Asisten Wanita Ndeso - Bab 74 Air Mata

Sasa menonton sampai pukul sebelas. Dia benar-benar mengantuk. Saat perawat datang untuk memeriksa kondisi pasien, dia tertidur di samping Asmi. Melihat Asmi masih koma, dia bertelungkup di sampingnya dan tertidur.

Sasa tertidur pulas di samping Asmi. Lampu dan televisi tidak dimatikannya. Pada saat ini, kesadaran Asmi sedikit pulih. Dia merasa seluruh tubuhnya seperti ditusuk jarum, sangat sakit. Tetapi daerah sekitarnya gelap gulita. Dia tidak dapat melihat apapun.

Dia berusaha keras untuk membuka matanya lagi dan lagi, tetapi dia merasa seolah ada benda berat yang menahan matanya. Apapun upayanya, dia tidak bisa membuka matanya. Dia ingin berteriak, tetapi dia tidak tahu siapa yang harus diteriaki dan apa yang harus diteriakkan?

Sasa sedang tertidur pulas di samping Asmi. Dia seketika merasakan ada tangan yang memukul dirinya. Dia kira dirinya sedang bermimpi, tapi tangan itu terus menyapu sekitaran kepalanya.

Dia sontak terbangun, apakah Asmi sudah bangun? Sasa mengangkat kepalanya dari ranjang dan melihat tangan Asmi tampak sedang memegang sesuatu secara sembarangan, namun mata masih terpejam.

“Asmi.” Sasa menggenggam tangan Asmi. “Asmi, apakah kamu bisa mendengarku? Asmi.” Sasa nyaris meneteskan air mata.

Asmi dapat mendengar suara Sasa. Dia memusatkan seluruh energinya pada kelopak mata. Kemudian kelopak akhirnya berhasil membuka sedikit celah, tapi tertutup kembali lagi.

Silau sekali. Asmi berpikir dirinya mungkin sudah tertidur untuk waktu yang lama. Sasa melihat mata Asmi yang terbuka sesaat, “Asmi, buka matamu dan lihat aku. Aku Sasa.” Asmi memegang erat tangan Asmi.

“Sakit.” Asmi pelan-pelan melontarkan sepatah kata. Air mata Sasa mengalir, “Asmi, ini salahku, aku telah membuatmu kesakitan.” Sasa cepat-cepat menurunkan tangan Asmi. Dia tidak tahu berapa banyak energi yang digunakannya barusan.

Asmi perlahan membuka mata dan membiarkan matanya beradaptasi dengan lampu di bangsal. Setelah terbiasa dengan cahaya ruangan, Asmi melihat sekliling. Dia belum tanggap di mana dirinya berada.

“Sasa, aku di mana?” Bibir Asmi agak kering. Sasa adalah nona dari keluarga kaya, bagaimana mungkin dia tahu bahwa dirinya harus membasahi bibir kering Asmi.

Mendengar suara Asmi yang serak, Sasa agak canggung. Dia melupakan kata-kata perawat padanya. Perawat sepertinya memintanya untuk membasahi bibir Asmi dengan kapas yang dicelupkan ke dalam air setiap setengah jam.

"Asmi, apakah kamu tidak tahu? Ini rumah sakit. Kamu ditabrak mobil. Apakah kamu tidak ingat apa-apa tentang itu?" Saat menatap Asmi, Sasa teringat pada serial drama yang pernah dia tonton. Pasalnya, orang yang tertabrak sulit mengingat apa yang terjadi sebelumnya, terutama mereka yang tertabrak dari belakang.

“Rumah sakit, kenapa aku di rumah sakit? Ada apa dengan diriku? Kenapa seluruh tubuhku terasa sakit?” Asmi merasa badannya kaku, dia ingin bergerak, tapi rasa sakit langsung menjalar ke sekujur tubuh.

“Kamu ditabrak mobil. Asmi, kamu sudah tertidur dari siang.” Sasa menuangkan air untuk Asmi.

“Tidur dari siang. Kenapa aku bisa ditabrak, kenapa aku tidak ingat?” Asmi agak linglung. Bagaimanapun dia tidak bisa mengingat kenapa dia bisa berbaring di sini. Dia hanya ingat dia bertengkar hebat dengan Fredo di kantor. Fredo mengucapkan banyak kata-kata yang tidak enak didengar untuk mempermalukannya.

Dengan hati yang tersakiti, dia berjalan terhuyung-huyun di tengah hujan. Pikirannya hanya sampai pada adegan tersebut, tidak bisa mengingat adegan selanjutnya.

“Kamu benar-benar lupa? Celaka. Jadinya kita tidak bisa menangkap orang yang menabrakmu.” Sasa sedikit kecewa, tapi untungnya Asmi sudah bangun, dia pun kembali merasa senang.

