My Beautiful Teacher - Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
Ramya jelas-jelas terkejut, dia menarik tangannya sambil menatapku, tapi aku memegangnya dengan kuat, membuatnya tidak bisa membebaskan diri.
Wajahnya yang cantik berubah merah, tetapi dia tidak bisa melepaskan tangannya setelah memberontak beberapa kali. Akhirnya, dia berhenti dan memalingkan wajahnya untuk melihat Awang.
Aku sangat senang, Ramya menyerah dan tidak membangunkan Awang atau mengadu kepada orang lain. Apakah itu berarti dia setuju dengan tindakanku?
Tangan Ramya kecil, halus dan putih, seperti batu giok dan juga tampak sangat lembut. Aku sedikit mengendurkan kekuatanku, memegangnya di tanganku sendiri, benar-benar membuat hatiku bergetar.
Kurasa perasaan yang disebut kecantikan adalah seperti itu.
Pada saat ini, wajahnya memerah, kepalanya menoleh ke satu sisi. Aku bisa menikmati wajah samping yang indah. Lehernya yang putih seperti wajahnya yang lembut dan halus. Antingnya yang cantik berayun dengan pelan, memancarkan cahaya seseorang.
Hatiku berdebar kencang, ada kegembiraan yang tak terkatakan, tidak bisa menahan diri untuk bermain dengan tangannya. Tanpa diduga, pada saat ini, Ramya tiba-tiba menepuk suaminya dengan tangan yang lain.
Awang membuka matanya, masih sedikit mengantuk dan menatap istrinya dengan tatapan bingung.
Ramya berkata: “Mari kita tukar posisi, aku ingin melihat pemandangan di luar jendela.”
Awang duduk di sebelah jendela, jelas ini menjadi alasannya untuk menyingkirkan aku, dia berdiri saat dia berkata.
Aku terkejut dan melepaskannya tanpa sadar.
Kemudian dia bertukar posisi dengan suaminya.
Hatiku merasa malu dan canggung, jadi hanya bisa melihat Ramya melalui Awang.
Ramya selalu menoleh untuk melihat ke luar jendela, tanpa niat untuk berbalik.
Tetapi melihat wajah sampingnya, masih sedikit memerah. Dia mungkin tidak nyaman dengan tindakan yang kulakukan tadi.
Tetapi bagaimanapun, dia tidak memberi tahu suaminya tentang masalah itu, mungkin juga semacam dorongan bagiku.
Setelah berkendara lebih dari dua jam, kita akhirnya sampai Pundak Bogor di kota B.
Pundak Bogor adalah objek wisata nasional 4A dengan ketinggian lebih dari 1.400 meter. Tempat ini menarik wisatawan dari seluruh negeri.
Dan hari ini adalah Hari Nasional, baik atas gunung maupun bawah gunung, benar-benar penuh dengan orang, tidak kalah dengan pemandangan di kota saat aku masih muda.
Kita mengikuti pemandu wisata ke gerbang gunung, tiket tentu saja dibeli oleh pemandu wisata.
Ada tiga kuil di atas gunung, serta tempat-tempat wisata seperti gua peri, jembatan gantung rantai dan kereta gantung.
Tentu saja, aku tidak tertarik pada objek wisata di Pundak Bogor, karena perhatianku tertuju pada Ramya.
Karena ketinggiannya terlalu tinggi, jadi kita perlu naik bus untuk naik gunung. Kali ini aku duduk terpisah dengan Ramya, dia dan Awang duduk di depan dan aku duduk di belakang.
Ketika kita tiba di tempat wisata, semua orang turun dari bus dan pemandu wisata membawa kita ke kuil untuk membakar dupa.
Tangga batu menuju kuil tinggi dan curam. Aku mendengar dari pemandu wisata bahwa ada 3000 anak tangga. Sebagian besar wisatawan memilih naik kereta gantung.
