Asisten Wanita Ndeso - Bab 18 Kopi Nona Lim

Beberapa hari kemudian, hari-hari berlalu dengan tenang, Asmi tetap tinggal di rumah orang tua asuhnya, ketika akhir pekan dia akan kembali kerumah baru untuk menemui orang tuanya, dia tidak pernah berani percaya kalau dia menjadi putri keluarga Fajar begitu saja.

Bahkan bukan putri satu-satunya, ini membuat Asmi yang selalu pemalu tetap tidak mengertia harus bagaimana didepan orang lain.

Setiap kali ibu kandungnya Rani melihatnya berpakaian polos dan ketinggalan jaman, ia pasti akan menyinggung cara perpakaiannya, namun dia hanya berkata dengan cara yang begitu lembut, dia takut kalau dia berkata terlalu kasar akan membuat Asmi tidak nyaman.

Namun sudah beberapa kali, Asmi tetap saja tidak berubah sedikitpun, sehingga dia tidak lagi menegur Asmi, bagaimana pun selama dua puluh tahun lebih dirinya tidak pernah mengurus Asmi, bahkan tidak pernah memberikan perhatiannya.

Sekarang, bagaimana mungkin dia bisa menyalahkannya? Biarkanlah, Rani tetap merasa Asmi adalah seorang gadis yang penurut, hanya gaya berpakaiannya saja yang kuno dan tidak trendy.

Mengenai hal ini, Rani sungguh merasa bersalah, dia merasa sifat Asmi bisa seperti ini sekarang karena dia mencampakkannya dulu.

Beberapa hari ini Asmi sama sekali tidak punya waktu untuk memikirkan sikap Fredo yang yang menyulitkannya dan juga rasa herannya, beberapa hari ini Marini Grup sibuk membicarakan kerja sama dengan Meikarta Grup, dia yang menjadi asisten direktur sungguh sibuk.

“Tak.. Tak..” terdengar suara sepatu hak yang begitu familiar, disaat seperti ini, yang bisa datang tanpa diundang hanya tunangan Fredo Fajar, Anisa Lim.

Asmi segera bangkit, “Hallo, Nona Lim.” Asmi membungkuk sambil menyapa, tangannya memegang kacamatanya.

“Sekretaris Sumirah, bekerjalah yang benar.” Anisa sama sekali tidak meliriknya, setelah kedatangannya beberapa kali, Asmi selalu begitu hormat padanya, membuat kecurigaan yang ada dalam hatinya juga menghilang.

Bagaimana pun cara berpakaian juga dandanan Asmi tidak menarik sama sekali untuk dipandang seorang wanita, apalagi seorang pria normal?

Anisa melirik Asmi sekejap, hari ini ia mengenakan rok bunga, terlihat seperti rok yang dikenakan oleh gadis desa tahun 90an, sama sekali tidak terlihat lekuk tubuh juga bentuk tubuhnya, tetap dengan kedua kepang yang hanya diikat dengan karet rambut berwarna hitam, poni yang berada dikeningnya terlihat mulai memanjang, panjangnya sudah hampir menghalangi matanya.

“Sekretaris Sumirah,” hari ini suasana hati Anisa sangat baik, karena beberapa hari ini, setiap kali dia datang ke kantor Fredo, Fredo sudah tidak menolaknya seperti biasa, semua keributan dan juga undangan dia akhirnya Fredo menerimanya.

Bulu mata Anisa yang panjang dan lentik mengangkat, ia membersihkan tenggorokkannya, “Sekretaris Sumirah, kelak kamu harus memperhatikan penampilan, bagaimana pun Marini Grup kita adalah perusahaan besar, kalau penampilanmu yang terus seperti ini, itu akan membuat orang luar membicarakan Marini Grup kita, itu hanya akan meninggalkan image jelek.” Anisa sengaja menoleh kearah pintu ruangan Fredo .

Dia menyadari kalau pintu ruanganan Fredo sedikit terbuka, sehingga ia mengambil kesimpulan kalau Fredo pasti akan bisa mendengar apa yang ia katakan.

Asmi menundukkan kepala, tidak berani menghela dengan kencang, dihadapan wwanita cantik seperti Anisa, dia sungguh ingin mencari sebuah lubang untuk masuk ke dalamnya.

“Aku akan masuk ke dalam, buatkan dua cangkir kopi untuk kami.” Anisa melambaikan tas motif garis limted editionnya keatas bahunya, terlihat cukup serasi dengan jaket abu-abu yang ia kenakan hari ini, sepatu hak 5 cm-nya membuat suara langkahnya terdengar jelas.

Ketika Asmi tercengang, "kamu harus memperhatikan penampilan," perkataan Anisa terus menggema di telinganya, dia pergi membuat kopi, karena tidak hati-hati air panas yang mendidih menyiram tangannya.

