My Beautiful Teacher - Bab 24 Panggil Aku Kakak
Hatiku yang sesak dan buruk ini menenang karena catatannya, merasakan sedikit kehangatan.
Tapi bagaimanapun juga, aku harus menjelaskan kepada Ramya sampai mengerti.
Dia mungkin marah padaku dua hari ini, setelah dua hari ini, ketika amarahnya sudah reda, aku akan mencari cara untuk menjelaskan kepadanya.
Ketika jam 8 malam, Fela sudah pulang.
Aku bertanya dengan heran: “Kenapa kamu pulang secepat ini?”
Alih-alih malu dengan kejadian tadi malam, sebaliknya, dia melempar gitar ke sofa, lalu mencibir dan mengomel: “Aku kesal banget.”
“Siapa yang membuat Nona Fela kami marah?” tanyaku ragu-ragu.
“Pemilik bar memecatku, dia bilang aku tidak menghormati para tamu, ada tiga tamu yang komplain tentangku, dan mereka semua bos yang kaya dan berkuasa, dia tidak mungkin menyinggung perasaan mereka, jadi dia memecatku. Ini pasti kerjaan bajingan Asis ! Dia tidak hanya menyuruh preman untuk membalas dendam, tetapi juga membuatku kehilangan pekerjaan, dia pasti akan mati mengenaskan!” ucap Fela marah.
“Tenang, untuk apa kamu peduli dengan orang seperti itu.” Aku bangkit dan menuangkan air untuk Fela dan terus menghiburnya: “Kamu kan jago bernyanyi, tinggal pindah ke bar lain saja, walaupun Asis kaya dan berkuasa, tapi dia juga tidak bisa menutup kebenarannya dari publik.”
Dengan bujukanku, ekspresi Fela menenang, dia meminum air di gelas dengan satu tegukan, dan berkata: “Akhirnya kamu mengakui suaraku bagus.”
Aku tertawa dan berujar: “Itu karena aku lagi menghiburmu, jangan menganggapnya serius.”
Fela marah dan membenturkan kepalanya padaku.
Aku mengulurkan tanganku dan mengambilnya, luka di lenganku tersentuh, membuatku meringis kesakitan.
“Aduh, aku lupa kamu masih terluka, maafkan aku, kamu baik-baik saja kan?” Fela segera bangkit dan memapahku duduk di sofa, dia bertanya dengan khawatir.
Aku tertawa: “Aku cuma membohongimu, cuman luka sepele doang kok, hari ini sudah jauh lebih baik setelah dioles obat.”
“Oke, berani kamu membohongiku!”
Fela mencubit pinggangku tanpa ampun, membuatku meringis kesakitan dan memohon belas kasihan.
“Panggil aku kakak dan aku akan mengampunimu.”
“Kakak, kakak baik, cepat lepaskan!”
“Baiklah.” Fela tertawa penuh kemenangan dan berkata: “Aku sudah memutuskan untuk mencari pekerjaan besok.”
“Bukankah kamu menghasilkan banyak uang dari bernyanyi setiap hari? Untuk apa cari pekerjaan lagi? Lagi pula, di bar ada banyak jenis orang, terlalu kacau, lebih baik jangan pergi.”
Fela menatapku mencemooh: “Kamu tidak akan mengerti ucapan yang pernah aku katakan dulu.”
“Aku tahu, mimpi ,kan? Tapi apa mimpimu?” tanyaku asal.
“Dasar bodoh, tentu saja menjadi seorang penyanyi, kelak ibuku bisa menjalani kehidupan yang baik!” Mata Fela berbinar-binar.
Aku menatap sisi wajah cantiknya, hatiku berdesir.
Selama tiga hari berikutnya, Fela terus mencari pekerjaan.
Akhirnya, pada hari ketiga, dia mendapatkan pekerjaan bernyanyi di pub. Nama barnya cemburu malam, lingkungannya jauh lebih baik daripada bar romantis. Yang paling penting adalah dia tidak akan diganggu Asis lagi.
Sebaliknya, selama tiga hari ini, selain dari layar monitor CCTV, aku bahkan tidak pernah bertemu Ramya lagi. Sepertinya dia menghindariku, membuatku semakin tertekan.
Tapi luka di tubuhku sudah baikan dan mengering, juga sudah tidak sakit lagi. Memikirkan kejadian malam itu, membuatku jadi takut.
Jika bukan karena aku dan Fela berlari cepat, mungkin sekarang kami masih terbaring di rumah sakit.
Pada malam ketiga, Fela mentraktirku makan di luar, aku mengambil kesempatan ini dan bertanya: “Ngomong-ngomong, beberapa hari ini kamu ada menghubungi Bu Ramya tidak?”
“Masalah terakhir kali...” Wajah Fela memerah: “Malu banget, mana enak hati aku menghubunginya.”
