My Beautiful Teacher - Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
Aku menekan rasa takut di hatiku, dan berkata dengan nada minta maaf, "Terima kasih, Lastri. Tapi perutku sakit dan aku benar-benar tidak punya nafsu makan. Sup daging di mangkuk ini berikan saja kepada Milen.”
Setelah bicara, aku menyerahkan semangkuk sup daging di tanganku kepada Milen.
"Terima kasih, aku benar-benar lapar." Milen dan aku mencari Mitchell, dan tidak makan apa pun malam ini. Jadi jelas, Milen pasti sangat lapar. Dia mengambil sup daging itu, dan mulai memakannya. Setelah mencoba memakannya, dia pun memuji dengan antusias, “Sungguh enak sekali Wenas. Kamu cicipi deh. Rasanya sangat enak sekali. "
“Aku sudah mencicipinya kemarin.” Tiba-tiba aku langsung memegang perutku dan berkata, “Aduh, perutku sakit lagi. Aku harus pergi ke toilet. Kalian pelan-pelan saja makannya.”
Setelah bicara, aku bergegas pergi ke kamar mandi, menutup pintu dan menghela napas panjang.
Mau memberiku makan sup daging manusia lagi, aku lebih baik memilih mati saja.
Sayangnya Lastri ada di sini, jadi aku tidak bisa memberi tahu Milen tentang ini.
Saat ini, aku mendengar percakapan mereka berdua di luar sana.
"Nona Lastri, daging apa yang kamu masak ini. Sepertinya aku belum pernah mencicipi daging seperti ini."
"Hehe, ini daging keledai yang aku beli di supermarket."
"Daging keledai, Aku sudah pernah makan daging keledai. Tekstur dagingnya tidak seperti ini.”
“Oh ketahuan juga olehmu ya. Sebenarnya ini adalah daging manusia.” kata Lastri sambil tersenyum.
Tiba-tiba hatiku bergetar, Lastri benar-benar memberi tahu Milen kenyataan yang sebenarnya
Siapa juga yang tahu, Milen tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, "Jangan bercanda deh, bagaimana mungkin ini daging manusia. Lupakan saja jika tidak ingin memberi tahuku."
Aku menghela napas berat dalam hatiku. Sepertinya Lastri yakin kalau Milen tidak akan percaya. Karena itulah dia berani mengatakannya.
"Rasanya enak sekali. Nanti harus menyisakan satu mangkuk untuk pak kos ini. Oh iya, kamu tidak makankah?”
“Aku sudah makan sampai kenyang di rumah.” Kata Lastri sambil tersenyum.
Aku pun mulai gugup dan cemas dalam hati. Kenapa harus menyisakan satu mangkuk untukku sih.
Setelah lewat 15 menitan, Milen sudah tidak sabar menunggu. Dia pun berteriak dari luar, “Pak kos, kamu sudah belum sih, aku sudah selesai makannya. Aku pulang dulu ya.”
“Habis gini selesai kok. Kalian pulang saja dulu, aku baik-baik saja kok.” Kataku buru-buru menjawabnya.
Tidak lama kemudian, tidak ada suara apapun dari luar. Aku menghela napas lega, aku kira Lastri juga sudah pergi bersama dengan Milen. Siapa juga yang tahu, begitu aku membuka pintu kamar mandi, dan melihat Lastri ternyata masih ada di sana. Dia duduk di sofa memainkan ponselnya. Mangkuk keramik sudah ditutup rapat dan ditaruh di atas meja. Begitu melihatku keluar, dia menunjukan senyuman yang hangat dan lembut, “Kamu sudah keluar, bagaimana keadaanmu sekarang?”
Aku mengerutkan kening. Tapi masih saja memaksa diri berlagak begitu tenang, lalu berkata, “Sedikit sakit masihan, mungkin besok aku harus pergi periksa ke rumah sakit. Benar-benar terima kasih sekali kamu sudah bersedia memasakkan sup daging malam-malam seperti ini kepada kami. Kamu pulang dulu saja sana, aku baik-baik saja kok.”
Lastri berdiri, tersenyum dan berkata, “Aku sengaja menyisakan satu mangkuk untukmu. Nanti kalau kamu sudah memakannya, baru aku akan pulang.”