“Aa.” Dia menjerit kesakitan, lalu segera menyiram tangannya dengan air dingin.

Wajah Asmi terlihat begitu kesakitan, semua fasilitas yang ada di lantai 77 adalah yang paling baru, mesin kopi diimport dari luar, bubuk kopi Fredo yang memesannya sendiri ke Dodo di lantai atas selama 24 jam tersedia air panas.

Bibir Asmi terbuka, dia berdesis kesakitan, dia membersihkan luka dengan hati-hati, jari telunjuk kirinya sudah mulai memerah, dia menarik tangannya dari kucuran air keran, lalu meniupnya perlahan.

Dia teringat ketika masih kecil, ia pernah menyentuh teko berisi air hangat sampai airnya tumpah ke lengannya, seluruh lengannya terasa panas dan sakit, ibu asuhnya membersihkan lukanya dengan hati-hati lalu mengoleskan pasta gigi diatasnya, lalu ia meniupnya perlahan sampai rasanya membaik.

Mata Asmi berkaca-kaca, sudah tidak ada orang yang bisa menyayanginya seperti ibu asuhnya, disaat dia paling butuh, disaat dia paling susah, ibu asuhnya selalu menemani disisinya.

Meskipun sekarang dia sudah menemukan ibu kandungnya, namun Asmi tetap merasa terombang ambing tanpa ada yang bisa ia jadikan pegangan.

Asmi tetap Manahan sakit dan membuatkan kopi, permintaan Fredo terhadap kopi sangat tinggi, harus diseduh dengan air yang sudah mendidih, dia membawa dua cangkir kopi dengan hati-hati, kebetulan bertemu dengan tatapan mata Fredo .

Fredo sedang bersandar didepan pintu ruang presdir yang tinggi dan besar, pintu terbuka lebar, membuat Asmi tidak tahu harus melakukan apa, hanya tercengang disana.

“Ini, ini Nona Limyang menyuruhku membuatkan kopi.” Asmi berkata dengan terbata, dia punya sebuah kebiasaan buruk, ketika bertemu dengan kondisi yang panik atau hal yang canggung, maka ia akan mulai terbata-bata.

Pandangan mata Fredo tertuju pada jari telunjuk kiri Asmi yang merah, jari itu terlihat jelas jauh lebih merah daripada jari lainnya. Tadi di dalam kantor dia mendengar suara Asmi, sehingga ia mengambil kesempatan untuk membuat Anisa pergi. Lalu menunggu Asmi didepan pintu.

Lekuk wajahnya begitu tegas, tubuhnya miring bersandar di pintu, melihat wajahnya dari samping saja sudah terlihat begitu tampan.

Fredo tidak lagi memandang Asmi, ia berbalik dan masuk ke dalam kantornya, ada rona lembut diwajahnya, namun hanya sekilas, lalu ekspresi itu kembali hilang tidak berbekas.

Asmi mengikuti Fredo dari belakang, menundukkan kepala dan melangkah dengan berat.

Sejak kejadian di kantor Fredo hari itu, tanpa disuruh Fredo dia tidak lagi berani seorang diri masuk ke dalam ruangannya, terutama ketika ada dokumen yang dibutuhkan, dia akan masuk dan keluar dengan tergesa-gesa.

Akhirnya selama beberapa hari ia bisa melewatinya dengan aman.

Namun hari ini, Asmi merasa Fredo tidak sama dengan biasanya. Tangan Asmi memegang dua cangkir kopi, begitu masuk ia baru menyadari kalau didalam ruang kantor yang sebesar ini hanya ada dia dan Fredo .

“Kopi yang dipesan oleh Nona Anisa.” Asmi meletakkan kopi diatas meja, melihat kesekeliling lalu menemukan Fredo berdiri didepan jendela yang berjarak cukup jauh darinya.

Kali ini Asmi bisa merasa tenang, ia segera berbalik, lalu melarikan diri dari tempat ini.

“Asmi !” Asmi tercengang, sekujur tubuhnya langsung gemetar, apa lagi yang Fredo ini mau? Asmi hanya berdiri tegang disana, menunggu perintah selanjutnya.

“Sebenarnya kamu datang kemari untuk apa?” Fredo tetap tidak menoleh, Asmi bisa membayangkan bagaimana ekspresinya sekarang, selama waktu satu bulan yang pendek ini, dia sudah melihat ekspresi marahnya berkali-kali.

“Aku, aku….” Asmi bingung, wajahnya perlahan memerah, setiap kali bicara dengan Fredo, hatinya selalu merasa begitu panik, tidak tahu harus bagaimana menghadapinya, dia selalu ingin meninggalkan image baik di hadapan Fredo .

Namun, kelihatannya sekarang masalah akan merundunginya.

