The Richest man - Bab 93 Tidak Berdaya

namun aku melihat kondisi diriku juga tidaklah begitu baik sekarang.

"suruh mereka untuk menunggu di luar dan beri aku sedikit waktu untuk keluar."

"kalau tidak, ketika aku mati nanti, aku juga akan menarikmu untuk ikut bersamaku."

pria yang mengatakan semua ini adalah pria yang membela Quin pagi ini, namanya adalah Hadong.

mereka memiliki marga yang sama, namun sifat mereka sangatlah berbeda,

"baiklah, aku akan menyetujui permintaanmu, namun kamu juga harus menyetujui satu permintaan dariku."

dulunya, mungkin Alvero akan merasa panik jika ditangkap oleh orang lain.

namun kini dia memiliki identitas baru dari keluarga He. apalagi nyonya He masih berada di luar, bagaimana mungkin Alvero akan merasa khawatir?

"apakah kamu merasa aku akan memberi kesempatan tawar menawar untuk mu?"

pria itu pun menggepalkan tangannya sambil menakuti Alvero.

sayangnya Alvero sudah bukan merupakan manusia biasa sekarang.

"kamu boleh mencoba untuk menyentuh aku."

setelah perkataan itu terucap, Alvero pun segera berkata sambil mengangkat dagunya.

dia melakukan itu karena dia percaya kalau Hadong tidak berani menyentuh dirinya.

kalau tidak, dia pastilah akan mati jika dia bersikap lemah seperti ini.

"hm, kamu memanglah memiliki keberanian. aku akan menyetujui permintaanmu itu, cepatlah katakan apa permintaanmu."

setelah menyimpan kembali pisau kecilnya itu, Hadong pun mendorong bahu Alvero.

mereka memiliki marga yang sama dan tentunya Hadong percaya kalau Alvero akan menepati janjinya.

sebenarnya Alvero sedang bertaruh, namun tidak dengan Hadong.

dirinya melakukan kesalahan terhadap Alvero, dirinya harus kembali masuk ke dalam penjara setelah lukanya pulih nanti.

kalau begitu, lebih baik.....

"ibu, kalian pergi menunggu di luar saja. aku tidak membawa baju."

sebenarnya Alvero tetap merasa canggung untuk mengatakan ini di depan lawan jenisnya meskipun ia adalah ibunya sendiri.

namun tidak masalah, ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan namanya.

"hm, Alvero, bagaimana kalau Hardi yang...."

"ibu, aku tidak suka orang lain menyentuh barangku."

setelah mendengar itu, nyonya He tidak mengatakan hal lain dan Alvero kembali berkata.

"lagipula, apakah kalian tahu dimana aku menyimpan barangku?"

"baiklah, kalau begitu kami akan keluar."

setelah mendengar perkataan Alvero, nyonya He pun mengiyakan perkataannya.

untung saja nyonya He menginyakan perkataan Alvero, kalau tidak........

"apakah kamu sudah boleh melepas tanganmu sekarang?"

suaranya terdengar begitu serak dan Alvero merasa lehernya mulai berdarah.

"maaf, aku...."

ternyata Hadong masih bisa merasa bersalah.

sudahlah, ini juga bukan hal yang keterlaluan. Alvero tidak bermaksud untuk menghukumnya.

"sudahlah, pergi saja."

kata Alvero setelah pintu toilet terbuka.

dia pun tidak lagi ingin menanyakan pertanyaan yang ingin ia ketahui itu.

sekarang menunda satu menit, maka orang ini akan berbahaya selama satu menit.

siapa yang tahu kalau nantinya nyonya He akan masuk tanpa mengetuk pintu.

mungkin Hadong menegerti tentang apa yang dikhawatirkan oleh Alvero ataupun mungkin dirinya menyadari tatapan Alvero yang berubah.

Hadong lalu menganggukkan kepala dan menggepalkan tangannya sambil membungkukkan badannya ke arah Alvero.

setelah itu, pria itu pun membalikkan badan dan keluar dari jendela.

meskipun tempat tinggalnya ini tidak termasuk tinggi, namun setidaknya ini juga berada di lantai tiga.

dirinya dengan susah payah menolong bocah ini dan jangan-jangan bocah ini malah bunuh diri?

sambil memikirkan itu, Alvero pun segera menatap ke luar jendela.

bocah yang pintar, ternyata dia bersembunyi di balik jendela.

"aku tidak sengaja mendengar percakapan dirimu dan ibumu, namun..."

bocah ini masih tahu untuk memberi penjelasan.

bagus, sepertinya dirinya telah melepas orang yang benar.

Alvero lalu menganggukkan kepalanya sambil menyuruhnya untuk diam dan berkata.

