My Beautiful Teacher - Bab 80 Panti Asuhan
Setengah jam kemudian, Ladira tiba di rumahku, aku sudah menunggunya di depan pintu gerbang distrikku.
Baru saja naik mobil, aku kebetulan bertemu dnegan Milen yang sedang terburu-buru.
Aku membuka jendela mobil dan memanggilnya. Milen sedikit terkejut melihatku duduk di mobil Ferrari, “Mobil baru yang kamu beli.”
“Bukan, punya temanku.” Aku tersenyum dan menunjuk ke Ladira, aku pun memperkenalkannya, “Dia adalah adik junior yang latihan bela diri bersamaku. Namanya Ladira. Ladira, ini adalah penyewa kosku, namanya Milen.”
Ladira tersenyum lalu menyapanya.
Aku bertanya, “Apakah Mitchell sudah kembali?”
Milen menggelengkan kepalanya karena frustrasi, "Aku sudah mencarinya ke mana-mana selama dua hari ini. Benar-benar membuatku cemas saja."
“Jangan kuatir, dia pasti akan kembali pulang.” Aku mencoba menghiburnya. Jika bukan karena mau pergi ke panti asuhan bersama Ladira, mungkin aku akan ikut dengan Milen pergi mencari Mitchell.
Setelah mengucapkan selamat tinggal ke Milen, Ladira melajukan mobilnya meninggalkan distrik kecilku, lalu bertanya padaku, “Orang yang dicarinya itu adiknya atau temannya?”
“Bukan, pacarnya.” Kataku.
Ladira langsung terkejut dan menunjukkan ekspresi keheranan, lalu dia pun mengerti dan berkata, “Dia gay?”
Aku mengangguk, “Mereka bertengkar. Orang yang bernama Mitchell tidak membawa dompet dan KTP-nya, dan dia tidak punya teman siapapun di kota A ini. Milen juga sudah mencarinya ke tempat yang biasa dan sering dia kunjungi. Namun tetap saja tidak bisa menemukannya. Bahkan orang di tempat gym nya bekerja juga tidak tahu keberadaannya.”
“Apa ada hal buruk yang terjadi? Menurutku, lebih baik dilaporkan ke polisi saja.” kata Ladira.
"Dia seorang pelatih gym. Dia tinggi dan begitu kuat. Mana mungkin sesuatu yang buruk terjadi padanya?” Aku mengganti topik pembicaraan dan berkata, "Ke mana kita akan pergi sekarang?"
“Kita akan pergi memberikan beberapa barang untuk anak-anak itu.” kata Ladira, senyumannya kembali terlihat di wajahnya.
Kita pun sudah sampai di jalan raya, Ladira membeli beberapa tas sekolah dan alat tulis, juga buku cerita dan buku gambar dll. Membuat bagasi mobil dan kursi belakang dipenuhi semua barang itu. Tentu saja, aku pun menjadi tukang pengangkut semua barang itu. Setelah memindahkan beberapa barang, napasku sudah terengah engah dan penuh keringat.
Ladira tersenyum lalu menyerahkan tisu dan air mineral kepadaku, lalu berkata, “Benar-benar terima kasih banyak ya. Sore ini aku akan mentraktirmu makan.”
Di perjalanan pergi ke panti asuhan, aku tidak bisa menahan diri bertanya padanya, “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membantu panti asuhan.”
Begitu mendengar pertanyaanku, di mata Ladira muncul nostalgia dan kenangan, lalu perlahan dia berkata, “Kakak iparku adalah orang yang sangat baik. Ketika aku masih kecil, dia sering sekali membawaku ke panti asuhan untuk bermain dengan anak-anak lainnya di panti asuhan. Sedangkan dia bekerja jadi sukarelawan di panti asuhan. Kemudian, dia menderita leukemia dan akhirnya meninggal dunia. Setiap kali aku datang ke panti asuhan, aku selalu teringat padanya. Kakak iparku adalah orang yang sangat polos dan cantik, tapi aku tidak menyangka dia meninggal dunia di usia yang sangat muda. Aku ingin melanjutkan pekerjaannya ini, jadi aku juga sering datang ke panti asuhan menjadi sukarelawan, membantu anak-anak ini.”
“Aku tersentuh mendengar ini. Wanita muda seperti ini sudah sangat jarang sekali ada di masyarakat materialitas sekarang ini.
