1001Malam bersama pramugari cantik - Bab 62 Kerusuhan yang Tak Diperlukan

Aku mendadak tertegun, lalu segera bangkit kembali dan bergegas masuk kedalam gua. Namun aku hanya melihat Hesti yang terjatuh pingsan dengan mukanya yang pucat. Bayi di pelukannya pun terjatuh dan tangisan kerasnya terdengar seperti suara anak kucing yang sedang menangis.

Seketika situasinya pun menjadi kacau.

"Hesti!"

Aku lari kesana tanpa memikirkan segala hal itu dan merangkulnya ke dalam pelukanku.

Tubuhnya sangat dingin, wajah kecilnya terlihat sangat pucat dan lemah. Bibir yang biasanya berwarna merah sekarang sudah tidak lagi berwarna, bahkan sedikit kering dan pecah-pecah.

Jangan-jangan...

Sebuah firasat buruk muncul di dalam hatiku.

Aku menjulurkan jariku ke lubang hidungnya agak ketakutan dan merasakan sedikit nafas darinya, sehingga jantungku yang asal berfetaj ini pun kembali tenang.

Suzy dan Mila juga ikut masuk ke dalam.

Satu di antaranya menggendong bayi yang terjatuh dan yang lain menjulurkan tangannya kearah dahi Hesti.

"Albert, coba kamu lihat, apakah Hesti demam? Dahinya sangat panas!" Suzy menaruh tangannya diatas dahi Hesti. Ia mengerutkan dahi sambil bertanya dengan ekspresi wajah serius.

Aku tertegun dan melihatnya dengan cermat, aku pun baru menyadari meskipun wajah Hesti masih terlihat pucat, namun keringat telah keluar dari bagian dahi yang mendekati garis rambut.

Aku cukup kaget dan sibuk menaruh tanganku diatas sana.

Suhu panas langsung menyerang telapak tangan. Tak lama kemudian, aku menemukan warna merah yang indah pelan-pelan mengapung di wajah Hesti.

Sepertinya...ia benar-benar demam!

Ini bukanlah hal yang baik di pulau terpencil. Aku dan Suzy saling melihat sekilas dengan tatapan yang penuh kekhawatiran.

Di samping sana, Mila sedang menggendong bayi sambil menghiburnya dengan suara pelan.

Walaupun ia sedang menjaga bayi, tetapi perhatiannya juga terpusat pada Hesti.

Melihat aku dan Suzy, ia seperti kepikiran sesuatu dan berkata dengan mendadak, "Oh iya, aku ingat ada seseorang dari kamp kita yang pernah mempelajari perawatan, aku akan pergi mencarinya untuk datang kemari."

Setelah berkata, ia pun menggendong bayinya sambil masuk ke dalam kerumunan.

Tak lama kemudian, seorang wanita yang tampangnya terlihat ramah, pendek dan gemuk dengan gemetaran mengikut di belakangnya berjalan kemari.

Mila menunjuk Hesti yang pingsan di pelukanku. Entah apa yang dikatakan kepadanya, hanya terlihat wanita tersebut seperti paham akan sesuatu dan menganggukkan kepalanya.

Ia pelan-pelan berjalan ke hadapanku dan Suzy, lalu tersenyum sopan dan berlutut di lantai, merunduk memeriksa kondisi tubuh Hesti.

Gerakannya terlihat sangat mahir. Hatiku pun merasa agak tenang dan segera mengosongkan ruang untuknya.

Entah kapan, Mila sudah berada di belakangku.

Bayi di pelukannya sudah tertidur sambil mengemut jari jempolnya sendiri dengan nikmat.

"Albert, tenang saja. Sebelumnya ia adalah seorang suster dan mengerti sedikit ilmu kedokteran." hibur Mila pelan yang sepertinya menyadari akan kegugupanku.

Aku dengan berterima kasih menoleh sekilas kearahnya, namun akhirnya tidak tahan untuk menghela nafas.

Berharap Hesti akan baik-baik saja, doaku di dalam hati.

Kemudian, entah Tuhan mendengar suara hatiku atau bukan, hanya terlihat ekspresi wanita tersebut yang terlihat lega dan berdiri, lalu tersenyum kearah kita.

"Kalian semua tenang saja. Wanita ini baik-baik saja. Hanya karena akhir-akhir ini, ia selalu merasa ketakutan dan mengalami beberapa hal yang membuatnya tertekan."

Seketika aku pun merasa lega dan terus berterima kasih.

Di samping sana, Suzy dan Mila juga merasa lega. Mereka memberi saran kepadaku untuk membawa Hesti beristirahat di dalam, aku pun menyetujuinya.

Aku menempatkan Hesti dan bayi tersebut di pojok gua terdalam yang hangat dan kering. Baru saja aku ingin duduk dan beristirahat, namun menemukan Mila yang datang kemari dengan ragu-ragu dan duduk di sebelahku.

"Albert, apakah aku boleh meminta bantuan kepadamu?"

Ia menutup mulut, ekspresinya pun terlihat agak ragu.

Namun tak perlu ia mengatakannya, aku juga tahu bahwa ia pasti datang untuk masalah Mina.

Seperti yang kupikirkan, setelah Mila ragu sesaat, ia pun memutuskan untuk berkata dengan tatapan yang penuh permohonan, "Albert, aku bermohon kepadamu untuk menolong adikku."

