My Beautiful Teacher - Bab 109 Aura Pembunuh

“9, 8, 7, 6..” Wasit mulai berhitung mundur.

Di bawah arena, Ladira, Arif dan yang lain semua berteriak kepadaku.

“Cepat bangun, Wenas!”

“ Kak Wenas, kamu adalah satu-satunya harapan bagi dojo kita, jangan kalah disini.”

“Semangat, ayo bangun.”

Aku menarik nafas dalam, menggertakkan gigi, nadi di atas kepalaku pun langsung muncul, pada akhirnya menahan rasa sakit yang datang, mengangkat pedang dan bangkit berdiri.

Yang lain pun menghela nafas lega:” Bagus, semangat Wenas.”

Roni yang berdiri di hadapanku pun terlihat sedikit kaget:” Tidak terpikir, kamu masih bisa bangkit berdiri, namun begini juga baik, pelajaran yang baru saja diberikan kepadamu terlalu ringan, aku akan membuatmu merasakan apa yang disebut rasa sakit dan putus asa yang sebenarnya.”

Ketika selesai mengatakannya, Roni kembali maju ke arahku, kedua lengannya seperti dua ekor belalang yang menyerangku dengan ganas.

Kecepatan ini jauh lebih cepat dari sebelumnya, aku terkejut, menggertakkan gigi dan kembali menghindari bahaya.

Kemudian Roni terus mengejar, kembali melakukan penyerangan.

Aku buru-buru memblokir dengan pedang, namun dia menendang dengan kakinya ke arah perutku, aku tersandung dan mundur beberapa langkah, hampir saja kembali tersandung jatuh.

Roni terlihat sangat bangga, tertawa dan kembali menyerang.

Aku tidak berani kembali memblokir, buru-buru mengelak dengan memutarinya.

Instruktur Louis di luar lapangan tiba-tiba berkata dengan suara keras, "Apakah kamu lupa apa yang aku katakan padamu siang ini?"

Aku terkejut, apa yang dikatakan Instruktur Louis kembali muncul di benakku.

Teknik pedang pembunuh untuk menghadapi lawan yang lebih percaya diri dibanding dirinya, harus dipenuhi tekad untuk membunuh lawan.

Dan aku yang menggunakan pedang pembunuh ini menjadi bahan tertawaan orang banyak, karena hanya menggunakan gerakan paling luar saja, sama sekali tidak menunjukkan esensinya.

"Bayangkan musuhmu ini adalah orang yang membunuh ayahmu, harus menghadapi dia dengan tekad untuk membunuh." Kata-kata Instruktur Louis kembali terbayang di benakku.

Aku yang pada awalnya sudah kehilangan semangat bertarung, pandangan mataku perlahan-lahan menjadi yakin, sambil melihat Roni yang kembali menyerangku.

Aku berteriak singkat, tidak mundur dan melakukan serangan balasan, pedang panjang itu membuat sudut seperti sambaran petir di udara dan menusuk ke arah dahinya.

Roni berteriak, tubuhnya menunduk seperti seekor binatang buas, menghindari tusukan pedang panjangku dan pada saat yang sama membalas, dua pukulan belalang, kali ini menghantam wajahku, selain itu memukul pada tempat yang sama dengan dua pukulan berturut-turut.

Langsung terasa rasa sakit tidak tertahankan pada hidungku, seakan ada cairan yang mengalir turun dari dalam hidung, dari kedua mataku juga bertaburan bintang-bintang, pada saat itu terasa seluruh dunia sedang bergoyang, langsung membuatku jatuh telentang.

Kemudian aku mendengar banyak orang berteriak, memberi semangat untukku.

"Haha, pukulan yang bagus, sampah sepertimu memang harus dipukul seperti itu, lihat apakah kedepannya dia masih segila itu, berani memukul, cari mati."Ardi di luar arena tertawa penuh kemenangan.

Wasit kembali berlari dan mulai menghitung mundur.

Roni berjalan ke hadapanku, hanya ada wasit di antara kami, menatapku dari atas, dengan dingin berkata: "Walaupun kamu cukup baik, namun kamu tidak tahu apa yang dinamakan rasa hormat, kamu memukul adikku adalah kesalahanmu, menjadi orang yang tidak pernah dididik, apakah ayah dan ibumu tidak mengajarimu apa yang dinamakan pendidikan, mungkin orang tuamu sama denganmu, seorang anak pasti memiliki ayah, aku melihat kalian tidak berpendidikan sama sekali, lain kali jangan bertindak seperti preman, jadilah orang yang sedikit rendah hati, jika tidak mungkin akan dihajar lebih parah dari ini."

Seluruh tubuhku bergetar, pada awalnya sudah sangat pusing, mengepalkan kepalan tangan juga masih tidak bisa berdiri.

Tetapi ketika mendengar apa yang dikatakan Roni, kemarahan dan kebencian di hati pun langsung bangkit.

Dia bisa memarahiku dan aku tidak akan merasakan apapun, namun Roni justru memaki orang tuaku, mengatakan mereka tidak berpendidikan, sesuatu hal yang sulit untuk ditahan.

Wasit masih melanjutkan menghitung mundur "5, 4, 3, 2.."

Dalam sekejap akan menghitung hingga nol, yang berarti aku akan tereliminasi.