Dia bicara sambil berjalan ke samping meja. Lalu membuka mangkuk itu dan memang benar masih tersisa satu porsi mangkuk sup daging.
Melihat ekspresi Lastri yang begitu ramah dan lembut, telapak tanganku sampai berkeringat dingin, aku pun berkata, “Kamu makan saja sendiri. Aku benar-benar sedang tidak bisa makan, nanti malah diare lagi aku.”
Melihatku lagi-lagi menolaknya, Lastri pun tidak lagi memaksaku. Dia menghela napas dan berkata, “Baiklah kalau begitu. Nanti kalau kamu sudah sehat, aku akan memasakkan lagi untukmu. Oh iya, Dokter Waka yang kamu kenalkan padaku itu bagus juga. Setelah dua hari ini aku bicara dan diskusi dengannya, sepertinya kondisi tidur berjalanku tampak berkurang dengan jelas.”
“Bagus sekali kalau begitu.” kataku.
Lalu Lastri tampak masih saja tidak ingin pergi, dia berkata lagi, “Ada lagi, aku sedang menulis kisah mengenai detektif yang menangkap seorang pengedar narkoba, menggunakan seni bela diri. Kamu apa bisa membantuku melihat apa ada celah atau kekurangan di dalamnya. Nanti aku bisa mengubahnya ketika pulang nanti”
“Ini sudah terlalu larut malam, besok saja ya.” membiarkan seorang wanita pembunuh tetap tinggal di rumahku, hatiku jelas akan ketakutan sekali dan was-was.
“Tidak masalah juga, kalau begitu besok deh. Oh iya, gadis yang datang kemarin malam ke rumahmu, memangnya punya hubungan apa denganmu.”
“Yang kamu maksud Ladira, hanya teman biasa. Hubungan kami seperti sahabat seperguruan.” Jelasku.
Lastri tertawa, dia berjalan, “Baguslah kalau begitu. Oke aku pulang dulu ya.”
“Em, iya. Jangan lupa bawa pulang mangkuknya.” Aku buru-buru mengingatkan.
Lastri mengambil mangkuk keramiknya, lalu ketika berjalan menuju pintu, dia berhenti lagi, berbalik dan berkata, “Wenas, bolehkah aku bertanya satu pertanyaan saja?”
“Pertanyaa apa?” aku tercengang.
“Jika, aku bilang jika di hatimu akhirnya bisa melepaskan dan mengikhlaskan Fela, apa kamu bersedia untuk mempertimbangkan aku.” kata Lastri dengan tatapan mata penuh harapan memandang diriku.
Pada saat itu, aku melihat keramahan dan perasaan yang dalam di matanya.
Dalam sekejap, hatiku benar-benar sangat kacau dan rumit sekali. Tidak tahu harus berkata apa. Jika tidak tahu dia membunuh orang dan memasak menjadi sup daging, mungkin aku benar-benar bisa ragu-ragu menjawab ini.
Tapi sekarang, dia di mataku seperti iblis. Hanya sekarang kembali berubah ke bentuk manusia saja.
“Tidak mungkin.” Kataku sambil menghela napas dalam-dalam.
“Kenapa?” siapa juga yang tahu Lastri lagi-lagi berjalan menghampiri sampai ke depanku, “Aku yang tidak terlalu baikkah, atau aku yang kurang cantik dari Fela? Apa tubuhku kurang bagus darinya?”
“Bukan, aku punya alasanku sendiri.” aku terkejut dan ketakutan. Aku pun langsung mundur.
Lastri tiba-tiba mengerutkan kening, “Kamu khawatir dengan sakit tidur berjalanku ini. Kamu tenang saja, Dokter Waka sudah bilang kalau aku hanya perlu bekerja sama baik dengan perawatan dan pengobatan. Maka segera aku akan sembuh sepenuhnya.”
“Bukan karena alasan ini.”
Kalau begitu karena alasan apa?” Lastri mulai emosi.
“Maaf sekali, perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Kamu kamu pulang dulu saja.” kataku mulai sedikit cemas.
Lastri tidak hanya tidak pergi, dia malah menaruh lagi mangkuk keramik itu, lalu tepat di depanku melepaskan satu persatu pakaian yang dikenakannya.