"bersembunyilah dengan baik, ada yang ingin aku tanyakan setelah ibuku pergi nanti."

setelah mengatakan itu, Alvero kembali menutup gorden jendela dan kembali duduk di atas kasur.

"ibu, aku sudah siap. masuklah."

pintu pun terbuka dengan cepat.

"Alvero, cuma kamu sendiri di dalam?"

sejak nyonya He masuk ke dalam, dirinya sudah mulai menatap ke sekelilingnya.

tidak perlu ditebak lagi, nyonya He pastilah sudah mendapatkan sedikit informasi.

hanya saja Alvero tidak mungkin membongkar informasi orang yang ia ingin lindungi itu.

"tidak ibu, mungkin kamu salah mendengar."

sambil menggelengkan kepala, Alvero pun pergi menopang nyonya He.

setelah menuntunnya untuk duduk di atas kursi, Alvero pun bertanya.

"hm? apakah begitu?"

nyonya He merasa curiga setelah mendengar perkataan Alvero.

"Hardi, apakah suara yang aku dengar tadi hanyalah halusinasi?"

seperti dugaan Alvero, nyonya He mendengar sesuatu.

Alvero pun segera melirik ke arah Hardi dan memberi tatapan khusus untuknya.

hal ini membuat Hardi sangatlah kebingungan.

dirinya merupakan bawahan nyonya He yang ditugaskan untuk melindungi tuan muda.

secara logika, dia harus berkata jujur.

hanya saja, kalau bukan karena tuan muda, kedudukannya juga tidak akan berkembang pesat seperti ini.

dia berhutang budi pada tuan muda, apa yang harus ia lakukan skearang?

setelah merasa ragu selama beberapa saat, Hardi pun menggunakan sebuah cara yang aman.

dia tetap bersikap adil dan tidak berat sebelah.

"nyonya He, telingaku sedikit bermasalah belakangan ini. aku tidak bisa mendengar dengan jelas."

"aku bahkan harus berdiri lebih dekat dengan orang yang sedang berbicara denganku. aku......"

"sudahlah, aku tahu apa maksudmu."

setelah melambaikan tangannya kepada Hardi, nyonya He pun menggenggam tangan Alvero.

"Alvero, kamu tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibu."

Alvero tidak mungkin tidak mendengar perkataan ibunya yang sangat dalam ini.

"baik, ibu."

Alvero lalu menjawab ibunya dengan tanpa ragu.

setelah itu, tidak tahu apa yang disadari oleh nyonya He. nyonya He pun segera meraih wajah Alvero.

"Alvero, kenapa aku merasa wajahmu sedikit menguning?"

"begitukah?"

kata Alvero sambil memegang kepalanya sendiri.

"iya, biarkan ibu melihatnya dulu."

karena terlalu panik, nyonya He tidak sengaja menekan luka karena kejadian semalam itu.

"shhhhh..."

awalnya dia berencana untuk menyembunyikan ini, namun.....

"Alvero, kenapa kamu?"

Nyonya He manatap Alvero dengan panik.

"ibu, aku...."

setelah merasa ragu selama beberapa saat, Alvero tetap saja tidak bermaksud untuk jujur.

"hm, tidak apa-apa ibu, aku kurang berhati-hati...."

"kamu berbohong."

nyonya He langsung memotong perkataan Alvero tanpa menunggunya selesai berbicara.

"aku....."

Alvero sedikit terbengong karena dia tidak menyangka kalau nyonya He akan bersikap seperti ini.

perkataan nyonya He tidaklah salah, Alvero memanglah sedang berbohong, namun.....

setelah melihat ekspresi Alvero itu, nyonya He pun merasa marah karena dia tahu ada yang disembunyikan Alvero darinya.

"Alvero, siapa yang tadinya berkata kalau dia tidak akan berbohong padaku?"

"aku........."

dia merasa begitu tidak berdaya.

meskipun biasanya nyonya He terlihat sangat ramah, namun sebenarnya dia juga memiliki aura kejam tersendiri.

dia selama ini tidak menunjukkan sisi kejamnya kepada Alvero karena dia merasa kasihan padanya.

Novel Terkait

Waiting For Love

Waiting For Love

Snow
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Cinta Setelah Menikah

Cinta Setelah Menikah

Putri
Dikasihi
4 tahun yang lalu
Ten Years

Ten Years

Vivian
Romantis
4 tahun yang lalu
Akibat Pernikahan Dini

Akibat Pernikahan Dini

Cintia
CEO
4 tahun yang lalu
Air Mata Cinta

Air Mata Cinta

Bella Ciao
Keburu Nikah
4 tahun yang lalu
Lelaki Greget

Lelaki Greget

Rudy Gold
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
Suami Misterius

Suami Misterius

Laura
Paman
3 tahun yang lalu