My Beautiful Teacher - Bab 108 Takdir

Ketika aku dan Instruktur Louis kembali ke dalam stadion olahraga, sesi cabut undi baru saja dimulai, untungnya tidak terlambat.

Sebelum babak lima ini dimulai, 78 sisa peserta yang berhasil lolos dibagi menjadi 34 kelompok.

34 kelompok ini bertanding secara bersamaan untuk menentukan 34 pemenang terbesar.

Dapat menonjol dari ribuan peserta dan menjadi 34 pemenang terbesar, juga merupakan sebuah kebanggaan.

Aku mendapatkan lawanku, ketika melihat namanya, aku benar-benar terkejut.

Bahkan Ladira Zimo dan Arif juga membelalak.

Benar-benar takdir, lawan yang aku dapatkan tepat adalah Roni, kakak dari Ardi yang mereka temui di restoran pada siang hari tadi.

“Wenas, semangat, aku percaya padamu.” Ujar Arif mendukung aku.

Namun Ladira Zimo lebih merasa khawatir, dia berkata, “Kamu memukul adiknya, dia pasti akan melampiaskan amarah di atas gelanggang, jika benar-benar tidak sanggup mengalahkannya, jangan memaksa, kalau tidak kamu akan celaka besar.”

Walau aku tidak yakin terhadap kekuatan Roni, tetapi dapat lolos ke pertandingan seleksi babak kelima, bisa dibayangkan betapa besar kekuatannya.

Tetapi meski demikian, aku juga percaya aku pasti tidak akan kalah.

“Siapa yang menang, siapa yang kalah, masih belum pasti.” Aku berkata dengan datar, namun dalam hatiku sedang memikirkan teknik pedang yang diajarkan Instruktur Louis pada siang tadi beserta perkataannya.

Murid yang lain semuanya menyemangati aku, tak disangka pada saat ini Bobby dan Rizal pun muncul.

Entah ke mana mereka pergi pada pagi hari tadi, sekarang mereka juga sudah datang ke ajang pertandingan.

Rizal mencibir di tempat yang tak jauh dari aku, “Bocah, aku ingin melihat sore hari ini betapa menyedihkannya kamu ketika kalah.”

Tidak menunggu aku menjawab, Instruktur Louis memelototinya dengan tajam, Rizal bergegas menutup mulut.

Tatapan Bobby sedikit suram, dia melirikku dan tidak berkata apa-apa.

Sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, para murid dari Organisasi Wushu menyongsong aku menuju gelanggang pertandingan.

Dari jauh sudah terlihat bahwa Roni dan Ardi kakak beradik sedang berbincang di tepi gelanggang, di sisi mereka juga ada banyak teman yang mendukung mereka.

Ketika melihat kami serombongan orang berjalan kemari, tatapan kakak beradik itu langsung tertuju padaku.

Ekspresi Roni dingin dan tenang, sedangkan Ardi menggertakkan gigi.

Begitu aku mendekat, Ardi mulai menyeringai, “Dasar bocah, akhirnya kamu datang, aku pun mengira kamu mengambil undian untuk bertanding dengan kakakku, sudah mengompol dan tidak berani keluar saking takutnya.”

Aku meliriknya sekilas, malas untuk menghiraukannya.

Melihat aku tidak bersuara, Ardi menunjukkan ekspresi bengis, dia tertawa dengan congkak dan berkata, “Kakak aku adalah jenius di dunia bela diri kami, kali ini dia pasti dapat menyerbu ke babak final, sedangkan kamu akan menjadi batu pijakannya di tengah perjalannnya, nanti di atas gelanggang, dia akan membalaskan dendam aku juga, lebih baik kamu jangan menyerah terlalu awal, aku benar-benar ingin melihat tampangmu yang babak belur, hahaha.”

