My Beautiful Teacher - Bab 105 Mendapatkan Ucapan Selamat Tinggal

Setelah pulang ke hotel, Ladira berkata sambil tersenyum, “Istirahatlah lebih awal, besok masih harus bertanding.”

“Kamu juga.” Ujarku.

“Selamat malam.” Ladira melambaikan tangan padaku, lalu berjalan keluar dari lift.

Aku dan Arif tinggal di lantai atas dari Ladira, ketika aku kembali ke kamar, tak disangka Arif masih belum pulang, tidak tahu pergi bermain ke mana dengan murid lainnya.

Setelah mandi, aku mengirimkan pesan Wechat kepada Ramya di atas kasur, “Apakah kamu sudah tidur?”

“Belum, aku tidak begitu enak untuk mengirim pesan, bisakah telepon saja?” Beberapa detik kemudian aku mendapatkan balasan dari Ramya.

Entah mengapa aku merasa bergairah dalam hati, meski belum beberapa hari datang ke Kota C, tetapi sudah terjadi begitu banyak hal, aku hampir melupakan Ramya.

Aku segera menelepon Ramya.

Telepon tersambung, lalu terdengar suara Ramya di ujung telepon sebelah sana, “Apakah kamu sudah pulang ke hotel?”

“Iya, baru selesai mandi.” Aku berkata sambil tersenyum, “Apakah ayah dan ibumu terus merawat kamu?”

“Iya, ayah dan ibu menjagaku secara bergiliran di pagi hari dan malam hari, tetapi aku merasa aku sudah jauh lebih baik, mungkin beberapa lagi aku sudah bisa turun dari kasur, bagaimana dengan keadaanmu di sana?”

“Peserta Pertandingan Wushu Tingkat Nasional sudah mencapai seribu orang lebih, ini baru pertandingan seleksi tingkat daerah saja, persaingannya sangat sengit, aku sudah masuk ke babak empat, masih tersisa seratus orang lebih.”

“Hhmm, jangan memberi terlalu banyak tekanan kepada diri sendiri, asalkan sudah berusaha dan tidak meninggalkan penyesalan.”

“Aku juga berpikir seperti itu.”

“Huh, beberapa hari ini aku selalu memimpikan Awang, aku merasa akulah yang membuatnya menjadi seperti itu.” Ramya mendesah, suaranya terdengar lesu.

Aku segera menghiburnya, “Kamu jangan berpikir seperti itu, dia mempunyai akhiran seperti sekarang ini, adalah karena ulahnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan kamu dan aku, sekarang kamu memelihara kesehatan tubuhmu sendiri saja, jangan berpikir sembarangan.”

“Dia sudah mati, tetapi utangnya padamu, aku akan memikirkan cara untuk membayarkannya.”

“Tidak perlu, sudahlah jika dia sudah mati, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menuntut uang itu kembali.” Aku bergegas berkata, “Kamu jaga diri baik-baik, tunggu aku pulang dan menegokmu.”

“Iya, aku sangat rindu padamu.” ujar Ramya dengan lembut.

Dalam hati aku terharu, aku juga merasa rindu pada Ramya.

Sejak Ramya terluka parah hingga masuk rumah sakit demi menyelamatkan aku, bobot Ramya di dalam hatiku perlahan-lahan kembali seperti semula.

Meski hatiku tidak ingin mengakui, tetapi tidak dapat dipungkiri, ada dua orang yang tinggal di dalam hatiku, yaitu Ramya dan Fela.

Aku tidak tahu harus memilih bagaimana, namun hingga saat ini aku tidak memiliki pemikiran untuk menyerahkan Fela, biarlah masalah berjalan sesuai dengan kehendaknya.

“Aku juga.” Aku membalas dengan suara rendah.

“Semuanya salah kamu, pada saat itu kamu yang menggodaku dulu, setelah hatiku tergerakkan, kamu malah berulang kali menolak aku, apakah kamu tahu betapa sedihnya aku?” kata Ramya dengan kesal manja.