Pertama dia melepaskan jaketnya, lalu menunjukkan kulitnya yang begitu lembut dan cerah serta seputih salju itu, lalu terlihat dua buah bola bundar yang dibungkus bra hitam di dadanya, bagian pinggang yang begitu ramping serta bokongnya, lalu celana dalam berenda warna ungu yang menutupi area misterius di sana. Dua kaki yang begitu panjang, putih dan lembut yang seolah menarik godaan dan pesona besar untuk orang lain.
Selanjutnya, dia bahkan melepaskan pakaian terakhir yang menempel di tubuhnya. Seluruh tubuhnya yang sudah telanjang tanpa memakai satupun pakaian berdiri dan terlihat jelas di depan mataku.
Jika dulu, dorongan dalam diriku pasti sudah datang dari tadi dan reaksi tubuhku pasti suatu bagian di celanaku akan naik setinggi tingginya. Tapi sekarang, aku tidak punya dan tidak merasakan dorongan sedikitpun, bahkan merasa kalau wanita ini benar-benar orang gila.
“Wenas, kamu pasti sangat kesepian. Walaupun terkahir kali kamu menolakku. Tapi aku bisa merasakan kebutuhan dan keinginan dari tubuhmu. Sini, aku akan memuaskanmu, dan kamu juga tolong puaskan aku. Di masyarakat sekarang ini, pacar yang sudah putus kenapa juga masih begitu keras kepala? Bukankah bagi orang yang paling penting adalah membuat diri sendiri bahagia?”
Wajah Lastri memerah, muncul keinginan dan hasrat di matanya. Dia berjalan perlahan menghampiriku.
Aku ketakutan dan terus mundur, “Kamu jangan mendekat. Aku dan kamu tidak akan pernah mungkin.”
“Kamu sepertinya sangat takut padaku. Kenapa? Padahal aku tak berbahaya sama sekali. Hanya seorang penulis wanita saja. apa kamu berpikir, jika dari hari ini kita bisa bersama, bukankah kita pasti bahagia?" kata Lastri dan tak berhenti mendekat padaku.
“Wenas, tidak tahu kenapa. Aku sangat menyukaimu.” Aku sudah sampai seperti ini padamu. Apa kamu masih saja tidak tersentuh sedikitpun denganku? Aku sangat menginginkanmu. Aku ingin mendapatkan tubuh dan hatimu.”
Lastri langsung bergegas mau memelukku, tubuhku langsung bergerak menghindari tubuhnya. Selanjutnya, aku mengambil asbak kaca di atas meja kopi dan membantingnya tepat ke kepala Lastri.
Lastri gemetar dan menatapku dengan mata membelalak lebar, mungkin dia tidak mengira aku akan menyerangnya tiba-tiba. Matanya berputar sejenak ke atas, lalu pingsan, pada saat yang sama darah mengalir dari kepalanya.
“Maafkan aku, Lastri, meskipun kamu orang baik tapi perbuatan dan tingkah lakumu terlalu menakutkan.” Kataku sambil lebih dulu membantunya mengenakan baju di tubuhnya. Lalu, aku mencari tali dan mengikatnya.
