Mr CEO's Seducing His Wife - Bab 84 Wanita di Dalam Rekaman

Ia menekankan kata-kata persis.

"Jadi, apa maksud Anda?"

Mata hitam Ethan berubah kelam.

Bibi Yu mengenggam erat foto di tangannya tanpa sadar.

"Apakah Anda...mempunyai anak di luar nikah-"

"Tidak." elak Ethan tanpa membiarkan Bibi Yu menyelesaikan perkataannya.

Ia hanya pernah menyentuh seorang wanita.

Tidak mungkin ada wanita lain yang mengandung anaknya.

Anak di luar nikah? Mana mungkin.

"Bibi Yu, apakah malam ini kita tidak makan?" tanya Ethan melihat dapur yang kosong, meja makan juga bersih mengkilap, tidak ada apapun di atasnya.

Bibi Yu mencibir, "Masih ada nafsu untuk makan?"

"..."

"Apakah kau senang sekarang?" ujar Bibi Yu mengembalikan foto itu ke dalam laci. Ia tidak akan membiarkan ini begitu saja, ia akan menyelidiki semuanya.

Ethan mengerutkan alisnya. Apa ada yang terjadi hari ini?

"Lihat rumah ini, sama sekali tidak terlihat seperti sebuah rumah. Rumahnya besar dan luas, tapi apakah ada orang di dalamnya? Hanya ada seorang Bibi pekerja sepertiku, dan seorang pria lajang berusia 30an. Apa gunanya punya uang banyak?" Bibi Yu menutup laci, masih merasa marah, sama sekali tidak ada niatan untuk memasakkan makanan.

Tetapi, ia tentu tidak tega.

Ia pun kembali ke arah dapur untuk mulai menyiapkan makan malam.

Melihat Bibi Yu yang sedang muram, Ethan membuka laci tadi dan mengambil foto tersebut. Karena ia tidak suka difoto, ia juga sepertinya jarang sekali melihat fotonya itu. Kalau bukan karena Bibi Yu ia juga tidak akan ingat dengan foto itu.

Ia memperhatikan foto itu dengan saksama. Mata ini, wajah ini-

Ringring...

Ponsel di sakunya berdering membuyarkan lamunannya. Sepertinya ada sebuah wajah yang tiba-tiba tersemat sejenak di benaknya, tetapi ia tidak sempat menyadari siapa itu.

Ia meletakan foto itu kembali dan menutup laci itu sebelum akhirnya mengangkat teleponnya. Ternyata David meneleponnya karena urusan pekerjaan.

Sembari berbincang dengan David, ia mulai membuka kancing kemejanya dan berjalan masuk ke arah kamar.

Golden Harbour.

Hannah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan bersiap memanggil Simon untuk makan, Joelle datang menghalanginya, "Biarkan dia merenungi perbuatannya. Kalau ia tidak mengakui kesalahannya, jangan diberi makan."

"Dia masih anak-anak, jangan terlalu serius. Apa kau benar akan membiarkannya kelaparan?" balas Hannah tidak setuju. Ini adalah masa pertumbuhannya Simon, tidak baik untuk tidak memberinya gizi yang cukup.

"Jangan diberi makan sampai ia mengakui kesalahannya." Joelle tidak menjelaskan alasannya, tetapi tetap kukuh dengan pendiriannya.

Memang ada hal-hal yang tidak perlu terlalu dipermasalahkan, tetapi masalah besar seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Kalau saat masih anak-anak saja sudah bisa melakukan hal-hal yang keterlaluan seperti ini, bagaimana nanti kalau sudah dewasa?

"Joelle-" Hannah masih ingin membujuk Joelle.

Joelle tetap bersikeras dengan pendiriannya, ia tidak akan mendengarkan bujukan apapun. Kalau tidak didisiplinkan dari sekarang ini nantinya akan semakin sulit.

Ia menggendong Tania, "Ayo, kita pergi makan."

Hannah hanya berdiri di tempatnya sambil memikirkan ucapan Joelle. Apakah tidak ada cara lain.

Joelle berbalik melihat ke arah Hannah, dan berujar, "Kali ini aku sangat sungguh-sungguh, tidak perlu memikirkan alasan untuk membujukku."

Hannah berjalan menghampirinya dan bertanya pelan, "Apa yang sudah diperbuat oleh Simon hingga membuatmu marah seperti ini?"

Di mata Hannah, tidak mungkin Simon mampu melakukan kesalahan besar sampai perlu dihukum seperti ini, ia adalah anak yang pandai dan penurut.

Ia sangat heran bagaimana bisa sampai Joelle marah besar seperti ini.

Mengingat hal-hal yang dilihat oleh Simon, dilakukan olehnya, Joelle tidak tega melontarkannya, "Ma, tidak usah menanyakannya lagi, ayo lekas makan."

Joelle duduk di depan meja makan sambil menggendong Tania di dalam pelukannya, menyuapinya makanan.

Sudah jelas bahwa Joelle tidak ingin memberitahunya. Hannah juga tidak akan lanjur bertanya.

Setelah makan malam, Hannah membereskan piring-piringnya selagi Joelle membawa putrinya ke kompleks untuk bermain.

Mereka baru saja pindah kemari, sangat penting untuk melihat-lihat lingkungan sekitar.

Melihat putrinya sudah keluar, Hannah menyendok semangkuk nasi, mengupas beberapa udang dan membawa piring itu ke kamar Simon.

Tabletnya telah disita oleh ibunya, hingga Simon juga tidak bisa bermain. Teleponnya juga disita, sehingga ia juga tidak bisa menghubungi gurunya. Sangking bosannya, Simon hanya bisa bertelengkup kecil di sisi kasur sendirian.