Hatiku langsung menjadi panas, aku langsung berkata, “Kali ini pasti tidak akan.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Setelah aku sembuh, bolehkah aku pindah ke rumahmu?”

“Tentu saja tidak masalah.”

Ramya tersenyum girang, “Baik, sudah sepakat, aku sedikit lelah, aku tidur dulu, kamu juga cepat pergi istirahat.”

“Iya, selamat malam.”

Setelah menutup telepon, aku tersenyum, dalam hatiku juga terasa girang.

Sejak Fela pergi meninggalkan aku, pertama kalinya aku merasa seperti ini.

Aku berbaring di atas kasur, di saat bersamaan sedang memikirkan Ramya, aku pun tak terelakkan teringat akan Fela.

Entah bagaimana Fela saat ini, mungkin sudah menjalani pekerjaan baru di perusahaan musik, mungkin tidak lama lagi sudah dapat melihatnya di layar televisi, mendengar lagunya di internet, bahkan membayangkan Fela akan menjadi bintang artis yang bersinar di hari kelak, jarak antara dia dan aku semakin jauh.

Tidak peduli bagaimanapun, aku tetap akan pergi ke ibukota untuk menjelaskan semuanya pada Fela, karena dia tetap memilih untuk berpisah denganku demi mengejar cita-citanya, aku juga tidak meninggalkan penyesalan lagi.

Keesokan paginya, kami pergi ke stadion olahraga.

Tidak terlihat sosok Bobby Santoso dan Rizal Wong di antara para murid, sedangkan sisanya pergi semua.

Di satu sisi mereka semua ingin menonton pertandingan, tentu yang lebih penting lagi adalah bersorak dan menyemangati aku.

Sekarang aku sudah memiliki nama yang sangat tinggi di Organisasi Wushu, bahkan para murid dari tingkat dua dan tingkat tiga juga sangat mengagumi aku, dalam hatiku lumayan senang terhadap perubahan ini.

Setibanya di stadion olahraga, tidak lama kemudian adalah sesi cabut undi.

Seratus lima puluh lebih peserta tanding yang tersisa dibagi ke dalam tujuh puluhan kelompok, serta dibagi ke dalam tiga ronde pertandingan, namun yang sangat membuatku terkejut adalah, aku mendapat bye.

Dalam 157 peserta tanding yang tersisa, pasti akan ada satu bye, sedangkan aku adalah orang yang beruntung itu.

Dengan kata lain, aku tidak perlu bertanding dan langsung maju ke babak lima.

Ketika mendapatkan bye, bahkan Instruktur Louis juga tidak tahan untuk tersenyum, dia berkata, “Wenas, bahkan Tuhan pun membantu kamu dalam pertandingan Wushu kali ini.”

Arif, Ladira dan yang lain juga memberi ucapan selamat.

Sementara para peserta yang hendak menjalani pertandingan babak keempat melemparkan tatapan iri padaku, tentu juga ada yang remeh dan dengki.

Mendapat bye dan tidak perlu bertanding, sungguh ajaib sekali bagiku, akhirnya aku memiliki waktu dan suasana hati untuk menyaksikan pertandingan kelompok lain.

Stadion olahraga ini mempunyai gelanggang yang sangat banyak, pada babak pertama, lima puluh kelompok bertanding secara bersamaan, bisa dibayangkan betapa besarnya.

Pada babak empat ini, satu ronde menjadi dua puluh kelompok yang bertanding.

Semakin banyak orang yang berkumpul di setiap gelanggang, semakin banyak pula tingkat tontonannya.

Akhirnya pertandingan dimulai, aku berkeliling di dalam stadion olahraga yang amat besar, melihat ada beberapa kenalan yang sedang bertanding.

Di antaranya adalah Jack dan Diego.

Lawan dari Jack adalah seorang pemuda yang berkulit hitam dan berbadan kokoh dengan sebuah pedang besar, dia memainkan pedang besar dengan cakap dan gagah, memancarkan garis yang bersinar di bawah cahaya matahari.