“Oh, ya. Aku lupa menelepon orang tuamu.” Sasa mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan ke nomor yang belum disimpan. Itu adalah nomor yang diminta Sasa sebelum ibu Asmi keluar dari bangsal.

Pihak seberang menjawab telepon dengan sangat cepat, bunyi bip hanya terdengar sekali. Tampaknya mereka tidak tidur dan terus menantikan panggilan telepon. Terdengar suara mendesak dari ujung telepon yang lain: "Sasa, apakah Asmi sudah bangun??"

Sasa mendengar bahwa itu adalah suara ibu Asmi, “Iya, tante, Asmi sudah bangun.” Sasa tersenyum sambil memandang Asmi, memberi isyarat pada Asmi bahwa dia sedang menelepon ibunya.

“Biarkan aku bicara dengan Asmi.” Rani menangis kegirangan. Sasa bahkan bisa mendengar tangisan Rani dari telepon, serta suaranya yang memberi tahu Teto bahwa putrinya sudah bangun.

Sepertinya mereka berdua sama-sama tidak tidur. Sasa merasa kedua orang tua ini terlalu hebat, mereka selalu memberikan yang terbaik untuk anak.

“Asmi, bagaimana kondisimu.” Tanya Rani dengan tergesa-gesa. Dia sangat berharap bisa terbang ke sisi Asmi sekarang juga. Dia menyesali mengapa dia tidak tinggal bersama Asmi sehingga dia bisa melihat Asmi bangun dan merawatnya.

“Ibu, aku baik-baik saja. Kamu jangan khawatir.” Mendengar suara sang ibu dari ujung lain telepon, perasaan Asmi bercampur aduk. Keluhan dahsyat membanjiri hatinya, tetapi dia tidak tahu bagaimana mencurahkan isi hatinya kepada ibu.

“Oke, Asmi, baguslah kalau kamu baik-baik saja. Kamu istirahat dengan baik, ibu akan pergi sebentar lagi.” Rani tidak sabar lagi, dia langsung mendesak Teto untuk mengemudi mobil.

Asmi melihat jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah hampir jam sebelas, sudah sangat larut. “Ibu, ini sudah larut. Kamu jangan datang dulu, besok saja.” Asmi tahu kekhawatiran ibunya, tapi sekarang sudah sangat larut, dia tidak ingin ibu dan ayah terlalu capek.

“Asmi, aku mau bertemu denganmu sekarang juga.” Rani bersikap keras kepala seperti anak kecil. Selama 25 tahun, dia selalu merasa sangat bersalah terhadap Asmi karena tidak pernah menemaninya di sisi.

Melalui kecelakaan kali ini, dia ingin memberikan kasih sayang terbaik kepada Asmi supaya dirinya bisa merasa lebih baik.

“Ibu, aku masih mau tidur sekarang. Kamu dan Ayah istirahat yang baik dulu sebelum datang.” Asmi mencari alasan. Waktu sudah malam, dia benar-benar tidak ingin ibunya datang ke sini.

“Baiklah. Kamu mau makan apa, ibu akan membuatnya untukmu.” Mendengar perkataan putrinya, Rani tahu dia tidak bisa membantah putrinya lagi. Dia pun ingin menyiapkan sarapan kesukaan Asmi untuk Asmi.

“Ibu, aku suka makanan apapun yang dibuatmu. Aku akan makan apapun yang kamu buat.” Kini Asmi merasa Rani seperti ibu angkatnya, dia bisa bermanja-manja, bisa berkeluh kesah, bisa mengatakan apapun yang ingin dikatakannya.

“Oke, aku akan membuatkan makanan terbaik untukmu dan bayi. Kamu tidur yang nyenyak. Aku akan pergi ke sana besok pagi.” Rani sangat senang. Putrinya yang mengalami kecelakaan mobil membuat hatinya tertekan. Sekarang dia mengetahui bahwa putrinya baik-baik saja dan secara tidak sengaja mengatahui bahwa putrinya hamil, ini mungkin yang disebut sebagai "Berkah dan kemalangan saling bersangkut paut."

Siapa yang tahu setelah kejadian yang mengerikan pasti adalah situasi yang suram? Rani akhirnya merasa lega. Dia mau beristirahat dengan baik dan bangun pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Asmi.

Saat Asmi sedang bertelpon, Sasa sudah memanggil dokter dari ruang jaga. Dokter memeriksa Asmi secara detail, wajah yang tegang akhirnya rileks.

"Nona Asmi sangat sehat, tapi nutrisinya harus diperhatikan. Tiga bulan pertama kehamilan adalah saat di mana ibu hamil paling membutuhkan nutrisi. Aku akan meresepkan beberapa vitamin dan asam folat. Itu adalah nutrisi yang harus dikonsumsi ibu hamil, terutama asam folat. Nona Asmi, apakah kamu pernah mengonsumsinya?" Tanya dokter sambil memegang pena.