Yang mengejutkan aku adalah bahwa Ramya yang tampaknya lemah bersikeras untuk mendaki gunung, dia mengatakan bahwa dengan begini akan terlihat tulus dan juga bisa melatih tubuhnya.
Awang memanjat sebentar saja sudah tidak mampu lagi.
Malahan Ramya, meskipun dia berkeringat dan wajahnya memerah karena kelelahan, tapi dia masih tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti.
Jadi aku dan Ramya menaiki tangga batu bersama. Tak lama, kita sudah meninggalkan Awang, Milen dan Mitchell.
Aku berada di depan Ramya, berkali-kali menoleh ke belakang untuk melihatnya, bahkan memiliki keinginan untuk menariknya.
Wajah Ramya memerah karena kelelahan, pakaiannya hampir basah. Gaun terusan hitam itu melekat erat pada tubuhnya, jelas menunjukkan siluet yang berisi dan pinggang yang ramping, membuatku berdebar.
Tiba-tiba, Ramya berhenti dan berdiri di tangga, memegang dahinya dan tubuhnya sedikit bergetar.
Aku ketakutan, bergegas menuruni tangga, berlari ke arahnya, menopangnya dan bertanya dengan khawatir: “Apakah kamu baik-baik saja?”
Wajah Ramya pucat, penuh keringat, suaranya terengah-engah dan bahkan tidak bisa berbicara.
Aku dengan cepat membantunya duduk di tangga teduh, lalu mengeluarkan air mineral di dalam tas dan menyerahkannya kepadanya.
Karena tas mereka ada di Awang, jadi Ramya tidak membawa air.
Ramya minum lebih dari setengah botol, raut mukanya akhirnya membaik.
Aku berkata: “Tadi membuatku takut setengah mati, bagaimana perasaanmu sekarang?”
Ramya melambaikan tangannya dan berkata bahwa dia baik-baik saja dengan terengah-engah.
Pada saat ini, aku duduk di sampingnya, satu tangan hampir menyentuh pinggulnya.
Mungkin karena kelelahan, jadi Ramya tidak menyadari.
Walaupun aku sangat lelah, tapi tidak dapat menahan kegembiraan di hatiku, aku tidak bisa menahan diri untuk mendekatinya dan kita hampir duduk berdempetan.
Tanganku menyentuh pantatnya yang berisi dan lembut. Tidak hanya itu, aku tidak sengaja menundukkan kepala, melalui kerah Ramya, aku melihat dua biji seputih salju yang berkeringat, terbungkus bra hitam.
Aku tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah, lalu mataku beralih ke dua kaki yang ramping dan halus.
Ramya sangat tinggi, kakinya sangat ramping, kulitnya yang putih dan halus terlihat sangat memikat.
Hatiku sedikit impulsif, aku awalnya ingin melakukan beberapa tindakan yang berani, tapi tidak menyangka Awang mereka bertiga sudah naik.
Aku berdiri tanpa sadar, tersenyum dan berkata: “Kalian sangat cepat.”
Semua orang beristirahat sebentar, baru lanjut mendaki ke kuil di gunung. Sesampainya di kuil dan sembahyang, aku juga menyumbangkan empat ratus ribu uang kebajikan.
Tanpa diduga, ketika semua orang bermain di belakang gunung, Ramya tiba-tiba mengatakan bahwa dia telah kehilangan anting-antingnya.
Mata kita tertuju pada telinganya dan ternyata satu-satunya anting yang dia kenakan saat dia naik gunung, sekarang hanya sisa yang sebelah kanan.
Awang bertanya di mana dia menjatuhkannya.
Ramya berkata bahwa antingnya masih ada ketika keluar dari kuil, mungkin jatuh di belakang gunung.
Semua orang membantunya mencari, tapi tidak menemukannya.
Awang berkata, lupakan saja dan dia akan beli lagi untuknya nanti.