“Kamu pasti sudah menyetingnya iya kan, Asmi, menutupi diri sendiri dengan begitu bagus, kamu mempertunjukkan semua dengan begitu sempurna, kenapa kamu tidak menjadi artis, kamu begitu pintar berakting akan sayang sekali .” Fredo menoleh, matanya penuh dengan amarah, dan dia sungguh membuat Asmi bingung.

Mata Fredo membelalak besar, sama sekali tidak melewatkan satu pun ekspresi yang muncul di wajah Asmi, “Apakah kamu sudah merasa kemenangan ada ditanganmu?” Fredo melangkah dengan cepat ke sisi Asmi, tubuhnya begitu tinggi dan besar, membuat bulu kuduk di tubuh Asmi langsung merinding.

Hati Asmi mengkerut, lehernya menyusut sampai kedalam kerahnya, sekujur tubuhnya gemetar, selain sentuhan tubuh, ini pertama kalinya dia sedekat ini dengan Fredo .

Asmi tetap diam, dia hanya berdiri seperti ini, pikirannya sungguh kacau, tidak tahu harus bagaimana menghadapi langkah Fredo yang semakin mendekat.

Tubuh tinggi Fredo setinggi 1,8 meter itu bagaikan sebuah dinding yang menjulang dihadapannya, menutupinya dengan begitu rapat.

Sebenarnya Asmi bukan tipe wanita yang pendek mungil, tubuhnya yang setinggi 167cm masih termasuk semampai, hanya saja karena pengaruh pakaian, membuat tubuhnya terlihat lebih pendek.

Saat ini, dia merasa dia selubungi oleh hawa nafas Fredo, di tubuh Fredo ada aroma parfum Dior yang sangat wangi, membuat Asmi agak terlena dibuatnya.

Otaknya berhenti bekerja lagi, hanya berdiri diam disana.

Fredo membungkukkan tubuhnya, menundukkan kepalanya, membuat jarak mereka semakin dekat, dekat sampai Asmi bisa mendengar suara detak jantungnya.

“Asmi !” Fredo menggumam ditelinganya, ada hawa panas yang membakar di telinga Asmi, membuat telinga Asmi terasa geli, darah dalam tubuhnya kembali bergolak.

“Bukankah kamu sama dengan ibumu, demi mendapatkan harta keluarga Fajar rela mengorbankan tubuh dan juga harga diri?” tangan kanan Fredo memegang dagu Asmi.

Alis Asmi yang indah agak mengkerut, tenaga Fredo sangat besar, dia jelas kesakitan, namun ia mengetatkan rahangnya untuk tidak berteriak.

“Kenapa kamu tidak bicara, apakah kamu bicara saja tidak bisa?” tenaga Fredo semakin kuat.

“Aaa.” Asmi mundur beberapa langkah, akhirnya tidak bersuara, dia kesakitan sampai hampir menangis, ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis.

“Bicara.” Fredo tidak melihat ekspresi Asmi yang begitu kesakitan, Asmi selalu menutupi dirinya dengan rapat, dibalik bingkai kacamata hitamnya, matanya sudah terpejam erat.

Tepat ketika Asmi bersiap menerima tenaga Fredo yang lebih kuat lagi, tanpa diduga Fredo malah melepaskannya, ketika dia melepaskannya, Asmi hampir saja terjatuh.

Fredo menghempaskan tangannya dan berbalik, “Keluar.” Wajahnya tetap terlihat begitu tegas, sama sekali tidak ada ekspresi apapun.

Akhirnya Asmi bisa merasa tenang, matanya kembali terbuka, dia tidak berani percaya kalau ini kenyataan. Dia berjala keluar dengan tergesa-gesa, menutup pintu perlahan.

Fredo melempar semua file diatas mejanya ke meja dengan kuat, file berantakan di lantai. Dari balik pintu Asmi bisa mendengar suara file yang berhamburan.

Novel Terkait

Love And Pain, Me And Her

Love And Pain, Me And Her

Judika Denada
Karir
4 tahun yang lalu
Villain's Giving Up

Villain's Giving Up

Axe Ashcielly
Romantis
3 tahun yang lalu
Wanita Yang Terbaik

Wanita Yang Terbaik

Tudi Sakti
Perkotaan
4 tahun yang lalu
The Revival of the King

The Revival of the King

Shinta
Peperangan
3 tahun yang lalu
Mr CEO's Seducing His Wife

Mr CEO's Seducing His Wife

Lexis
Percintaan
3 tahun yang lalu
Si Menantu Buta

Si Menantu Buta

Deddy
Menantu
4 tahun yang lalu
Untouchable Love

Untouchable Love

Devil Buddy
CEO
5 tahun yang lalu
Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Angin Selatan Mewujudkan Impianku

Jiang Muyan
Percintaan
4 tahun yang lalu