“Tidak, aku baru tahu belum lama ini bahwa aku hamil, jadi belum sempat makan.” Asmi agak canggung. Dia ingin menutupi masalah ini, tapi sekarang malah terungkap.

“Dokter, resepkan apapun yang baik untuknya.” Sasa memandang dokter dengan cemas, berharap dokter akan memberikan lebih banyak suplemen untuk Asmi karena kesehatan Asmi terlalu lemah.

Bangsal menjadi lebih hidup karena Asmi telah bangun dan ada dokter dan perawat yang datang, "Nona Asmi, kamu harus istirahat dengan baik. Kami perlu menunggu sampai kamu bisa bangun sendiri dari tempat tidur sebelum memberikan pemeriksaan menyeluruh padamu.” Sebelum pergi, dokter mengingati Sasa tentang beberapa hal yang harus diperhatikan.

Bangsal besar tiba-tiba menjadi jauh lebih sepi, hanya Asmi dan Sasa yang tersisa di bangsal. Sasa melihat bahwa Asmi tampak lebih energik, mungkin karena suntikannya efektif. Sasa tahu bahwa suntikan tersebut diisi sejumlah besar nutrisi.

"Asmi, kamu mau makan apa? Kamu belum makan apa-apa sejak siang. Kamu pasti sudah lapar. Tidak masalah kalau kamu lapar, tapi kamu tidak boleh membiarkan anakmu lapar." Sasa tersenyum sambil memandang Asmi, "Kamu sangat lihai dalam menjaga rahasia, kamu bahkan tidak memberi tahu aku.” Sasa menepuk tangan Asmi dengan tampang kesal guna memberi tahu Asmi bahwa dia tidak senang dengan hal ini.

“Sasa, maafkan aku. Aku punya alasan yang tak terkatakan.” Asmi tersenyum pahit dan menundukkan kepala. “Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku berencana mencari waktu yang tepat untuk memberitahumu.” Asmi tahu Sasa akan menyalahkan dirinya karena telah merahasiakan perihal ini.

“Sudah, aku tahu, kamu tidak perlu banyak omong. Aku tahu sifat khusus dari masalah ini, karena ayah dari anak itu adalah Fredo, benarkan.” Sasa selalu terus terang, padahal dia terus menahan diri untuk tidak mengatakan ini.

Asmi mengangkat kepala dengan takjub, mata penuh keheranan, mulut ternganga, tidak merespons untuk waktu yang lama, “Kamu, kenapa kamu tahu.” Asmi tergagap karena gugup.

“Sepertinya benar, tebakanku tidak salah.” Sasa sangat yakin, dia sudah menduga bahwa anak Asmi adalah punya Fredo. “Lihat drama seperti apa yang aku tonton, aku sangat pandai dalam bernalar.” Sasa menoleh ke televisi di bangsal yang masih menayangkan drama ‘Amazing Detective Di Renjie’, lalu tersenyum.

“Banyak bual. Sasa, kamu selalu membodohi aku. Anakku memang milik Fredo, tapi aku tidak ingin orang lain tahu tentang ini, bisakah kamu membantuku menjaga rahasia ini?” Asmi menatap Sasa dengan tatapan polos dan jernih.

Sasa tidak punya pilihan. Dia tahu identitas khusus Fredo dan Asmi. Sifat Asmi masih tidak berubah, tidak pernah berubah selama sepuluh tahun, tidak berubah walau identitasnya sudah berbeda.

"Jangan khawatir, aku akan merahasiakannya. Aku tidak akan memberitahu Tanu. Tapi, bagaimana kamu menjelaskan hal ini kepada orangtuamu? Mereka semua sudah mengetahui hal ini." Sasa menatap Asmi dengan bingung.

Asmi menghela nafas, “Sekarang aku hanya bisa mengikuti arus.” Dia sangat capek, dia memejamkan matanya lagi.

Melihat Asmi seperti ini, Sasa tahu bahwa Asmi pasti sangat lelah. Dia pun tidak mengganggunya lagi, bertelungkup di samping ranjang dan ikut tertidur.

Novel Terkait

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Where’s Ur Self-Respect Ex-hubby?

Jasmine
Percintaan
4 tahun yang lalu
The Serpent King Affection

The Serpent King Affection

Lexy
Misteri
5 tahun yang lalu
More Than Words

More Than Words

Hanny
Misteri
4 tahun yang lalu
Memori Yang Telah Dilupakan

Memori Yang Telah Dilupakan

Lauren
Cerpen
5 tahun yang lalu
Satan's CEO  Gentle Mask

Satan's CEO Gentle Mask

Rise
CEO
4 tahun yang lalu
Love at First Sight

Love at First Sight

Laura Vanessa
Percintaan
4 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
Husband Deeply Love

Husband Deeply Love

Naomi
Pernikahan
4 tahun yang lalu