Ia adalah wanita yang begitu pintar, bagaimana mungkin tidak tahu betapa bahayanya di dalam hutan sana?

Mina telah menghilang dalam waktu yang begitu lama, dan ia kabur sendirian. Sejujurnya peluangnya untuk hidup saat ini sangatlah kecil.

Tapi aku juga tahu bahwa Mina adalah satu-satunya keluarga Mila yang tersisa di pulau terpencil ini. Melihat ia yang menahan rasa gelisah di dalam hatinya, dan memandangku dengan tatapan yang penuh permohonan, hatiku pun sedikit tersentuh.

Kemudian kepikiran anak yang polos dan imut itu, serta selalu suka menempel denganku, akhirnya aku pun menghela nafas dan menepuk-nepuk bahunya.

"Baik, Mila, aku terima permohonanmu. Serahkan saja masalah Mina kepadaku."

Tak perlu dikatakan, aku memang berhutang kepada dua kakak beradik ini. Jika bukan karena aku membiarkan Laura, Mina juga tidak akan tersesat begitu saja.

Setelah mendapatkan perjanjianku, Mila yang menangis pun balik tersenyum.

Ia menggendong bayi yang tertidur nyenyak di dalam pelukannya. Air mata yang menggantung di bulu matanya tidak kunjung jatuh. Namun sebuah senyuman yang menggoda muncul sekilas di wajahnya yang cantik itu.

Secara tidak sadar, hatiku pun berdebar.

"Albert, terima kasih. Entah kamu bisa menemukan adikku atau tidak, aku tetap akan berterima kasih padamu!"

Kata-kata Mila yang penuh terima kasih itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Baru saja duduk sesaat, aku pun tidak tahan untuk diam-diam saja.

"Kapten, bolehkan aku panggil beberapa orang keluar untuk pergi berburu?” tanya aku kepada Suzy untuk mendapatkan persetujuannya.

Akan tetapi aku malah melihat ia sedang memperbaiki suar penentu lokasi lama dengan serius, bahkan dirinya juga tidak mengangkat kepala dan langsung menganggukkan kepala, lalu berkata, "Boleh, atur saja sendiri. Jika tidak ada masalah penting, jangan menggangguku lagi."

Sikapnya yang dingin itu hampir saja membekukanku.

Aku dengan tak berdaya menggelengkan kepala, lalu datang ke tengah gua dan berteriak, "Sekarang aku ingin pergi berburu, apakah ada orang yang ingin pergi bersamaku?"

Balasan yang kudapatkan hanyalah kesunyian. Semua orang mundur dan diam di tempatnya sendiri.

Sikap yang tampaknya pesimis ini membuatku marah tanpa alasan.

Aku mengerutkan dahi dan berteriak lagi, “Tidak ada orang yang bersedia untuk pergi berburu secara sukarela kan? Apakah kalian tidak ingin memakan daging lagi? Merasa memakan beberapa buah sudah bisa kenyang, benarkah?"

Akhirnya, kerusuhan pun terjadi di tengah-tengah kerumunan.

Seorang lelaki pendek yang sederhana melihat kemari dan berkata dengan maksud tidak setuju, "Bukannya masih ada kamu? Kamu begitu hebat, nanti tangkap mangsa yang banyak saja?"

Aku ingat lelaki ini aslinya adalah orang dari kamp sebelah. Mendengar ia berkata bagai dirinya sangat benar, hatiku pun merasa agak tidak senang.

Sekelompok orang yang hanya bisa memanfaatkan wanita untuk memperoleh makanan, semulanya aku memang sudah tidak senang dengan perilakunya. Melihat mereka, aku pun teringat kehidupan masa lalu mereka yang bergantung kepada orang tua, seketika aku merasa semakin tidak senang.

Aku memasang ekspresi wajah serius dan tertawa sinis, "Huh, berdasarkan apa yang kamu katakan, maksudmu ingin aku menyediakan segalanya untuk kalian semua, benar kan?"

Lelaki tersebut tidak berbicara, namun ekspresi di wajahnya telah menjelaskan semuanya dengan jelas.

Seketika tatapan mataku menjadi serius dan melotot kearahnya sambil menunjuknya penuh makna, "Kita semua adalah lelaki kekar yang mempunyai tangan dan kaki, tangkap saja sendiri apa yang kamu inginkan. Aku bukanlah seorang dermawan, tidak berhati baik untuk disia-siakan oleh kalian!"

Sembari berkata, aku pun mengangkat dagu dan berjalan kearah luar.

"Jika kalian ingin kelaparan, menetaplah di dalam gua. Mangsaku hanya diberikan kepada orang yang berada di kampku."

Novel Terkait

Menantu Hebat

Menantu Hebat

Alwi Go
Menantu
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
The Campus Life of a Wealthy Son

The Campus Life of a Wealthy Son

Winston
Perkotaan
4 tahun yang lalu
After The End

After The End

Selena Bee
Cerpen
5 tahun yang lalu
Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Cinta Dibawah Sinar Rembulan

Denny Arianto
Menantu
5 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Loving The Pain

Loving The Pain

Amarda
Percintaan
5 tahun yang lalu
Bretta’s Diary

Bretta’s Diary

Danielle
Pernikahan
4 tahun yang lalu