Novel Terkait
Behind The Lie
Fiona LeeTernyata Suamiku Seorang Milioner
Star AngelMata Superman
BrickCinta Yang Dalam
Kim YongyiLove And Pain, Me And Her
Judika DenadaEverything i know about love
Shinta CharityMy Beautiful Teacher×
- Bab 1 Mengintip
- Bab 2 Katup Air Rusak
- Bab 3 Minum Anggur
- Bab 4 Gerakan Di Kamar Mandi
- Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
- Bab 6 Kesalahpahaman Larut Malam
- Bab 7 Dalam Jangkauan
- Bab 8 Asis Yang Kesal
- Bab 9 Tidak Tau Diuntung
- Bab 10 Peminat Sewa Yang Baru
- Bab 11 Godaan Fela
- Bab 12 Wanita Muda Yang Berseni
- Bab 13 Orang Aneh
- Bab 14 Pengalaman Hidup
- Bab 15 Toilet Wanita
- Bab 16 Dadanya Membesar
- Bab 17 Mengobrol
- Bab 18 Pertunjukan Pinggir Jalan
- Bab 19 Gedung Pengajaran
- Bab 20 Bar Romantis
- Bab 21 Membuat Masalah
- Bab 22 Terluka
- Bab 23 Belum Mulai pun Sudah Berpisah
- Bab 24 Panggil Aku Kakak
- Bab 25 Tiga Lembar Tiket Bioskop
- Bab 26 Kesalahan Adalah Kesalahan
- Bab 27 Mantan Pacar Fela
- Bab 28 Gym Seni Bela Diri
- Bab 29 Pelatih Yang Keras
- Bab 30 Keterampilan Khusus
- Bab 31 Sisi Lain Ramya
- Bab 32 Pergi Ke Suatu Tempat
- Bab 33 Memecahkan Kesalahpahaman
- Bab 34 Merasa Tercerahkan
- Bab 35 Bobby
- Bab 36 Bertarung
- Bab 37 Berpikiran sempit
- Bab 38 Serangan balik putus asa
- Bab 39 Luar dingin dalam panas
- Bab 40 Kecelakaan
- Bab 41 Persyaratan Asis
- Bab 42 Penemuan Theo
- Bab 43 Bergegas Ke Hotel
- Bab 44 Tidak Tahan Lagi
- Bab 45 Tertangkap Basah
- Bab 46 Memilih Untuk Memaafkannya
- Bab 47 Pencuri
- Bab 48 Menggeledah Tubuh
- Bab 49 Orang Yang Benar Akan Bersikap Benar
- Bab 50 Rencana Gagal
- Bab 51 Penyewa Baru
- Bab 52 Guru Tony
- Bab 53 Diva Masa Depan
- Bab 54 Curahan Hati
- Bab 55 Teknik Pedang
- Bab 56 Reuni Teman Sekolah
- Bab 57 Menunjukkan keterampilan bela diri
- Bab 58 Tiga pengawal
- Bab 59 Rizal Membuat Onar
- Bab 60 Keputusan yang menyakitkan
- Bab 61 Mabuk
- Bab 62 Negosiasi
- Bab 63 Pesan Terakhir
- Bab 64 Harapan Yang Tinggi
- Bab 65 Undangan Dari Lastri Wahyuni
- Bab 66 Bertemu Ramya Lagi
- Bab 67 Mencambuk Wanita
- Bab 68 Mengajari Awang
- Bab 69 Listrik Putus
- Bab 70 Hal Yang Aneh
- Bab 71 Kehilangan Akal Sehat
- Bab 72 Bahu Yang Bisa Disandar
- Bab 73 Panggilan Telepon Dari Hafid Waka
- Bab 74 Tamu Yang Tidak Diundang
- Bab 75 Dojo Jangga
- Bab 76 Lebih Mudah dan Terampil
- Bab 77 Peringatan Instruktur Louis
- Bab 78 Membayar
- Bab 79 Meminta Maaf Dengan Canggung
- Bab 80 Panti Asuhan
- Bab 81 Semangkuk Sup Daging
- Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
- Bab 83 Ditangkap
- Bab 84 Serangan Diam-Diam
- Bab 85 Membuat Masalah Pada Saat Putus Asa
- Bab 86 Memotong Alat Kelamin
- Bab 87 Kematian Awang
- Bab 88 Kompetisi Bela Diri Nasional
- Bab 89 Dompet Dicuri
- Bab 90 Acara Pembukaan
- Bab 91 Bertemu Adalah Jodoh
- Bab 92 Ada Yang Menyewa Tempat
- Bab 93 Rayakan Ulang Tahun Guru
- Bab 94 Tinju Satu Inchi
- Bab 95 Kompetisi Secara Resmi
- Bab 96 Lawan Di Babak Pertama
- Bab 97 Kekuatan Yang Hebat
- Bab 98 Mengubah Kekalahan Menjjadi Kemenangan
- Bab 99 Shao Lin Chang Quan
- Bab 100 Mencapai Ketenangan
- Bab 101 Tidak Mau Kalah
- Bab 102 Menang
- Bab 103 Sahabat Baik, Anita
- Bab 104 Memandang Rendah
- Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal
- Bab 106 Kakak dari Ardi
- Bab 107 Teknik Pedang Mematikan
- Bab 108 Takdir
- Bab 109 Aura Pembunuh
- Bab 110 Petarung Yang Kuat
- Bab 111 Tiga Puluh Empat Besar
- Bab 112 Teknik Bantingan Dan Pelepasan Tulang