Hannah meletakkan nasinya ke atas meja, "Ayo cepat makan, ibumu sedang keluar."

Simon tidak bergerak.

Hannah pun menariknya pelan, "Kau benar-benar tidak akan makan? Nanti malam kau bisa kelaparan. Aku tidak akan memberitahu ibumu, ia tidak akan tahu kalau kau sudah makan."

Setelah duduk di depan meja, melihat nasi itu Simon tak kuasa menelan air liurnya.

Sebenarnya ia kelaparan.

"Udang kesukaanmu sudah kukupaskan. Cepat makan, aku akan menuangkan air untukmu." Hannah takut SImon agak canggung sehingga ia mencari alasan untuk keluar.

Simon menjilati bibir kecilnya. Kalau sampai kelaparan, bagaimana bisa ia membalas dendam pada orang jahat itu?

Dia harus makan.

Ia pun duduk di kursinya dan mulai melahap nasinya.

Ia makan dengan sangat cepat karena takut ketahuan oleh Joelle.

Hannah datang membawakannya segela air. Melihat Simon yang makan dengan lahap ia pun merasa senang. Sepertinya ia memang sudah sangat kelaparan sejak tadi.

"Pelan-pelan, jangan sampai tersedak." Hannah menyodorkan air itu padanya.

Simon hanya tertawa pelan, mulutnya dipenuhi dengan nasi, "Terima kasih, Nek."

"Pelan-pelan saja makannya, ibumu tidak akan pulang secepat ini." Hannah berdiri di dekat pintu kamarnya, "Aku akan menjaga pintunya."

Makan malam itu membuat Simon merasa seperti seorang pencuri saja.

Lingkungan sekitar kompleks lumayan bagus, termasuk khawasan mewah, ada banyak dedaunan, keamanannya juga bagus. Ada taman kanak-kanak dan sekolah dasar, toko-toko dan juga metro.

Saat berkeliling mengitari kompleks, Tania tertidur pulas di pelukannya. Saat ia kembali ke rumah, Hannah sudah selesai membereskan dapur dan sedang menyiapkan air panas di kamar mandi.

Saat ia membuka pintu kamar Simon, Simon masih terduduk meringkuk di kasurnya, seperti anak terlantar. Membuatnya sedikit kasihan.

"Apakah kau sudah menyadari kesalahanmu?" tanya Joelle menatapnya.

Simon memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya, "Aku tidak salah."

"Baiklah. Kau tidak salah 'kan? Kita lihat kau bisa tahan sampai berapa lama." Joelle marah dan menutup pintu kamarnya. Ia menggendong putrinya ke kamar lain untuk tidur.

Tania memiliki kebiasaan saat tidurnya. Ia harus memegangi dada Joelle, kalau tidak ia tidak bisa tidur dengan tenang.

Joelle juga sudah terbiasa dengan kebiasaan aneh Tania ini.

Karena mereka kembar, asinya memang tidak cukup untuk menyusui kedua anaknya bersamaan, hanya bisa menyusui salah satu dari mereka. Tania lahir belakangan, dan saat ia lahir tubuhnya sangat kurus dan kecil, sehingga ialah yang akhirnya terus menerima asi. Dan sejak saat itu ia jadi suka memegangi buah dadanya.

Dan sampai saat ini juga masih jadi kebiasaan.

Joelle menepuk-nepuk putrinya, tetapi dirinya sendiri tidak bisa tidur. Biasanya Simon juga tidur dengannya.

Siapa tahu ia tiba-tiba berubah keras kepala seperti ini. Entah turunan dari siapa.

Di hari berikutnya, Joelle keluar rumah agak larut. Tokonya belum selesai direnovasi, jadi ia sendiri tidak ada kerjaan.

Ia juga ingin di rumah menghabiskan waktu dengan kedua anaknya. Tetapi Vina tiba-tiba meneleponnya, bilang ada orang yang sedang mencarinya. Mau tak mau ia harus keluar.

Setelah mengenali lingkungan sekitaar sini, ia tahu ada metro yang bisa langsung menuju ke tokonya. Ia pun pergi membeli tiket.

"Nona Lin." Dodo yang melihatnya langsung berlarian menerobos kerumunan menghampirinya.

Saat itu ia mendengar David menyebutnya dengan sebutan Nona Lin.

Ia sudah menunggunya di sana dari pagi hari. Ia ingin mengajaknya berbincang-bincang. Tetapi ia tidak juga muncul.

Begitu keluar dar rumah pun bukannya naik taksi malah menggunakan metro.

Untung saja ia sigap. Kalau tidak pasti akan terlewatkan begitu saja.

Joelle mendengar suara itu menoleh melihatnya. Ia mengerutkan alisnya, tidak tahu mengapa Dodo sedang mengikutinya.

Dodo berlarian kecil menghampirinya, dan membungkuk dengan nafasnya yang tersenggal-senggal, "Apakah saya bisa berbincang-bincang dengan Anda?"

"Tidak." tolak Joelle, tidak ingin membahas masalah yang telah lalu.

Tetapi Dodo bersikeras, "Setelah Anda melihat ini, Anda pasti akan setuju untuk berbicara dengan saya."

Ia pun merogoh sakunya dan menyerahkan benda itu pada Joelle.

Novel Terkait

Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Unplanned Marriage

Unplanned Marriage

Margery
Percintaan
5 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
4 tahun yang lalu
The Break-up Guru

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu
My Only One

My Only One

Alice Song
Balas Dendam
5 tahun yang lalu
Cinta Seorang CEO Arogan

Cinta Seorang CEO Arogan

Medelline
CEO
4 tahun yang lalu
Antara Dendam Dan Cinta

Antara Dendam Dan Cinta

Siti
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Adore You

Adore You

Elina
Percintaan
4 tahun yang lalu