Setelah kami tiba di panti asuhan, kami menurunkan semua tas, alat tulis dan barang lainnya yang tadi kami beli. Kepala panti asuhan adalah seorang wanita yang berusia sekitar 50 tahunan. Dia sepertinya sangat mengenal Ladira. Dia sendiri yang langsung menyambut kami dengan sangat hangat, lembut dan ramah.
Ladira memberikan uang dua puluh juta untuk disumbangkan ke panti asuhan. Kepala panti asuhan sangat berterima kasih atas ini.
Lalu, kami pun pergi menemui anak-anak.
Cukup banyak anak kecil cacat di panti asuhan ini, kebanyakan dari mereka ini dibuang dan ditinggalkan oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab, yang beranggapan kalau anak cacat bawaan itu sangat memalukan dan mencoreng nama baik mereka, dan pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Ada juga sejumlah keluarga yang anaknya terlalu banyak sehingga tidak sanggup untuk membiayai semuanya, dan akhirnya terpaksa membuangnya.
Setelah beberapa penjelasan dari kepala panti asuhan. Aku sangat tersentuh dan kasihan ketika melihat sekelompok anak-anak yang ada di bawah sinar matahari. Walaupun beberapa dari mereka cacat, tapi senyum bahagia masih menggantung di wajah mereka.
Pada saat ini, Ladira berjalan menghampiri mereka sambil tersenyum.
Ketika anak-anak melihat Ladira datang, mereka sangat senang dan berteriak memanggilnya, "Kakak Ladira"
Ladira sangat bijaksana dan sempurna dalam melakukan semuanya. Dia sudah menyiapkan beberapa permen untuk mereka, dan membagikannya untuk membuat anak-anak ini jadi semakin bahagia.
Aku berdiri dan menyaksikan cahaya matahari menyinari Ladira, membuat wajah putih dan cantiknya tertutup lapisan cahaya suci, dan tidak tahu kenapa tiba-tiba ada perasaan jantungku yang berdetak dengan sangat kencang.
Namun, aku merasa seperti ada seseorang yang menarikku.
Aku menundukkan kepala dan melihat seorang gadis kecil berusia sekitar lima atau enam tahun yang sedang duduk di kursi roda. Anak itu kehilangan kakinya. Dia menyentuhku dengan tangan putihnya yang lembut, dan berkata, "Kakak, ini permen untukmu.”
Aku tertegun sejenak, hal yang sangat tidak aku sadari.
Gadis kecil itu meletakkan permen di telapak tanganku, tersenyum gembira, dan berkata, "Kakak Ladira pernah bilang, jika punya sesuatu yang lezat harus dibagi bersama dengan yang lain.”
“Adik kecil, siapa namamu?” Bagian terlemah hatiku tersentuh, dan aku pun berjongkok lalu meraih tangan gadis kecil itu dan bertanya sambil tersenyum.
"Namaku Vinka."
"Vinka baik sekali. Terima kasih Vinka."
"Sama sama."
Anak-anak yang lain tampak malu-malu dan takut berbicara denganku kecuali Vinka, tapi mereka malah tersenyum dan tertawa lepas bersama Ladira.
Ladira juga bermain petak umpet dengan anak-anak itu.
Anak-anak menutup mata Ladira dengan kain dan membiarkan Ladira untuk menangkap mereka. Anak-anak itu menghindar dan lari sambil tertawa dengan bahagianya.
“Kalian ini dimana ya, aku pasti akan segera menangkap kalian loh ya.” kata Ladira yang matanya ditutup. Dia berjalan sambil meraba-raba dengan sembarangan di sekitarnya. Lalu perlahan dia berjalan mendekatiku, aku sedang tidak terlalu sadar, lalu dia tiba-tiba menangkap tanganku, tersenyum dan berkata, “Aku menangkapmu loh. Biar aku tebak siapa kamu.”
Segera setelah itu, tangannya mulai merabai tubuhku. Pada akhirnya dia menyentuh dan merabai wajahku.
Sentuhan lembut, halus dan hangat itu membuat wajahku memerah.
Ladira sepertinya telah menyadari sesuatu, dan dengan cepat melepas penutup matanya. Ketika dia melihatku di depannya, wajahnya langsung memerah malu sekali, memerah sampai ke telinganya, ini membuat anak-anak tertawa bahagia.
Saat kami hendak pergi dari panti asuhan pada siang harinya, anak-anak tampak tidak rela, dan terus mengikuti kami sampai ke pintu gerbang halaman.
“Sana kembalilah, kakak akan datang menemui kalian lagi lain kali.” Kata Ladira.