Tidak menunggu aku berbicara, Arif sudah tidak tahan untuk berkata, “Tolol, silahkan tertawa saja, karena nanti kamu tidak akan bisa tertawa lagi, lihat bagaimana Wenas kami mengalahkan Roni.”

“Dasar bocah, siapa yang kamu katai tolol?” Ardi naik pitam.

“Aku tidak mengatai siapa-siapa, tetapi jika ada tolol yang ingin mengaku sendiri, benar-benar bodoh sekali.” Arif tertawa dengan bangga.

Wajah Ardi menjadi merah saking gusarnya, dia ingin meledak marah, tetapi ditahan oleh Roni.

“Ini adalah gelanggang pertandingan, apa yang ingin kamu lakukan?” Roni menunjukkan ekspresi tidak puas, “Perhatikan citra kamu sendiri, setidaknya kamu adalah Wakil Presiden dari perusahaan trading, tetapi sudah menjadi kacau hanya karena dua ekor semut saja, di mana tampang kamu sebagai pengusaha sukses, kamu tenang saja, nanti aku pasti akan membalaskan dendam kamu.”

Ardi jelas sangat menghormati kakaknya, dia langsung diam setelah mendengar perkataan Roni, tetapi tatapannya pada kami seolah-olah ingin sekali mencabik kami hidup-hidup.

“Semut? Nada bicaramu congkak sekali, kita lihat saja di atas gelanggang.” Aku mengernyit, lalu langsung naik ke gelanggang pertandingan.

Kemudian Roni juga maju ke atas.

Di tepi gelanggang diletakkan rak senjata, aku segera memilih sebuah pedang panjang, aku menggenggamnya di tangan, aku merasa jauh lebih nyaman di tangan dibandingkan dengan ranting pohon yang aku gunakan untuk berlatih Teknik Pedang Mematikan pada siang hari tadi, aku juga merasa lebih percaya diri, dalam benak aku penuh dengan jurus dari Teknik Pedang mematikan yang diajarkan Instruktur Louis padaku.

Namun yang membuatku kaget adalah, Roni tidak memilih senjata, melainkan berdiri di tengah gelanggang dengan tangan kosong.

Seperti merasakan kebingungan aku, Roni menyipitkan mata dan berkata dengan senyum dingin, “Tahukah kamu mengapa aku tidak memilih senjata? Karena menabok orang dengan tinju terasa lebih nikmat, juga bisa membalaskan dendam adikku dengan lebih baik, bocah, kamu beruntung langsung lolos ke pertandingan seleksi babak kelima dengan mendapatkan bye di babak keempat, tetapi bertemu denganku, kamu banyak berdoa saja.”

“Benarkah? Aku justru ingin melihat seberapa kerasnya tinjumu.” ujarku dengan tenang.

Melihat sudah saatnya, wasit berjalan maju, dia memeriksakan senjata kami masing-masing, lalu meniup peluit, yang berarti pertandingan dimulai.

Begitu peluit berbunyi, Roni langsung maju menyerbu, kecepatannya mencengangkan sekali.

Langsung menyerang tanpa perlu mengamati lawan terlebih dahulu, Roni jelas ditopang oleh rasa percaya diri yang amat tinggi.

Ketika Roni menyerbu kemari, aku sudah merasakan sebuah aura percaya diri, seketika jarak di antara kami menjadi dekat, tinjunya melesat ke arah wajahku.

Ekspresiku langsung berubah drastis, aku menghindar dengan kecepatan paling tinggi, sebelum aku sempat menyerang balik, tendanganRoni sudah tiba.

Panjang seinci maka kuat seinci, pendek seinci maka bahaya pun seinci.

Roni memperpendek jarak hingga begitu dekat, aku sama sekali tidak dapat melancarkan Teknik Pedang mematikan, hanya terpaksa untuk mundur ke belakang.

Di saat bersamaan, akhirnya aku melontarkan serangan balik, aku menusukkan pedang panjang dengan serong ke atas, pedang panjang bagaikan naga, langsung menusuk ke titik rawan di dadaRoni.