Teman-teman di luar arena masih berteriak dan bersorak untukku.

Pada saat kritis ini, aku menggunakan kebencian dan kemarahan dalam hatiku, gigiku pun sudah digertakkan hingga mau hancur, menggunakan seluruh tenaga dalam tubuhku, menahan rasa sakit dengan kuat, menggunakan pedang untuk menopang di tanah, aku kembali bangkit berdiri dengan gemetar.

Jika bukan karena pedang yang terus menopang tanah, aku khawatir aku kapan saja bisa terjatuh.

Aku menyeka hidung dan tanganku pun berlumuran darah.

Aku bisa membayangkan betapa memalukan dan menyedihkannya tampangku saat ini.

Ladira di luar lapanagan pun berteriak dengan cemas, "Wenas, sudahlah! Jangan berkelahi lagi, menyerah saja, kamu bisa dipukuli hingga tewas."

Kemarahan di mataku kembali bergejolak, langsung memelototi Roni, mengertakkan gigi dan berkata: "Mengapa kamu harus memaki orang tuaku?"

“Apa yang aku katakan adalah fakta, hanya orang tua yang tidak berpendidikan lah yang bisa melahirkan bajingan sepertimu.” Selain sedikit keterkejutan di wajah Roni, di wajahnya lebih banyak tersirat kegilaan dan rasa angkuh.

Wasit bertanya dengan perhatian: "Peserta Wenas, apakah kamu masih bisa melanjutkan pertandingan?"

"Tidak apa-apa, aku masih bisa bertarung." Aku berkata sambil mengertakkan gigi.

Wasit mengumumkan pertandingan dilanjutkan dan turun dari arena.

Detik berikutnya, Roni kembali menyerang ke arahku.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, ketika aku membuka mata, rasa benci dan marah kembali berkobar di mataku.

Menggunakan tekad yang kuat, aku menaikkan pedang di tangan, aura membunuh yang kuat pun mulai menyebar.

Roni yang maju ke ke arahku pun langsung merasakan hal yang tidak beres.

Pandangannya terlintas rasa terkejut, namun masih dengan tanpa ragu menyerangku, kedua tangan seperti belalang itu kembali menyerang dari sudut yang rumit.

"Bunuh"

Aku berteriak singkat, menusukkan pedang di tangannku ke depan, tanpa kemewahan sama sekali.

Namun pada gerakan tusukan pedang kali ini, aku hanya memusatkan kemarahan dan kebencianku pada pedang panjang itu.

Ekspresi Roni berubah dari terkejut menjadi shock dan kemudian berubah menjadi ekspresi ngeri.

Dia bisa merasakan dengan jelas hal yang buruk, ingin mundur namun sudah terlambat.

Pedang panjang itu seperti kilat yang menembus awan, seperti guntur yang menggelegar membawa rasa membunuh yang tidak bisa dibendung, menerobos semuanya, ujung pedang itu menusuk dua sentimeter dari lehernya.

Dalam sekejap, penonton terdiam, seakan yang terdengar hanyalah suara getaran pedang di lehernya dan suara Roni yang menelan ludah ketakutan.

Butir-butir keringat mulai berjatuhan dari keningnya, tubuhnya pun mulai bergetar, pandangan mata yang melebar, melihat pedang panjang di depannya dengan ngeri.

“Peserta Wenas berhasil menundukan lawannya, babak ini dimenangkan oleh peserta Wenas.” Bahkan wasit sempat terpana beberapa detik sebelum akhirnya bereaksi dan mengumumkan hasil dengan lantang.

Pada saat berikutnya mulai terdengar suara sorak-sorai dan teriakan yang meledak dari penonton.

"Wenas luar biasa"

"Kak Wenas hebat sekali"

"Baguslah menang lagi, sekarang bisa melaju ke 34 besar"

Namun pada saat itu pikiranku menjadi pusing, aku tidak melepaskan pedang, tubuh Roni masih terus bergetar, seakan tidak berani menggerakkan setengah inci pun, seakan bisa merasakan aura pembunuh dariku.

Aku berbalik untuk melihat Ardi di luar arena.

Ekspresi Ardi sangat kesal, dia mengepalkan tinjunya, mengertakkan gigi dan tidak bisa berkata-kata, selain itu, juga bisa merasakan rasa takut dari matanya.

Aku akhirnya tidak bisa menahannya lagi, pedang panjang di tanganku langsung terlepas dan aku pun langsung terjatuh.

Sebelum aku tidak sadarkan diri, aku masih mendengar seruan kaget dari penonton, yang kemudian mulai bergegas mendekat.

Instruktur Louis langsung mengggendongku.

Pandangan mataku kabur, kedua bola mataku berputar dan mulai kehilangan kesadaran.

Novel Terkait

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Cinta Adalah Tidak Menyerah

Clarissa
Kisah Cinta
5 tahun yang lalu
Mr Lu, Let's Get Married!

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu
Dewa Perang Greget

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu
Be Mine Lover Please

Be Mine Lover Please

Kate
Romantis
4 tahun yang lalu
Cinta Yang Dalam

Cinta Yang Dalam

Kim Yongyi
Pernikahan
4 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Innocent Kid

Innocent Kid

Fella
Anak Lucu
4 tahun yang lalu
The Great Guy

The Great Guy

Vivi Huang
Perkotaan
4 tahun yang lalu