"Kakak pokoknya lain kali harus datang lagi.
"Kami tidak rela membiarkanmu pergi.”
“Kakak Ladira, bisakah kamu tidak pergi?” tatapan mata anak-anak yang sangat polos itu membuat hati tersentuh dan tidak tega.
Vinka yang didorong di kursi roda oleh seorang remaja laki-laki di tengah kerumunan, juga melambaikan tangan pada kami.
Aku berjalan mendekatinya, berlutut dan mengelus kepalanya, mengambil liontin giok dari lenganku, lalu menyerahkan liontin itu padanya dan berkata, "Vinka, ini adalah hadiah dari kakak. Itu bisa menjagamu tetap aman dan sehat. "
Liontin giok ini aku beli di sebuah klenteng di gunung seharga dua juta ketika aku pergi bermain bersama dengan Ramya ke puncak Bogor. Tapi aku sekarang ingin sekali meninggalkan sesuatu untuk Vinka sebagai kenang-kenangan.
Awalnya Vinka menolak untuk menerimanya. Tapi setelah melihat kepala panti asuhan yang membolehkannya, baru dia dengan hati-hati menerimanya dan berkata, "Terima kasih, kakak, aku akan sangat merindukanmu."
Kemudian aku mengambil uang enam juta dan menyerahkannya kepada kepala panti asuhan, kepala panti asuhan sangat berterima kasih.
Ketika meninggalkan panti asuhan, Ladira berkata dengan tidak enak, "Aku membawamu ke sini hanya untuk membantuku membawa barang-barang saja. Kenapa kamu jadi menyumbangkan uangmu. Aku akan mengembalikan uang itu kepadamu nanti.”
"Tidak apa-apa, menyumbangkan sesuatu untuk panti asuhan adalah melakukan perbuatan baik. Ini adalah niat baikku sendiri, kamu jangan tidak enak dengan ini.”
"Em baiklah, kalau begitu aku akan mentraktirmu makan."
Aku tidak menolak, kami makan bersama-sama, lalu Ladira mengantarku pulang.
Sorenya, aku pergi menemui Milen. Aku bersama dengan Milen pergi mencari Mitchell. Baru ketika sudah jam sembilan malam lebih, kami pun pulang dengan sedih.
Milen hampir sudah putus asa. Dia bilang kalau besok dia masih saja tidak menemukannya, maka dia akan melapor polisi.
"Em, besok lapor polisi saja. Tapi kamu jangan terlalu khawatir, tidak ada yang akan terjadi pada orang dewasa dan sebesar itu."
"Jangan memandang Mitchell sebagai pelatih gym. Dia memiliki mentalitas dan kepribadian yang sama dengan seorang gadis. Huh, aku seharusnya tidak perlu sampai bertengkar dengannya." Milen mulai menyalahkan dirinya sendiri lagi.
Sesampainya di rumah, aku mandi dan menyalakan komputer di kamar tidur. Aku ingin memposting pemberitahuan tentang orang hilang di forum lokal, tapi aku tidak sengaja melihat rekaman cctv di rumah Lastri.
Dia sedang telanjang. Dia berdiri di samping lemari es tanpa memakai baju satupun, lalu membuka lemari es, dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Begitu melihat barang yang diambilnya itu, aku langsung terkejut dan ketakutan sampai rasanya jiwaku melayang.
Itu ternyata sebuah tangan manusia.