“Apa kamu tidak perlu menjelaskan padanya?” Aku terus bertanya.
Setelah Fela meminum sup di mangkuk, dia mengangkat kepala, tersenyum simpul dan berkata: “Biarkan saja dia salah paham, untuk apa dijelaskan. Lagi pula, kita kan tidak ada pasangan, bukankah normal kalau kita bersama? Bagaimana jika kita bersama saja?”
“Pergi kamu, siapa yang mau bersamamu,” kataku murung dan merasa kesal.
Fela menjadi marah: “Dasar jahat, kamu kira aku sungguh mau berhubungan seks denganmu? Kamu malah menganggap serius candaanku, bahkan jika aku mencari seseorang yang buta, juga tidak akan mencari pria mesum sepertimu.”
“Lebih baik tidak perlu mencari.” Aku mencibir.
Fela menatapku kesal, memalingkan wajah, dan mengabaikanku.
Tiba-tiba aku menyesalinya, lagi pula, aku masih ingin mengandalkan Fela untuk menjelaskan padanya.”
“Hei, jangan marah lah, aku hanya bercanda! Maksudku kamu sangat cantik, badanmu juga bagus, suaramu juga merdu, pria yang mengejarmu juga sangat banyak, aku tidak tenang jika melakukan seks denganmu, apa kamu mengerti?” kataku buru-buru dengan wajah tenang sambil tersenyum.
Setelah mendengar perkataanku, amarah Fela menghilang, seulas senyum terlukis di wajahnya: “Baiklah, aku akan memaafkanmu jika kamu mentraktir makan malam ini.”
“Hah? Bukankah tadi kamu yang mau mentraktirku?”
“Kamu traktir atau tidak?” ancam Fela sambil membelalakkan mata.
“Traktir, ya sudah aku yang traktir!” Aku mengutuk dalam hati, dasar perempuan keras kepala, kamu malah mengambil keuntungan dalam kelemahanku.
“Oke, aku sudah memaafkanmu, ayo senyum kepada kakak,” kata Fela sambil tersenyum manis.
Aku menyeringai, senyumannya lebih jelek daripada saat menangis.
Pada malam hari, aku memikirkan ide yang bagus dan membeli tiga lembar tiket bioskop di internet, itu film horor Korea.
Alasan kenapa aku membeli tiga lembar tiket karena jika aku mengajak Ramya menonton bioskop, dia pasti menolak, peluang suksesnya akan lebih besar jika Fela yang mengajaknya.
Selain itu, mereka berdua saudari baik, saat bertemu pasti membicarakan banyak hal, mungkin Fela akan menjelaskan kesalahpahaman itu.
Tidak masalah jika Fela tidak bersedia menjelaskannya, aku bisa mencari kesempatan untuk menjelaskan kepada Ramya .
Apalagi ini adalah film horor, ketika aku duduk dengan Ramya , dan saat dia ketakutan, mungkin dia akan memegang tanganku, atau bahkan memelukku, lalu semua kesalahpahaman akan teratasi, kan?
Aku menatap cermin sambil tersenyum dan berkata: “Wenas , kamu sungguh pintar.”
Kemudian, aku meninggalkan kamar dan mencari Fela .
Fela sedang duduk di sofa, sambil menekukkan kedua kaki putih jenjangnya di atas meja dan memotong kuku kaki.
Dia baru saja selesai mandi, rambutnya yang basah menempel di wajah cantiknya, terlihat sungguh mempesona.
Yang terpenting dia hanya mengenakan kaus lebar merah.
Postur tubuhnya yang memotong kuku kaki membuat kausnya terangkat, bahkan tidak perlu membungkuk, dengan menundukkan kepala saja aku bisa langsung melihat celana dalam renda ungu di antara kedua kakinya.
Membungkus ketat daerah rahasia, paha bulat dan mulus yang tidak tertutupi itu sanggat menggoda, membuatku bergairah tanpa sadar.
“Hei, bagaimanapun juga kamu seorang perempuan, bisakah kamu memakai celana di depanku? Meskipun kamu tidak memakai celana, setidaknya duduklah dengan anggun, lihatlah, sebagian besar bokongmu sudah kelihatan.”