Meski senjata yang digunakan di ajang pertandingan tidaklah begitu tajam, walau mengenai lawan tanding juga tidak akan mengakibatkan cedera yang betapa besar, namun tetap memiliki kemungkinan untuk membuat lawan tanding kehilangan daya tanding.

Cara memperoleh kemenangan juga memiliki perubahan dari pertandingan sebelumnya.

Selain membuat lawan tanding kehilangan daya tanding dan tergeletak tak berdaya selama sepuluh detik, serta membuat lawan tanding keluar dari gelanggang, masih ada satu cara lagi, jika senjata dari lawan tanding diletakkan di lehermu, maka berarti kamu kalah dan tereliminasi.

Tentu saja, ini juga demi keselamatan.

Teknik pedang pemuda hitam itu sangat gagah, sedangkan Jack menggunakan tombak, dia menghadapinya dengan leluasa, bagaikan naga berbisa pengebor tanah, teknik tombaknya tidak hanya menangkis seluruh jurus dari lawan tanding, dia bahkan melancarkan serangan balik yang padat tak bercelah, membuat lawan tanding mundur ke belakang.

Melihat adegan ini, aku tahu Jack akan menang dalam waktu singkat.

Sementara sebagai murid dari Tuan Roman yang adalah Mantan Wakil Presiden Organisasi Wushu, Diego tidak menggunakan senjata, melainkan bertanding dengan tangan kosong.

Lawan tandingnya menggunakan pedang panjang, menyerang dengan berbagai sudut yang rumit, bagaikan ular meliuk dan sangat tajam, jelas dapat dirasakan kekuatannya.

Namun tak disangka, belum seberapa jurus Diego sudah mengambil kesempatan, dia melancarkan Tinju Satu Inchi yang menyerang bagai hujan badai, langsung melemparkan lawan tandingnya keluar gelanggang dan tidak sanggup berdiri lagi.

Diego yang berada di atas gelanggang tetap berwajah datar, wajahnya tidak merah dan dia juga tidak terengah-engah, seolah-olah sama sekali tidak mengerahkan tenaga apa-apa.

Ini juga membuatku sekali lagi merasakan kengerian Diego, dalam hatiku merasa gugup, jika aku mengambil undi dan bertanding dengannya, aku mungkin bahkan tidak dapat bertahan dalam lima jurus.

Tentu saja, yang paling menarik perhatianku adalah orang yang satunya, yaitu adik seperguruan dari Jack, Mikasa Marie.

Dalam mimpi pun tak terpikirkan olehku bahwa Mikasa Marie bahkan bisa bertanding di babak keempat.

Lawan tandingnya juga menggunakan tombak, tetapi teknik pedang panjang Mikasa Marie sangat lincah dan aktif, bayangannya berterbangan ke mana-mana di dalam gelanggang, ditambah lagi hari ini Mikasa Marie mengenakan gaun, sungguh bagaikan dewi dari gulungan lukisan, di saat bersamaan membuat orang tercengang, juga terpikat oleh bayangan sosoknya yang menawan dan teknik pedang panjangnya yang lihai.

Novel Terkait

You're My Savior

You're My Savior

Shella Navi
Cerpen
5 tahun yang lalu

The Break-up Guru

Jose
18+
4 tahun yang lalu

Mr Lu, Let's Get Married!

Elsa
CEO
4 tahun yang lalu

Dewa Perang Greget

Budi Ma
Pertikaian
4 tahun yang lalu

Hidden Son-in-Law

Andy Lee
Menjadi Kaya
4 tahun yang lalu

Cinta Seumur Hidup Presdir Gu

Shuran
Pernikahan
4 tahun yang lalu

Balas Dendam Malah Cinta

Sweeties
Motivasi
5 tahun yang lalu

My Superhero

Jessi
Kejam
4 tahun yang lalu