“Kamu membelikan ini untukku ketika kita menikah, ini adalah kenangan, tidak bisa jatuh begitu saja.”
Ramya bersikeras untuk menemukannya.
Awang lelah, jadi dia mencari pohon besar untuk duduk dan melambaikan tangannya.
Wajah Ramya menjadi kaku dan dia terus mencari sendirian.
Aku buru-buru mengikutinya begitu melihatnya pergi mencari dan berkata: “Aku menemani kamu untuk mencarinya.”
Dia mengangkat kepalanya dan menatapku, raut wajahnya sedikit memerah, kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya, hanya menjawab “Hmm” dengan lembut dan lanjut mencari.
Tidak ada objek wisata di belakang gunung, jadi wisatawan hanya sedikit, Ramya mengikuti jalan yang telah dia lewati untuk mencarinya dan perlahan-lahan sampai ke kedalaman hutan pegunungan.
Tiba-tiba mataku berbinar, aku melihat sesuatu bersinar di rerumputan.
Aku berjalan, menyingkirkan rumput dan segera menemukan anting-antingnya, mengambilnya dan berkata dengan gembira: “Aku menemukannya!”
Aku mengambil anting-anting itu untuk ditunjukkan padanya, Ramya berlari dengan gembira dan mengambilnya dariku, dengan senyum bahagia seperti anak kecil.
Dia ingin memakai anting-anting itu setelah berterima kasih padaku, mungkin karena kegembiraan, dia tidak bisa memakainya untuk waktu yg lama.
Aku berkata aku membantumu.
Ramya cemberut dan melirik padaku, dia tidak berbicara, artinya dia setuju.
Aku mengambil anting-anting itu, melihat pipi putih dan daun telinganya yang bulat. Aku bisa mencium aroma tubuhnya dari jarak yang begitu dekat.
Aku merasa impulsif lagi, ketika aku memasang anting-anting padanya, aku tiba-tiba mencium wajahnya.
Ramya menggigil, menoleh dan menatapku dengan tatapan linglung.
Aku juga mempertaruhkan segalanya, mengertakkan gigi, memeluk Ramya yang belum bereaksi dan berkata dengan semangat: “Bu Ramya, aku menyukaimu!”
Novel Terkait
Pria Misteriusku
LylyCEO Daddy
TantoMy Secret Love
Fang FangCinta Seorang CEO Arogan
MedellineDon't say goodbye
Dessy PutriThe Gravity between Us
Vella PinkyThe Comeback of My Ex-Wife
Alina QueensWanita Yang Terbaik
Tudi SaktiMy Beautiful Teacher×
- Bab 1 Mengintip
- Bab 2 Katup Air Rusak
- Bab 3 Minum Anggur
- Bab 4 Gerakan Di Kamar Mandi
- Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
- Bab 6 Kesalahpahaman Larut Malam
- Bab 7 Dalam Jangkauan
- Bab 8 Asis Yang Kesal
- Bab 9 Tidak Tau Diuntung
- Bab 10 Peminat Sewa Yang Baru
- Bab 11 Godaan Fela
- Bab 12 Wanita Muda Yang Berseni
- Bab 13 Orang Aneh
- Bab 14 Pengalaman Hidup
- Bab 15 Toilet Wanita
- Bab 16 Dadanya Membesar
- Bab 17 Mengobrol
- Bab 18 Pertunjukan Pinggir Jalan
- Bab 19 Gedung Pengajaran
- Bab 20 Bar Romantis
- Bab 21 Membuat Masalah