Novel Terkait
Everything i know about love
Shinta CharityCintaku Pada Presdir
NingsiPergilah Suamiku
DanisMy Goddes
Riski saputroBeautiful Lady
ElsaIstri Pengkhianat
SubardiMy Beautiful Teacher×
- Bab 1 Mengintip
- Bab 2 Katup Air Rusak
- Bab 3 Minum Anggur
- Bab 4 Gerakan Di Kamar Mandi
- Bab 5 Pengakuan Di Atas Gunung
- Bab 6 Kesalahpahaman Larut Malam
- Bab 7 Dalam Jangkauan
- Bab 8 Asis Yang Kesal
- Bab 9 Tidak Tau Diuntung
- Bab 10 Peminat Sewa Yang Baru
- Bab 11 Godaan Fela
- Bab 12 Wanita Muda Yang Berseni
- Bab 13 Orang Aneh
- Bab 14 Pengalaman Hidup
- Bab 15 Toilet Wanita
- Bab 16 Dadanya Membesar
- Bab 17 Mengobrol
- Bab 18 Pertunjukan Pinggir Jalan
- Bab 19 Gedung Pengajaran
- Bab 20 Bar Romantis
- Bab 21 Membuat Masalah
- Bab 22 Terluka
- Bab 23 Belum Mulai pun Sudah Berpisah
- Bab 24 Panggil Aku Kakak
- Bab 25 Tiga Lembar Tiket Bioskop
- Bab 26 Kesalahan Adalah Kesalahan
- Bab 27 Mantan Pacar Fela
- Bab 28 Gym Seni Bela Diri
- Bab 29 Pelatih Yang Keras
- Bab 30 Keterampilan Khusus
- Bab 31 Sisi Lain Ramya
- Bab 32 Pergi Ke Suatu Tempat
- Bab 33 Memecahkan Kesalahpahaman
- Bab 34 Merasa Tercerahkan
- Bab 35 Bobby
- Bab 36 Bertarung
- Bab 37 Berpikiran sempit
- Bab 38 Serangan balik putus asa
- Bab 39 Luar dingin dalam panas
- Bab 40 Kecelakaan
- Bab 41 Persyaratan Asis
- Bab 42 Penemuan Theo
- Bab 43 Bergegas Ke Hotel
- Bab 44 Tidak Tahan Lagi
- Bab 45 Tertangkap Basah
- Bab 46 Memilih Untuk Memaafkannya
- Bab 47 Pencuri
- Bab 48 Menggeledah Tubuh
- Bab 49 Orang Yang Benar Akan Bersikap Benar
- Bab 50 Rencana Gagal
- Bab 51 Penyewa Baru
- Bab 52 Guru Tony
- Bab 53 Diva Masa Depan
- Bab 54 Curahan Hati
- Bab 55 Teknik Pedang
- Bab 56 Reuni Teman Sekolah
- Bab 57 Menunjukkan keterampilan bela diri
- Bab 58 Tiga pengawal
- Bab 59 Rizal Membuat Onar
- Bab 60 Keputusan yang menyakitkan
- Bab 61 Mabuk
- Bab 62 Negosiasi
- Bab 63 Pesan Terakhir
- Bab 64 Harapan Yang Tinggi
- Bab 65 Undangan Dari Lastri Wahyuni
- Bab 66 Bertemu Ramya Lagi
- Bab 67 Mencambuk Wanita
- Bab 68 Mengajari Awang
- Bab 69 Listrik Putus
- Bab 70 Hal Yang Aneh
- Bab 71 Kehilangan Akal Sehat
- Bab 72 Bahu Yang Bisa Disandar
- Bab 73 Panggilan Telepon Dari Hafid Waka
- Bab 74 Tamu Yang Tidak Diundang
- Bab 75 Dojo Jangga
- Bab 76 Lebih Mudah dan Terampil
- Bab 77 Peringatan Instruktur Louis
- Bab 78 Membayar
- Bab 79 Meminta Maaf Dengan Canggung
- Bab 80 Panti Asuhan
- Bab 81 Semangkuk Sup Daging
- Bab 82 Pengakuan Cinta Yang Sangat Mendadak
- Bab 83 Ditangkap
- Bab 84 Serangan Diam-Diam
- Bab 85 Membuat Masalah Pada Saat Putus Asa
- Bab 86 Memotong Alat Kelamin
- Bab 87 Kematian Awang
- Bab 88 Kompetisi Bela Diri Nasional
- Bab 89 Dompet Dicuri
- Bab 90 Acara Pembukaan
- Bab 91 Bertemu Adalah Jodoh
- Bab 92 Ada Yang Menyewa Tempat
- Bab 93 Rayakan Ulang Tahun Guru
- Bab 94 Tinju Satu Inchi
- Bab 95 Kompetisi Secara Resmi
- Bab 96 Lawan Di Babak Pertama
- Bab 97 Kekuatan Yang Hebat
- Bab 98 Mengubah Kekalahan Menjjadi Kemenangan
- Bab 99 Shao Lin Chang Quan
- Bab 100 Mencapai Ketenangan
- Bab 101 Tidak Mau Kalah
- Bab 102 Menang
- Bab 103 Sahabat Baik, Anita
- Bab 104 Memandang Rendah
- Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal
- Bab 106 Kakak dari Ardi
- Bab 107 Teknik Pedang Mematikan
- Bab 108 Takdir
- Bab 109 Aura Pembunuh
- Bab 110 Petarung Yang Kuat
- Bab 111 Tiga Puluh Empat Besar
- Bab 112 Teknik Bantingan Dan Pelepasan Tulang