Novel Terkait
Eternal Love
Regina WangI'm Rich Man
HartantoCinta Yang Tak Biasa
WennieHis Second Chance
Derick HoSi Menantu Buta
DeddyThe Comeback of My Ex-Wife
Alina QueensNikah Tanpa Cinta
Laura WangThe Richest man
AfradenMy Beautiful Teacher×
- Bab 1 Mengintip
- Bab 2 Katup Air Rusak
- Bab 3 Minum Anggur
- Bab 4 Gerakan Di Kamar Mandi
- Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
- Bab 6 Kesalahpahaman Larut Malam
- Bab 7 Dalam Jangkauan
- Bab 8 Asis Yang Kesal
- Bab 9 Tidak Tau Diuntung
- Bab 10 Peminat Sewa Yang Baru
- Bab 11 Godaan Fela
- Bab 12 Wanita Muda Yang Berseni
- Bab 13 Orang Aneh
- Bab 14 Pengalaman Hidup
- Bab 15 Toilet Wanita
- Bab 16 Dadanya Membesar
- Bab 17 Mengobrol
- Bab 18 Pertunjukan Pinggir Jalan
- Bab 19 Gedung Pengajaran
- Bab 20 Bar Romantis
- Bab 21 Membuat Masalah
- Bab 22 Terluka
- Bab 23 Belum Mulai pun Sudah Berpisah
- Bab 24 Panggil Aku Kakak
- Bab 25 Tiga Lembar Tiket Bioskop
- Bab 26 Kesalahan Adalah Kesalahan
- Bab 27 Mantan Pacar Fela
- Bab 28 Gym Seni Bela Diri
- Bab 29 Pelatih Yang Keras
- Bab 30 Keterampilan Khusus
- Bab 31 Sisi Lain Ramya
- Bab 32 Pergi Ke Suatu Tempat
- Bab 33 Memecahkan Kesalahpahaman
- Bab 34 Merasa Tercerahkan
- Bab 35 Bobby
- Bab 36 Bertarung
- Bab 37 Berpikiran sempit
- Bab 38 Serangan balik putus asa
- Bab 39 Luar dingin dalam panas
- Bab 40 Kecelakaan
- Bab 41 Persyaratan Asis
- Bab 42 Penemuan Theo
- Bab 43 Bergegas Ke Hotel
- Bab 44 Tidak Tahan Lagi
- Bab 45 Tertangkap Basah
- Bab 46 Memilih Untuk Memaafkannya
- Bab 47 Pencuri
- Bab 48 Menggeledah Tubuh
- Bab 49 Orang Yang Benar Akan Bersikap Benar
- Bab 50 Rencana Gagal
- Bab 51 Penyewa Baru
- Bab 52 Guru Tony
- Bab 53 Diva Masa Depan
- Bab 54 Curahan Hati
- Bab 55 Teknik Pedang
- Bab 56 Reuni Teman Sekolah
- Bab 57 Menunjukkan keterampilan bela diri
- Bab 58 Tiga pengawal
- Bab 59 Rizal Membuat Onar
- Bab 60 Keputusan yang menyakitkan
- Bab 61 Mabuk
- Bab 62 Negosiasi
- Bab 63 Pesan Terakhir
- Bab 64 Harapan Yang Tinggi
- Bab 65 Undangan Dari Lastri Wahyuni
- Bab 66 Bertemu Ramya Lagi
- Bab 67 Mencambuk Wanita
- Bab 68 Mengajari Awang
- Bab 69 Listrik Putus
- Bab 70 Hal Yang Aneh
- Bab 71 Kehilangan Akal Sehat
- Bab 72 Bahu Yang Bisa Disandar
- Bab 73 Panggilan Telepon Dari Hafid Waka
- Bab 74 Tamu Yang Tidak Diundang
- Bab 75 Dojo Jangga
- Bab 76 Lebih Mudah dan Terampil
- Bab 77 Peringatan Instruktur Louis
- Bab 78 Membayar
- Bab 79 Meminta Maaf Dengan Canggung
- Bab 80 Panti Asuhan
- Bab 81 Semangkuk Sup Daging
- Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
- Bab 83 Ditangkap
- Bab 84 Serangan Diam-Diam
- Bab 85 Membuat Masalah Pada Saat Putus Asa
- Bab 86 Memotong Alat Kelamin
- Bab 87 Kematian Awang
- Bab 88 Kompetisi Bela Diri Nasional
- Bab 89 Dompet Dicuri
- Bab 90 Acara Pembukaan
- Bab 91 Bertemu Adalah Jodoh
- Bab 92 Ada Yang Menyewa Tempat
- Bab 93 Rayakan Ulang Tahun Guru
- Bab 94 Tinju Satu Inchi
- Bab 95 Kompetisi Secara Resmi
- Bab 96 Lawan Di Babak Pertama
- Bab 97 Kekuatan Yang Hebat
- Bab 98 Mengubah Kekalahan Menjjadi Kemenangan
- Bab 99 Shao Lin Chang Quan
- Bab 100 Mencapai Ketenangan
- Bab 101 Tidak Mau Kalah
- Bab 102 Menang
- Bab 103 Sahabat Baik, Anita
- Bab 104 Memandang Rendah
- Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal
- Bab 106 Kakak dari Ardi
- Bab 107 Teknik Pedang Mematikan
- Bab 108 Takdir
- Bab 109 Aura Pembunuh
- Bab 110 Petarung Yang Kuat
- Bab 111 Tiga Puluh Empat Besar
- Bab 112 Teknik Bantingan Dan Pelepasan Tulang