MataRoni terlintas akan kekagetan, dia langsung berjongkok, tidak hanya menghindari serangan pedang, bahkan juga melakukan sapuan.

Kesempatan bagus.

Rasa percaya diri bangkit di dalam hatiku, di saat bersamaan aku melompat, aku menusukkan pedang panjang ke tenggorokanRoni dengan secepat kilat.

Roni terkejut, dia bergegas mundur ke belakang, seketika menarik jarak denganku.

Aku tidak mengejar, melainkan berdiri di tempat sambil mengacungkan pedang panjang padaRoni, dan berkata dengan datar, “Lawan tanding pada babak kelima, juga sekedar begini saja.”

Roni mendengus, “Kelihatannya aku terlalu lengah, kamu memang memiliki sedikit kemampuan, kelihatannya aku harus mengeluarkan kehebatan asli.”

Seketika itu, auraRoni langsung berubah, dia mengangkat satu kaki, kedua tangannya berjajar, telapak tangannya bagai bilah sabit, tatapan matanya berubah menjadi sangat tajam,Roni menatapku dengan dingin, seperti seekor binatang buas yang sedang mengintai mangsa.

Ardi yang berada di luar gelanggang berteriak dengan semangat, “Tinju Sabit Belalang, Kakak, tabok bocah itu untukku.”

Tinju Sabit Belalang.

Aku terkejut dalam hati, dengan jelas dapat dirasakan perubahan aura dan gerakanRoni, jauh lebih dingin dan tajam daripada sebelumnya.

“Bocah, apakah kamu sangat penasaran mengapa aku seorang pelajar bela diri menguasai Tinju Sabit Belalang, setelah aku membalaskan dendam untuk adikku, setelah aku mengalahkan kamu, aku akan menjawabnya untukmu.”

Roni langsung melompat dan menerjang, kedua lengannya bagaikan capit belalang, menghantam ke arahku di tengah udara.

Aku sama sekali tidak merasa takut, aku melancarkan Teknik Pedang Mematikan, langsung menuju ke bagian leherRoni dengan kecepatan paling tinggi dan jurus yang paling sederhana.

Namun tepat ketika aku percaya aku dapat mengalahkan seranganRoni dengan pedang panjang, kedua tanganRoni menghentakkan pedang panjang aku dengan santai dari sudut yang rumit, tanpa jeda sedikitpun, bilah sabit yang terbentuk oleh kedua tanganRoni menghantam dengan keras pada dada dan perut aku.

Aku merasakan rasa sakit yang dahsyat, aku terbang keluar dan terjatuh ke tanah.

Untungnya aku tidak jatuh di luar gelanggang, namun karena rasa sakit yang tak tertahankan ini, aku sama sekali tidak bisa bangkit berdiri dengan tenagaku sendiri.

Roni mendarat, dia mendengus lalu menyerang lagi, tetapi dihentikan oleh wasit.

Wasit berjalan ke depan aku dan mulai menghitung mundur dari angka sepuluh.

Di bawah gelanggang, Ardi memaki dengan bersemangat, “Dasar sampah, masih ingin mengalahkan Kakak aku, benar-benar mimpi, hanya terluka ringan saja sudah sangat beruntung.”

Novel Terkait

Gue Jadi Kaya

Gue Jadi Kaya

Faya Saitama
Karir
4 tahun yang lalu
Gaun Pengantin Kecilku

Gaun Pengantin Kecilku

Yumiko Yang
CEO
3 tahun yang lalu
Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Ternyata Suamiku Seorang Milioner

Star Angel
Romantis
4 tahun yang lalu
Demanding Husband

Demanding Husband

Marshall
CEO
4 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu
Perjalanan Cintaku

Perjalanan Cintaku

Hans
Direktur
3 tahun yang lalu
My Perfect Lady

My Perfect Lady

Alicia
Misteri
4 tahun yang lalu