- Bab 22 Terluka
- Bab 23 Belum Mulai pun Sudah Berpisah
- Bab 24 Panggil Aku Kakak
- Bab 25 Tiga Lembar Tiket Bioskop
- Bab 26 Kesalahan Adalah Kesalahan
- Bab 27 Mantan Pacar Fela
- Bab 28 Gym Seni Bela Diri
- Bab 29 Pelatih Yang Keras
- Bab 30 Keterampilan Khusus
- Bab 31 Sisi Lain Ramya
- Bab 32 Pergi Ke Suatu Tempat
- Bab 33 Memecahkan Kesalahpahaman
- Bab 34 Merasa Tercerahkan
- Bab 35 Bobby
- Bab 36 Bertarung
- Bab 37 Berpikiran sempit
- Bab 38 Serangan balik putus asa
- Bab 39 Luar dingin dalam panas
- Bab 40 Kecelakaan
- Bab 41 Persyaratan Asis
- Bab 42 Penemuan Theo
- Bab 43 Bergegas Ke Hotel
- Bab 44 Tidak Tahan Lagi
- Bab 45 Tertangkap Basah
- Bab 46 Memilih Untuk Memaafkannya
- Bab 47 Pencuri
- Bab 48 Menggeledah Tubuh
- Bab 49 Orang Yang Benar Akan Bersikap Benar
- Bab 50 Rencana Gagal
- Bab 51 Penyewa Baru
- Bab 52 Guru Tony
- Bab 53 Diva Masa Depan
- Bab 54 Curahan Hati
- Bab 55 Teknik Pedang
- Bab 56 Reuni Teman Sekolah
- Bab 57 Menunjukkan keterampilan bela diri
- Bab 58 Tiga pengawal
- Bab 59 Rizal Membuat Onar
- Bab 60 Keputusan yang menyakitkan
- Bab 61 Mabuk
- Bab 62 Negosiasi
- Bab 63 Pesan Terakhir
- Bab 64 Harapan Yang Tinggi
- Bab 65 Undangan Dari Lastri Wahyuni
- Bab 66 Bertemu Ramya Lagi
- Bab 67 Mencambuk Wanita
- Bab 68 Mengajari Awang
- Bab 69 Listrik Putus
- Bab 70 Hal Yang Aneh
- Bab 71 Kehilangan Akal Sehat
- Bab 72 Bahu Yang Bisa Disandar
- Bab 73 Panggilan Telepon Dari Hafid Waka
- Bab 74 Tamu Yang Tidak Diundang
- Bab 75 Dojo Jangga
- Bab 76 Lebih Mudah dan Terampil
- Bab 77 Peringatan Instruktur Louis
- Bab 78 Membayar
- Bab 79 Meminta Maaf Dengan Canggung
- Bab 80 Panti Asuhan
- Bab 81 Semangkuk Sup Daging
- Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
- Bab 83 Ditangkap
- Bab 84 Serangan Diam-Diam
- Bab 85 Membuat Masalah Pada Saat Putus Asa
- Bab 86 Memotong Alat Kelamin
- Bab 87 Kematian Awang
- Bab 88 Kompetisi Bela Diri Nasional
- Bab 89 Dompet Dicuri
- Bab 90 Acara Pembukaan
- Bab 91 Bertemu Adalah Jodoh
- Bab 92 Ada Yang Menyewa Tempat
- Bab 93 Rayakan Ulang Tahun Guru
- Bab 94 Tinju Satu Inchi
- Bab 95 Kompetisi Secara Resmi
- Bab 96 Lawan Di Babak Pertama
- Bab 97 Kekuatan Yang Hebat
- Bab 98 Mengubah Kekalahan Menjjadi Kemenangan
- Bab 99 Shao Lin Chang Quan
- Bab 100 Mencapai Ketenangan
- Bab 101 Tidak Mau Kalah
- Bab 102 Menang
- Bab 103 Sahabat Baik, Anita
- Bab 104 Memandang Rendah
- Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal
- Bab 106 Kakak dari Ardi
- Bab 107 Teknik Pedang Mematikan
- Bab 108 Takdir
- Bab 109 Aura Pembunuh
- Bab 110 Petarung Yang Kuat
- Bab 111 Tiga Puluh Empat Besar
- Bab 112 Teknik Bantingan Dan Pelepasan Tulang