My Beautiful Teacher - Bab 104 Memandang Rendah
Mendengar perkataan mereka berdua, raut muka Ladira sepenuhnya memuram, dia tampak akan segera meledak, aku langsung menghentikannya.
"Apa maksud keahlian yang dikatakan TuanArdi." Aku bertanya dengan dingin.
Sebenarnya aku juga sangat marah, aku sudah kesal setelah bercekcok dengan Bobby di depan hotel, tidak sangka, aku masih harus menghadapi pasangan seperti ini di tempat makan.
“Hehe, misalnya punya kemampuan penjualan yang baik, setidaknya bisa mengelola sebuah perusahaan, atau mempunyai kemampuan luar biasa dalam seni bela diri, jika tidak, kamu tidak akan dianggap oleh ayahnya Nona Ladira.” Ardi tersenyum, berkata tanpa menyembunyikan kesombongan di matanya.
Sambil berkata, dia sengaja meletakkan kunci mobil BMW di atas meja, jelas bahwa dia sedang memamerkan kekayaannya.
"Ardi benar, Ladira, bukannya aku mau mengomeli kamu, kamu harus pandai dalam mencari pacar, pria seperti dia sama sekali tidak layak untuk kamu." Anita mengiyakan perkataanArdi.
"Anita, jaga omonganmu, aku melihat kamu adalah sahabat Ladira, jadi aku tidak mau marah padamu, kamu jangan keterlaluan, apa yang salah dengan pria seperti aku? Memangnya kalian tahu apakah aku punya keahlian atau tidak? Sebelum memahami seseorang, tolong tutup mulut kalian, jangan memandang rendah orang lain.” Aku memelototi Anita.
Anita sangat marah: "Dasar kampungan, siapa yang kamu marahi?"
Aku mencibir, malas untuk menghiraukan mereka, aku menarik Ladira untuk berdiri dan berkata, "Ladira, ayo kita pergi, aku rasa kamu tidak usah berhubungan dengan sahabat seperti ini lagi."
Raut muka Ladira juga sangat jelek, saat kami hendak meninggalkan ruangan, Ardi berseru dengan keras, "Berhenti".
Aku menoleh untuk melihat Ardi, wajahnya muram, aku mendengus, "Ada urusan apa lagi?"
“Setelah memarahi aku dan pacarku, kalian mau pergi begitu saja?” Ardi berkata dengan suara berat.
"Lalu kamu mau apa?"
"Gampang, minta maaf padaku dan Nita dengan posisi membungkuk sebanyak tiga kali, jika tidak, kamu bakal menyesal." Cahaya dingin melintas di mata Ardi.
"Maksudmu, aku juga harus minta maaf?" Ujar Ladira dengan marah sambil melihat Anita.
Anita tidak berbicara, raut mukanya sangat jelek, dia jelas setuju dengan pacarnya.
"Nona Ladira tidak usah minta maaf, masalahnya adalah bocah ini kurang ajar, tidak tahu cara menghormati orang." Kata Ardi sambil mencibir.
Aku sangat marah, tapi aku membalas sambil tersenyum: "Tadi kalian bilang aku tidak pantas untuk jadi pacar Ladira, serta mengatakan aku kampungan, sepertinya kalian lebih kurang ajar daripada aku."
"Lupakan, Wenas, jangan hiraukan mereka, aku tidak sangka Anita mengalami perubahan segitu besar setelah tidak bertemu untuk beberapa waktu, anggap saja aku berteman dengan orang yang salah, ayo kita pergi." Ladira berbalik dan pergi.
Aku juga malas untuk menghiraukan mereka, jadi aku pun mengikuti Ladira.
Siapa tahu baru mengambil dua langkah, bahuku ditahan oleh sebuah tangan.
Aku menoleh secara naluriah, tangan Ardi mencengkeram pundakku erat-erat, berkata dengan dingin: "Aku sudah bilang, Nona Ladira boleh pergi, tapi kamu tidak boleh pergi, kecuali kamu minta maaf padaku dan Nita sesuai yang aku bilang barusan."
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba yang terbaik untuk mengendalikan emosiku, lalu berkata, "Lepaskan."
Ardi tidak hanya tidak melepaskan tangan, kelima jarinya bahkan mulai mengerahkan tenaga dan mencengkeram bahuku semakin erat.
Aku meraih tangannya dan mulai memindahkan jarinya.
“Dasar sampah tak berguna, kamu mau lawan aku?” Mata Ardi penuh percaya diri, dia mencibir sambil bergumul denganku.
Namun, ekspresinya perlahan berubah pada detik berikutnya, dia sangat terkejut.
Dalam tatapan kagetnya, aku memindahkan jarinya satu per satu, lalu menepuk pundaknya dengan ringan, berkata, "Tangan kotormu menodai pakaianku, tahu?"
"Bocah sialan, cari mati." Ardi sangat marah, dia menembakkan tinju ke arahku,
Melihat kekuatan dan kecepatan pukulan Ardi, aku langsung tahu bahwa kekuatannya sangat lemah, jika dia benar-benar mengikuti kompetisi seni bela diri nasional, dia pastinya sudah gugur di babak pertama.
Ketika dia menembakkan tinju, aku dengan mudah menghindar ke samping, aku melakukan serangan balik sementara dia masih terbenam dalam kekagetan, meninju wajahnya.
Ardi mengerang, terhuyung mundur sambil memegangi hidungnya, menabrak meja.
Aku melangkah mendekat dan meninju wajahnya lagi.
Ardi tidak kuat lagi, dia menghantam kursi di samping, jatuh ke lantai dengan keras.
Dia menutupi wajahnya dengan kesakitan, berguling-guling di lantai, Anita terkejut, dia bangkit dan berseru: "Kamu melukai Ardi, kalian jangan harap untuk pergi dari sini, aku akan lapor polisi."
Ladira maju dan berkata dengan dingin: "Kalau kamu berani, laporlah."
Satu kalimat dari Ladira membuat Anita ketakutan hingga tidak bisa mengatakan apa pun.
"Wenas, ayo pergi." Ujar Ladira.
Ladira dan aku pun meninggalkan ruangan.
Tiba di lantai bawah, Ladira mengeluarkan ponsel dan menghapus akun WeChat Anita dengan ekspresi kesal, dia berkata, "Aku sungguh tidak berhati-hati dalam berteman, Anita masih baik ketika kami baru wisuda, tidak sangka dia menjadi segitu sombong setelah punya pacar."
Aku menghibur: "Kamu tidak perlu marah karena orang seperti itu, lagian aku sudah membalas dendam kamu."
“Aku marah karena mereka mengatakan kamu, maaf sekali, setiap kali aku mengajak kamu makan, selalu terjadi hal seperti ini yang membuatmu merasa kesal.” Ladira meminta maaf.
"Tidak apa-apa, orang zaman sekarang memang seperti ini, semuanya sombong dan memandang rendah orang lain, aku sudah terbiasa, ayo kita pulang."
"Aku traktir kamu makan, setelah makan, baru kita pulang."
Kami makan di restoran lain, Ladira yang traktir.
Usai makan, kami berdua kembali ke hotel, pas di dalam mobil, ponselku berdering, panggilan dari Ramya.
Hatiku tergerak, aku segera mengangkat telepon.
“Wenas, bagaimana kabarmu di ibukota provinsi dalam beberapa hari ini.” Ramya bertanya sambil tersenyum, suaranya terdengar jauh lebih baik.
"Lumayan, besok masih ada pertandingan, maaf, dua hari ini aku terlalu sibuk sehingga tidak sempat kirim pesan ke kamu, bagaimana kondisi kamu?" Tanyaku prihatin.
“Aku merasa lebih baik, aku cuman mau mengobrol dengan kamu, aku tidak mengganggu kamu, kan?” Tanya Ramya.
Aku melirik ke arah Ladira yang sedang mengemudi mobil, kebetulan dia sedang menatap aku dengan ekspresi bingung.
"Aku sedang makan dengan teman, bagaimana kalau aku hubungi kamu lagi nanti?" Aku merasa canggung untuk mengobrol dengan Ramya di dalam mobil.
“Baiklah, aku tunggu kamu.” Ramya berkata dengan lembut.
Telepon dimatikan, Ladira bertanya: "Siapa yang menelepon kamu?"
"Seorang teman, mantan penyewa."
Ladira merespons "Oh" tanpa bertanya lebih banyak.
Kami pulang, di sisi lain, Bobby mengajak Rizal untuk minum di bar sambil mengobrol tentang aku.
“Rizal, apa yang kamu pikirkan? Dulu kamu menikung pacarnya si bocah itu, sekarang si bocah itu malah berhubungan dengan Ladira, aku sungguh sangat berterima kasih karena kamu sudah menjodohkan mereka berdua.” Bobby meminum seteguk bir, berkata dengan marah.
Di pelukannya ada seorang wanita cantik berpakaian terbuka yang membantunya menuangkan bir, wanita itu sewaktu-waktu mengguncangkan tubuhnya yang montok.
Rizal duduk di sofa di sebelah Bobby, ada seorang wanita di dalam pelukannya juga, tangannya terus-menerus menyentuh tubuh wanita, kerah wanita terbuka, menampakkan sebagian besar kulit seputih saju, dia tertawa dengan cabul.
“Tuan Bobby, jangan khawatir, masalah harus ditangani selangkah demi selangkah, bocah sialan itu masih punya perasaan pada pacarnya, dia tidak mungkin menyukai Ladira, nanti jadikan Fela sebagai mainan Tuan Bobby, lalu temui bocah sialan itu, kamu agaknya bisa membayangkan betapa indahnya ekspresi si bocah sialan itu."
Novel Terkait
Perjalanan Selingkuh
LindaKing Of Red Sea
Hideo TakashiLelah Terhadap Cinta Ini
Bella CindyMy Cute Wife
DessyCinta Adalah Tidak Menyerah
ClarissaAfter The End
Selena BeeTen Years
VivianMy Beautiful Teacher×
- Bab 1 Mengintip
- Bab 2 Katup Air Rusak
- Bab 3 Minum Anggur
- Bab 4 Gerakan Di Kamar Mandi
- Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
- Bab 6 Kesalahpahaman Larut Malam
- Bab 7 Dalam Jangkauan
- Bab 8 Asis Yang Kesal
- Bab 9 Tidak Tau Diuntung
- Bab 10 Peminat Sewa Yang Baru
- Bab 11 Godaan Fela
- Bab 12 Wanita Muda Yang Berseni
- Bab 13 Orang Aneh
- Bab 14 Pengalaman Hidup
- Bab 15 Toilet Wanita
- Bab 16 Dadanya Membesar
- Bab 17 Mengobrol
- Bab 18 Pertunjukan Pinggir Jalan
- Bab 19 Gedung Pengajaran
- Bab 20 Bar Romantis
- Bab 21 Membuat Masalah
- Bab 22 Terluka
- Bab 23 Belum Mulai pun Sudah Berpisah
- Bab 24 Panggil Aku Kakak
- Bab 25 Tiga Lembar Tiket Bioskop
- Bab 26 Kesalahan Adalah Kesalahan
- Bab 27 Mantan Pacar Fela
- Bab 28 Gym Seni Bela Diri
- Bab 29 Pelatih Yang Keras
- Bab 30 Keterampilan Khusus
- Bab 31 Sisi Lain Ramya
- Bab 32 Pergi Ke Suatu Tempat
- Bab 33 Memecahkan Kesalahpahaman
- Bab 34 Merasa Tercerahkan
- Bab 35 Bobby
- Bab 36 Bertarung
- Bab 37 Berpikiran sempit
- Bab 38 Serangan balik putus asa
- Bab 39 Luar dingin dalam panas
- Bab 40 Kecelakaan
- Bab 41 Persyaratan Asis
- Bab 42 Penemuan Theo
- Bab 43 Bergegas Ke Hotel
- Bab 44 Tidak Tahan Lagi
- Bab 45 Tertangkap Basah
- Bab 46 Memilih Untuk Memaafkannya
- Bab 47 Pencuri
- Bab 48 Menggeledah Tubuh
- Bab 49 Orang Yang Benar Akan Bersikap Benar
- Bab 50 Rencana Gagal
- Bab 51 Penyewa Baru
- Bab 52 Guru Tony
- Bab 53 Diva Masa Depan
- Bab 54 Curahan Hati
- Bab 55 Teknik Pedang
- Bab 56 Reuni Teman Sekolah
- Bab 57 Menunjukkan keterampilan bela diri
- Bab 58 Tiga pengawal
- Bab 59 Rizal Membuat Onar
- Bab 60 Keputusan yang menyakitkan
- Bab 61 Mabuk
- Bab 62 Negosiasi
- Bab 63 Pesan Terakhir
- Bab 64 Harapan Yang Tinggi
- Bab 65 Undangan Dari Lastri Wahyuni
- Bab 66 Bertemu Ramya Lagi
- Bab 67 Mencambuk Wanita
- Bab 68 Mengajari Awang
- Bab 69 Listrik Putus
- Bab 70 Hal Yang Aneh
- Bab 71 Kehilangan Akal Sehat
- Bab 72 Bahu Yang Bisa Disandar
- Bab 73 Panggilan Telepon Dari Hafid Waka
- Bab 74 Tamu Yang Tidak Diundang
- Bab 75 Dojo Jangga
- Bab 76 Lebih Mudah dan Terampil
- Bab 77 Peringatan Instruktur Louis
- Bab 78 Membayar
- Bab 79 Meminta Maaf Dengan Canggung
- Bab 80 Panti Asuhan
- Bab 81 Semangkuk Sup Daging
- Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
- Bab 83 Ditangkap
- Bab 84 Serangan Diam-Diam
- Bab 85 Membuat Masalah Pada Saat Putus Asa
- Bab 86 Memotong Alat Kelamin
- Bab 87 Kematian Awang
- Bab 88 Kompetisi Bela Diri Nasional
- Bab 89 Dompet Dicuri
- Bab 90 Acara Pembukaan
- Bab 91 Bertemu Adalah Jodoh
- Bab 92 Ada Yang Menyewa Tempat
- Bab 93 Rayakan Ulang Tahun Guru
- Bab 94 Tinju Satu Inchi
- Bab 95 Kompetisi Secara Resmi
- Bab 96 Lawan Di Babak Pertama
- Bab 97 Kekuatan Yang Hebat
- Bab 98 Mengubah Kekalahan Menjjadi Kemenangan
- Bab 99 Shao Lin Chang Quan
- Bab 100 Mencapai Ketenangan
- Bab 101 Tidak Mau Kalah
- Bab 102 Menang
- Bab 103 Sahabat Baik, Anita
- Bab 104 Memandang Rendah
- Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal
- Bab 106 Kakak dari Ardi
- Bab 107 Teknik Pedang Mematikan
- Bab 108 Takdir
- Bab 109 Aura Pembunuh
- Bab 110 Petarung Yang Kuat
- Bab 111 Tiga Puluh Empat Besar
- Bab 112 Teknik Bantingan Dan Pelepasan Tulang