke neraka, siapa yang akan pergi ke neraka? Semua orang memberiku makan dan sekarang saatnya bagiku untuk membalas semua kebaikan orang!" Aku berkata dengan penuh semangat, bertekad untuk menjadi satu-satunya Pandita di desa dan mengorbankan diri sendiri untuk menerangi orang lain.

Setidaknya, aku tidak akan melepaskan karierku sebagai Pandita sebelum aku menahbiskan kakak sepupuku, Alvia.

“Kalau begitu aku akan mempertimbangkannya,” Kepala desa tua berkata dengan kecewa.

Novel Terkait

Aku bukan menantu sampah

Aku bukan menantu sampah

Stiw boy
Menantu
3 tahun yang lalu
Cutie Mom

Cutie Mom

Alexia
CEO
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
Too Poor To Have Money Left

Too Poor To Have Money Left

Adele
Perkotaan
3 tahun yang lalu
The Sixth Sense

The Sixth Sense

Alexander
Adventure
3 tahun yang lalu
Revenge, I’m Coming!

Revenge, I’m Coming!

Lucy
Percintaan
3 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu